Kamis, 16 Januari 2020

Pantai





Pantai, ruang publik masyarakat pulau-pesisir. Sebagian besar interaksi sosial mereka berlangsung dan terjalin di pantai.

Saban hari, beragam aktivitas interaktif berlangsung di sana. Dari sekadar mengaso sembari bercengkrama. bermain, mandi air laut, menyelesaikan pekerjaan rumahan, bertukar cerita atau informasi, memancing, menjala ikan, mencari tiram, hingga melakukan transaksi ekonomi, seperti jual beli hasil-hasil perikanan, pertanian, perkebunan dan lainnya.

Awal pagi, tetua yang tak bisa lagi melaut karena usia, duduk di atas ganoti (batang kayu terdampar), di pantai rindang, memandangi laut. Cakrawala bersiluet jingga. Sebentar lagi matahari terbit.

Mereka biasanya mengobrolkan beberapa hal. Tentang hajatan warga seperti kawinan atau khitanan, musim dan hasil tangkapan nelayan, iklim dan hasil panen terakhir, kondisi rumah ibadah di kampung, dan lain sebagainya.

Ibu-ibu menggendong balita, menenteng keranjang atau baskom, mendekati perahu-perahu yang mulai menepi. Mereka mempercakapkan harga sembako, biaya sekolah anak-anak, arisan, angsuran kredit barang pecah belah, pakaian putra-putrinya, kain gorden, seprei, taplak, hingga daster.

Para bocah, putra-putri mereka, yang mengiringi mereka dari belakang, enggan berlama-lama. Berlari menerjang ke titik perahu ayahnya akan menepi, dari melaut semalaman.

Beberapa nelayan yang sudah medaratkan perahu, membersihkan perahu dari anyir ikan dan menguras air dari dalam lambung perahu.

Di beranda rumah-rumah yang tak jauh dari pantai, beberapa lelaki paroh baya santai di bangku bambu atau kayu, nikmati kopi pagi sembari menyetel radio, mendengar siararan pedesaan atau lagu-lagu.

Sehari-harinya, di pantai, peristiwa dan lakon dari yang sederhana hingga yang serius terjadi intens.

Masyarakat kepulauan atau masyarakat yang bermukim dan mengusahakan penghidupan di pesisir dengan kreatifitasnya menjadikan pantai ruang publik yang representatif.

Ruang publik, Habermas dengan ringan menulis, sebagai suatu wilayah kehidupan sosial, ruang interaksi, ruang perbincangan antar individu yang berkumpul membentuk publik, membentuk opini publik. Ruang terbuka dan boleh diakses semua warga.


Dermaga tempat rekreatif, lesehan, ngopi, dll. Foto: Sofyan Daud / Garasi Genta

Di Tomalou, menjelang perhelatan Festival Kampung Nelayan, 15 - 23 Faebruari 2020, pantai dari ujung ke ujung kampung ditata apik. Hingga hari-hari ini pun masih terus ditata.

Fungsi ruang publik pantai di sana pun kian kuat berkat gagasan transformatif kaum muda di masing-masing lingkungan (RK) kampung ini.

Di lingkungan I atau RK I fungsi dermaga diubahsuaikan, selain sebagai tempat labuh tambat perahu, kini menjadi tempat kongkow, bahkan tempat rekreasi yang asyik. Lantai dermaga dicat cerah dan bersih. 

Pengunjung yang hendak naik ke atas dermaga mesti melepaskan alas kaki di pangkal dermaga, karena lantai dermaga memang dikonsepkan untuk lesehan.

Di ujung dermaga, ditempatkan bangku kayu, tanaman hias, dan jadilah taman kecil yang manis di atas dermaga. Beberapa meja dari ban mobil bekas dicat warna-warni dijejer rapi, dijadikan meja menaruh kopi atau minuman kesukaan juga gorengan yang disediakan oleh remaja putri dan ibu-ibu muda, di sana.

Beberapa pekan terakhir, dermaga ini ramai saban hari, terutama sore dan malam hari. Suasana malam indah dan romantis. Lampu-lampu penerangan sepanjang lantai dermaga membias ke laut dan ke udara pantai. Desau angin, desis arus dan geriyap ombak jadi simfoni alam yang menentramkan.

Pada malam tertentu, ada lagu-lagu diringi organ tunggal menampilkan penyanyi setempat yang cukup punya nama. Pengunjung boleh unjuk kebolehan olah vacalnya.

Suasana egaliter dan nyaman, atmosfir kekerabatan, seperti kata Habermas, ini menjadi ruang yang dapat diakses semua orang.


Kaum muda dan warga lingkungan II atau RK II, menata kawasan Akedoe, sumber air tua di Kampung Tomalou, hingga ke pelataran Masjid Agung Nurul Bahar, sebagai lokasi utama perhelatan festival.

Sebuah panggung relatif besar dengan atap dari kerangka baja ringan telah kelar. Di dekatnya dibangun replika Anjungan Motor Ikan, ukurannya kurang lebih tiga kali dari ukuran aslinya. 

Di sini tempat rehat yang representatif. Suasana pantai, angin laut, sunset yang tampak sempurna, dan suasana religius yang kental karena dekat dengan masjid.

Bagi pengunjung muslim, selepas menikmati sunset, tinggal menyeberangi pelataran di depan masjid sekitar 20-30 langkah dan sudah sampai ke masjid, untuk sholat maghrib.

Tak jauh dari pelataran itu, dibangun penahan gelombang dari batu-batu yang disusun sepanjang lebih 100 meter. Berbentuk "L". Pemecah gelombang ini menyerupai dermaga batu, tempat perahu-perahu ditambat atau berlabuh pada musim ombak.

Kini dermaga batu itu dicat dengan wewarna ceria, dan di atasnya ditempatkan tulisan Festival Kampung Nelayan Tomalou, dengan huruf-huruf besar yang tingginya kurang lebih 2 meter. Di malam hari, huruf-huruf ini kian hidup oleh lampu warna-warni yang mencahayainya.



Di Lingkungan III atau RK III dan lingkungan IV atau RK IV pun tak kalah sibuk membenahi lingkungan pantainya dengan beragam kreasi dekoratif khas nelayan atau khas pesisir umumnya.

Dermaga Batu, tempat labuh tambat perahu nelayan Tomalou, Tidore. Foto: Fahriadi Yusuf Abdulfattah / Garasi Genta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar