Pantai, ruang publik masyarakat
pulau-pesisir. Sebagian besar interaksi sosial mereka berlangsung dan terjalin di pantai.
Saban hari, beragam aktivitas
interaktif berlangsung di sana. Dari sekadar mengaso sembari bercengkrama. bermain, mandi air laut,
menyelesaikan pekerjaan rumahan, bertukar cerita atau informasi, memancing,
menjala ikan, mencari tiram, hingga melakukan transaksi ekonomi, seperti jual beli hasil-hasil
perikanan, pertanian, perkebunan dan lainnya.
Awal pagi, tetua yang tak bisa lagi melaut karena usia, duduk di
atas ganoti (batang kayu terdampar), di pantai rindang, memandangi laut.
Cakrawala bersiluet jingga. Sebentar lagi matahari terbit.
Mereka biasanya mengobrolkan beberapa hal. Tentang
hajatan warga seperti kawinan atau khitanan, musim dan hasil tangkapan nelayan, iklim dan hasil panen
terakhir, kondisi rumah ibadah di kampung, dan lain sebagainya.
Ibu-ibu menggendong balita, menenteng keranjang atau
baskom, mendekati perahu-perahu yang mulai menepi. Mereka mempercakapkan harga
sembako, biaya sekolah anak-anak, arisan, angsuran kredit barang pecah belah, pakaian
putra-putrinya, kain gorden, seprei, taplak, hingga daster.
Para bocah, putra-putri mereka, yang mengiringi mereka dari
belakang, enggan berlama-lama. Berlari menerjang ke titik perahu ayahnya akan menepi,
dari melaut semalaman.
Beberapa nelayan yang sudah medaratkan perahu, membersihkan perahu dari anyir ikan dan menguras air dari dalam lambung perahu.
Di beranda rumah-rumah yang tak jauh dari pantai,
beberapa lelaki paroh baya santai di bangku bambu atau kayu, nikmati kopi pagi
sembari menyetel radio, mendengar siararan pedesaan atau lagu-lagu.
Sehari-harinya, di pantai, peristiwa dan lakon dari yang
sederhana hingga yang serius terjadi intens.
Masyarakat kepulauan atau masyarakat yang bermukim dan
mengusahakan penghidupan di pesisir dengan kreatifitasnya menjadikan pantai
ruang publik yang representatif.
Ruang publik, Habermas dengan ringan menulis, sebagai suatu wilayah kehidupan sosial, ruang interaksi, ruang perbincangan antar individu yang berkumpul membentuk publik, membentuk opini publik. Ruang terbuka dan boleh diakses semua warga.
Dermaga tempat rekreatif, lesehan, ngopi, dll. Foto: Sofyan Daud / Garasi Genta |
Di Tomalou, menjelang perhelatan Festival
Kampung Nelayan, 15 - 23 Faebruari 2020, pantai dari ujung ke ujung kampung ditata
apik. Hingga hari-hari ini pun masih terus ditata.
Fungsi ruang publik pantai di sana pun kian kuat
berkat gagasan transformatif kaum muda di masing-masing lingkungan (RK) kampung ini.
Di lingkungan I atau RK I fungsi dermaga
diubahsuaikan, selain sebagai tempat labuh tambat perahu, kini menjadi tempat
kongkow, bahkan tempat rekreasi yang asyik. Lantai dermaga dicat cerah dan
bersih.
Pengunjung yang hendak naik ke atas
dermaga mesti melepaskan alas kaki di pangkal dermaga, karena lantai dermaga
memang dikonsepkan untuk lesehan.
Di ujung dermaga, ditempatkan bangku
kayu, tanaman hias, dan jadilah taman kecil yang manis di atas dermaga. Beberapa meja dari ban mobil
bekas dicat warna-warni dijejer rapi, dijadikan meja menaruh kopi atau
minuman kesukaan juga gorengan yang disediakan oleh remaja putri dan ibu-ibu
muda, di sana.
Beberapa pekan terakhir, dermaga ini ramai
saban hari, terutama sore dan malam hari. Suasana malam indah dan romantis.
Lampu-lampu penerangan sepanjang lantai dermaga membias ke laut dan ke udara
pantai. Desau angin, desis arus dan geriyap ombak jadi simfoni alam yang
menentramkan.
Pada malam tertentu, ada lagu-lagu
diringi organ tunggal menampilkan penyanyi setempat yang cukup punya nama.
Pengunjung boleh unjuk kebolehan olah vacalnya.
Suasana egaliter dan nyaman, atmosfir kekerabatan, seperti
kata Habermas, ini menjadi ruang yang dapat diakses semua orang.
Kaum muda dan warga lingkungan II atau RK II, menata kawasan Akedoe, sumber air
tua di Kampung Tomalou, hingga ke pelataran Masjid Agung Nurul Bahar, sebagai lokasi utama perhelatan festival.
Sebuah panggung relatif besar dengan atap dari kerangka baja
ringan telah kelar. Di dekatnya dibangun replika Anjungan Motor Ikan, ukurannya
kurang lebih tiga kali dari ukuran aslinya.
Di sini tempat rehat yang representatif. Suasana pantai,
angin laut, sunset yang tampak sempurna, dan suasana religius yang kental karena
dekat dengan masjid.
Bagi pengunjung muslim, selepas menikmati sunset, tinggal
menyeberangi pelataran di depan masjid sekitar 20-30 langkah dan sudah sampai ke
masjid, untuk sholat maghrib.
Tak jauh dari pelataran itu, dibangun penahan gelombang
dari batu-batu yang disusun sepanjang lebih 100 meter. Berbentuk "L".
Pemecah gelombang ini menyerupai dermaga batu, tempat perahu-perahu ditambat
atau berlabuh pada musim ombak.
Kini dermaga batu itu dicat dengan wewarna ceria, dan di
atasnya ditempatkan tulisan Festival Kampung Nelayan Tomalou, dengan huruf-huruf
besar yang tingginya kurang lebih 2 meter. Di malam hari, huruf-huruf ini kian
hidup oleh lampu warna-warni yang mencahayainya.
Di Lingkungan III atau RK III dan lingkungan IV atau RK
IV pun tak kalah sibuk membenahi lingkungan pantainya dengan beragam kreasi dekoratif
khas nelayan atau khas pesisir umumnya.
Dermaga Batu, tempat labuh tambat perahu nelayan Tomalou, Tidore. Foto: Fahriadi Yusuf Abdulfattah / Garasi Genta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar