“Apakah sagu, rokok, gula, garam, juga cabai,
tomat, jeruk,
yang dibeli untuk
perbekalan mereka selama pelayaran, seluruhnya
telah dibayar?”
Saihu selalu bertanya begitu kepada oti ma ao atau para
awak perahu, sesaat sebelum perahu
nelayan, seperti funai, giop atau rorehe —
perahu-perahu nelayan di Tidore dan Maluku Utara pada umumnya, kini mungkin perahu fiber glass — bersiap angkat sauh dan melepas pandara atau tali
tambatnya,
Sebelum perahu mulai
bertolak dari pantai atau dari tempat tambatannya, Saihu selalu memastikan bahwa hak-hak orang lain yang terdapat
dalam setiap perbekalan yang akan mereka makan selama pelayaran benar-benar telah beres. Tak tersisa utang piutang sedikitpun.
Di hampir setiap
perkampungan nelayan di Maluku Utara, kisah kearifan ini lazim
diketahui setidaknya pernah didengar. Kisah kearifan
seperti ini, merupakan sebentuk kesadaran nilai yang mengagumkan.
Pantas diteladani.
Saihu sebagai
pemimpin para awak perahu, berkewajiban menjaga agar para awak yang dipimpinnya
tidak menunggak kewajibannya yang menjadi hak-hak orang lain,
walaupun itu pada keluarga atau kerabat sekalipun.
Ada keyakinan yang
dipegang teguh, dengan mendahulukan hak orang lain, mereka akan terhindar dari
kesulitan selama belayar dan murah mendapatkan
rezeki berupa hasil tangkapan ikan yang banyak. Sebaliknya bila
ada hak-hak orang yang belum mereka tunaikan, dapat mengakibatkan mereka
menemukan kesulitan, hambatan, dan terutama sulit mendapat hasil tangkapan yang
memuaskan.
Kisah ini sebentuk nasihat yang mengingatkan kita kepada Sang Maha Pemberi —
“Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baiknya pemberi rizki” — yang akan memudahkan
jalan rizki bagi setiap manusia yang berlaku
jujur dan iklas, yang tidak saling menipu atau memanipulasi. Kepeada mereka dimudahkan jalan rezeki
yang halalan-thoyibah.
Selain itu,
keteladanan Saihu di atas, adalah suatu ajaran kepemimpinan
yang sederhana namun mengandung makna mendalam. Si Saihu selalu mengingatkan para awaknya akan hak-hak orang lain yang tak boleh dilupakan
sebelum berlayar, berarti si Saihu tentu telah lebih dulu tak melupakannya.
Sebagai pemimpin si
Saihu bukan saja patut memberi contoh terlebih dulu, tetapi juga sangat tegas
memastikan bahwa awaknya benar-benar telah menunaikan kewajiban mereka yang
menjadi hak orang lain.
Terlepas dari makna yang di balik kisah kearifan itu,
kesadaran nilai di dalam diri Saihu dan para awaknya merupakan refleksi nilai
yang menjadi keyakinan kolektif masyarakat di mana mereka berada.
Kesadaran nilai
demikian, agaknya yang membentuk keteguhan hati dan pendirian kukuh bahwa
“orang punya, orang punya”, dan torang punya, torang punya”.
Dalam kesadaran
demikian, setiap hak orang yang berhubungan dengan kewajiban kita, bagaimanapun
tidak bisa ditunda-tunda penunaiannya, apalagi dilupakan,
atau tidak dihiraukan sama sekali.
Jika misalnya Saihu
dikonversikan ke dalam sistem kepemimpinan modern dewasa ini, misalnya di dalam
birokrasi pemerintahan, ataupun di dalam kepemimpinan lembaga-lembaga sosial
politik, maka Saihu dalam struktur pemerintahan dapat diibaratkan dengan
Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Pimpinan SKPD, Camat, dan Lurah.
Begitupun misalnya
Partai Politik, Ormas, OKP, dan lain sebagainya, maka setiap orang yang
mendududuki jabatan puncak sebagai “Saihu”
sesuai jenjang dan level di pemerintahan, ataupun pada lembaga-lembaga sosial
politik, seyogianya mau mencontohi yang telah dilakukan oleh Saihu; harus
memastikan apakah para stafnya telah benar-benar memenuhi kewajiban yang menjadi
hak-hak masyarakat, karena dengan memenuhi hak-hak masyarakat, maka
kepemimpinan pemerintahan akan berjalan lancar tanpa kendala, dan akan meraih
banyak keberhasilan dan keutamaan selama masa kepemimpinannya. [MSD]
__________
Sofyan Daud
Catatan
Kaki, Mingguan Swara Kie Raha, Edisi III, April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar