Jumat, 17 Januari 2020

Saihu



“Apakah sagu, rokok, gula, garam, juga cabai, tomat, jeruk, yang dibeli untuk perbekalan mereka selama pelayaran, seluruhnya telah dibayar?” 
 

Saihu selalu bertanya begitu kepada oti ma ao atau para awak perahu, sesaat sebelum perahu nelayan, seperti funai, giop atau rorehe — perahu-perahu nelayan di Tidore dan Maluku Utara pada umumnya, kini mungkin perahu fiber glass — bersiap angkat sauh dan melepas pandara atau tali tambatnya, 


Sebelum perahu mulai bertolak dari pantai atau dari tempat tambatannya, Saihu selalu memastikan bahwa hak-hak orang lain yang terdapat dalam setiap perbekalan yang akan mereka makan selama pelayaran benar-benar telah beres. Tak tersisa utang piutang sedikitpun.

Di hampir setiap perkampungan nelayan di Maluku Utara, kisah kearifan ini lazim diketahui setidaknya pernah didengar. Kisah  kearifan seperti ini, merupakan sebentuk kesadaran nilai yang mengagumkan. Pantas diteladani.

Saihu sebagai pemimpin para awak perahu, berkewajiban menjaga agar para awak yang dipimpinnya tidak menunggak kewajibannya yang menjadi hak-hak orang lain, walaupun itu pada keluarga atau kerabat sekalipun.

Ada keyakinan yang dipegang teguh, dengan mendahulukan hak orang lain, mereka akan terhindar dari kesulitan selama belayar dan murah mendapatkan rezeki berupa hasil tangkapan ikan yang banyak. Sebaliknya bila ada hak-hak orang yang belum mereka tunaikan, dapat mengakibatkan mereka menemukan kesulitan, hambatan, dan terutama sulit mendapat hasil tangkapan yang memuaskan.

Kisah ini sebentuk nasihat yang mengingatkan kita kepada Sang Maha Pemberi — “Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baiknya pemberi rizki” — yang akan memudahkan jalan rizki bagi setiap manusia yang berlaku jujur dan iklas, yang tidak saling menipu atau memanipulasi. Kepeada mereka dimudahkan jalan rezeki yang halalan-thoyibah.

Selain itu, keteladanan Saihu di atas, adalah suatu ajaran kepemimpinan yang sederhana namun mengandung makna mendalam. Si Saihu selalu mengingatkan para awaknya akan hak-hak orang lain yang tak boleh dilupakan sebelum berlayar, berarti si Saihu tentu telah lebih dulu tak melupakannya.

Sebagai pemimpin si Saihu bukan saja patut memberi contoh terlebih dulu, tetapi juga sangat tegas memastikan bahwa awaknya benar-benar telah menunaikan kewajiban mereka yang menjadi hak orang lain.

Terlepas dari  makna yang di balik kisah kearifan itu, kesadaran nilai di dalam diri Saihu dan para awaknya merupakan refleksi nilai yang menjadi keyakinan kolektif masyarakat di mana mereka berada.

Kesadaran nilai demikian, agaknya yang membentuk keteguhan hati dan pendirian kukuh bahwa “orang punya, orang punya”, dan torang punya, torang punya”.
Dalam kesadaran demikian, setiap hak orang yang berhubungan dengan kewajiban kita, bagaimanapun tidak bisa ditunda-tunda penunaiannya, apalagi dilupakan, atau tidak dihiraukan sama sekali. 

Jika misalnya Saihu dikonversikan ke dalam sistem kepemimpinan modern dewasa ini, misalnya di dalam birokrasi pemerintahan, ataupun di dalam kepemimpinan lembaga-lembaga sosial politik, maka Saihu dalam struktur pemerintahan dapat diibaratkan dengan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Pimpinan SKPD,  Camat, dan Lurah.

Begitupun misalnya Partai Politik, Ormas, OKP, dan lain sebagainya, maka setiap orang yang mendududuki jabatan puncak sebagai “Saihu” sesuai jenjang dan level di pemerintahan, ataupun pada lembaga-lembaga sosial politik, seyogianya mau mencontohi yang telah dilakukan oleh Saihu; harus memastikan apakah para stafnya telah benar-benar memenuhi kewajiban yang menjadi hak-hak masyarakat, karena dengan memenuhi hak-hak masyarakat, maka kepemimpinan pemerintahan akan berjalan lancar tanpa kendala, dan akan meraih banyak keberhasilan dan keutamaan selama masa kepemimpinannya. [MSD]

__________

Sofyan Daud
Catatan Kaki, Mingguan Swara Kie Raha, Edisi III, April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar