Prosa laut kampung nelayan Tomalou di Tidore, tentang Raja
Delo - Raja Cakalang. Legenda yang mematri ingatan berlapis generasi kampung ini.
Sekuat karang-karang terpatri di palung laut.
Legenda dan mitos, memang ruang manusia menyimpan nilai
dalam ingatan kolektif tentang spirit, sensasi akan keunggulan, kesaktian dan
semacamnya yang mengandung sugesti.
Alkisah. Sore cerah. Tetabuhan tifa bersautan gema gong bertalu
ritmis. Irisan rebab melengking serak, sedesir angin pantai.
Tomalou, kampung di pesisir tenggara Pulau Tidore, hari itu,
warganya menghelat ritus Salai Jin. Tradisi menyapa sahabat mereka dari bangsa
Jin. Salah satu tradisi tua.
Ramai warga berkumpul di rumah penghelat hajat. Antusias
menyaksikan puluhan lelaki perempuan menari-nari dengan gestur mirip Cakalele.
Aroma kemenyan merambati udara. Puluhan tetua, lelaki pun
perempuan mengenakan pakaian tradisional, pakaian adat, sesuai kedudukannya
masing-masing.
Di atas selat antara pantai Tomalou dan Pulau Mare, sekoloni
kecil Camar terbang. Melesat cepat ke arah pantai. Beberapa warga yang sempat
melihat pemandangan tak biasa itu, mengamati formasi dan arah tebang koloni
camar
"E…Namo
dara ma dofu e. Duga ma soro re gati regu." (E…Camar begitu banyaknya. Tapi formasi terbangnya kali ini
beda dari biasanya).
Tak pelak mereka menduga-duga, adakah isyarat yang dibawa
koloni camar itu?
Camar-camar kini telah di atas pantai perkampungan. Terbang
rendah, mengitari di atas tingkap rumah-rumah penduduk, sekitar lokasi
perhelatan Salai Jin.
Seorang pemuda muncul tiba-tiba dari berbalik barisan
pohonan besar dan rindang, yang berjejer di garis pantai. Pohonan Ngame dan
beberapa jenis vegetasi khas pantai lainnya.
Perawakan pemuda itu tegap, gagah. Wajahnya tampan,
berwibawa. Kehadirannya yang tiba-tiba, menarik perhatian.
"Nage?" (Siapa?).
Sontak terdengar bisikan di antara warga. Tak hanya dari
segelintir gadis-gadis, tapi juga sebagian besar warga di lokasi itu.
Dengan tenangnya pemuda asing itu permisi, meminta jalan di
antara kerumunan. Dia menuju ke dalam sabua
(pendopo), tempat Salah Jin.
Gerak geriknya jadi pusat perhatian, jadi fokus pandangan. Setiap
buangan langkahnya seakan menggiring tanya dan rasa penasaran warga. Siapakah
dia?
Kini dia telah di dalam sabua.
Berdiri sejenak. Mengitarkan pandangannya ke seisi sabua. Air mukanya ramah,
simpatik. Dia lantas mendekati seorang penabuh tifa. Memberi isyarat, ingin
mencobanya. Aura tanya dan rasa penasaran kepada pemuda itu, kini memenuhi sabua.
Una nage? (Dia siapa?) Wo kabe
si ino? (Dia dari mana?) Ya.. wo gaga a! (Ya…dia tampan ya!) Oe, gaga. (Iya
tampan.).
Saling bisik pertanyaan pun pernyataan menjalar secepat
angin, meski teredam riuh tifa, gong dan rebab.
Jelang magrib. Tifa, gong dan rebab berhenti. Salah Jin jeda
hingga nanti dilanjutkan selepas sholat isya.
Kerumunan bukannya merenggang. Warga malah lebih memadati
sekitar sabua, hingga berjinjit-jinjit di sepanjang pagar pekarangan. Semuanya
penasaran dengan pemuda itu. Juga penasaran, adakah pertanyaan, atau semacam
interogasi barangkali, dari para tetua kampung kepada si pemuda?
Riuh suara seolah dengung ratusan tawon, saling menimpali
dengan desau angin dan riuh ombak pantai.
Tabea, jou
ne nage? (Maaf Anda ini siapa?)
Tetua kampung paling sepuh bertanya. Si pemuda memandangi
tetua sepuh itu, seakan mempertimbangkan, dari mana ia mesti memulai
penjelasannya.
Jou kabe
ino? (Anda dari mana?)
Si pemuda, menoleh ke tetua kedua yang bertanya.
“Tabea jou ngon moi-moi, fangare Raja Delo". (Tabik
hadirin semua, saya adalah Raja Cakalang).
Pemuda itu bicara. Untuk pertama kalinya dia buka suara.
Suara yang seolah terdengar dari kedalaman samudera.
Para tetua saling berpandangan. Ada yang membelalak. Satu
dua mengerenyitkan dahi. Raja Delo?
Tak mudah dipercaya memang. Seorang pemuda asing muncul
tiba-tiba dan mengaku Raja Delo. Di antara hadirin ada yang cekikian. Lucu.
Sinis.
Warga yang berkerumun di lingkar dalam sabua, juga tercengang. Sementara yang berkerubung di barisan
terluar tak jelas apa yang dikatakan si pemuda.
Woe! Una
waje mega ge? (Woe! Dia bilang apa tu?)
Mahawaro.
Baso laha ua. (Entah. Kurang jelas)
Oe, bicara
lamo ua si... (Iya bicaranya tidak keras jadi..)
Dialog setengah berbisik setengah bergumam.
Ee.. Una
ge nage? (Ee.. Dia itu siapa?)
Suara perempuan paruh baya, melengking dari arah pagar
pekarangan.
Waro yang
re.. (Belum tahu ni).
Menjawab seorang perempuan di antara kerumunan di dekat
Sabua.
Ceh!. yogo
tora la fo baso ona waje mega.
(Ceh! Diamlah, biar kita dengar apa yang mereka katakankan).
Berkata seeorang sepuh ketus, setengah berteriak. Suasana
kembali tenang. Bedug terdengar lamat dari surau di tanjung Akedoe. Beberapa
saat lagi sholat magrib.
Para tetua kampung beranjak. Kerumunan warga di sekitar
pintu keluar merenggang, membuka jalan.
Satu per satu warga bergerak pulang. Seorang pria paruh
baya, yang juga pemuka kampung, kini jadi sasaran pertanyaan warga yang
penasaran. Dia dikerubungi seolah narasumber yang baru saja keluar dari
pertemuan penting.
Raja Delo?
Ceh, gou bolo? (Raja Cakalang? Ah, benar kah?
Tanya itu mengambang di udara. Cakrawala merah hitam. Angin
diam, arus dan ombak rehat. Pelita-pelita mulai menyala di rumah-rumah warga.
Desain terbaik 1,2,3, dan 4 Maskot Raja Delo, Festival Kampung Nelayan Tomalou 2020 |
Pukul sembilan lewat. Malam alit berbulan pasi.
Langit malam itu temaram. Tak terlampau cerah.
Tifa, gong dan rebab kembali terdengar. Kerumunan warga di
tempat yang sama, sudah dari setengah jam lalu.
Di malam itu, pelita, dama atau obor lebih banyak disulut dari
biasanya. Di beranda, di sabua, di
pagar-pagar hingga tepi jalan, di sekitar lokasi hajatan.
Sebagian kerumunan tampak seperti siluet di antara cahaya
pelita dan dama, juga sinar bulan temaram. Pemuda itu?
Mata-mata layap, mencari-cari si pemuda "Raja
Delo" di antara kerumunan, rerapat pokok pohon pantai, tapi tak kelihatan.
Satu jam lewat. Malam terasa lebih mistis oleh aroma kemenyan,
tabuhan tifa, gong dan rebab, yang entah deru atau syahdu.
Keciap camar terdengar di kejauhan. Beberapa warga yang tadi
sore mengamati gerak koloni camar, kini saling berpandangan. Mereka mengenali
isyarat itu. Masih ada ramai camar di malan hari. Itu janggal. Tak biasanya.
Keciap camar mendekat. Kini seolah di atas bubungan rumah,
di atas sabua, di atas kepala warga
yang berjubel.
Siluet sesosok pria tegap menerobos kerumunan dan redup
cahaya, menuju ke dalam sabua.
Raja Delo? Hanya bisikan, tapi terdengar bagai kuur.
Persis seperti sore tadi, pemuda yang mengaku Raja Delo itu menggantikan
seorang pemukul tifa. Sementara di atas Sabua, keciap camar terdengar riuh,
seolah berdendang diiringi tabuhan tifa si Raja Delo.
Para tetua saling lirik. Ada yang saling memandang. Lelaki
perempuan yang bersalai jin, menari seperti biasa. Tak terganggu dengan keadaan.
Lewat tengah malam Salai Jin berhenti. Saling bisik masih
terdengar, seperti angin menggesek daunan nyiur dan pohonan rindang sepanjang pantai.
Seperti desis ombak membilas pasir.
Si pemuda, Raja Delo memberi isyarat pamit. Dia melangkah di
antara kerumunan, ke jalan, lalu ke arah barisan pohonan yang rapat. Ke dalam gelap.
Bulan sudah di balik Gunung Kie Matubu. Warga pun bubar, pulang
ke rumahnya masing-masing. Entah seberapa penasaran mereka. Pelita dan dama di
depan rumah, di tepi jalan telah dipadamkan.
Malam menggelincir akhir pertiga. Lengang. Warga kampung pulas
karena kecapaian. Di antara rerapat pohon di tepi pantai, pemuda Raja Delo
mondar-mondar gelisah. Dia mencari sesuatu. Miliknya yang tadi disimpannya di
tempat yang dianggapnya aman. Di balik batang besar pohon Ngame.
Bintang pagi kedap-kedip di langit timur, di atas barisan Kie Kici (bukit kecil), di bahu puncak Kie Matubu. Sebentar lagi fajar. Dia
mesti pulang sebelum fajar, tapi tak bisa. Benda penting miliknya belum dia
temukan. Raib, entah kemana.
Gusar. Pemuda Raja Delo melangkah gegas, menuju ke rumah tempat
perhelatan Salai Jin.
Tok…tok…tok. Tabea. Berkali-kali dia mengetuk bilah pintu
dari gaba (pelepah Sagu). Seorang
pria tua membuka pintu, pelita kecil di tangan kananya, dan wajahnya nongol dari
balik pintu belah kebaya itu.
Nage ge? (Siapa itu?)
Tabea jo, fangare Raja Delo.
Raja Delo? Membatin si pria. Menggeser pelan daun pintu lebih
lebar. Kini tubuhnya tampak. Ia telanjang dada, hanya mengenakan sarung yang mulai
lusuh.
Gatibe ge? (Bagaimana itu).
Tabea jo.
Bantu fangare kambu. Fangare ni ngarimoi ure se soka ka ta duga sema rewa. (Tabik. Tolong saya sedikit. Saya menaruh dan menyimpan
sesuatu di sana, tapi sudah tak ada).
Si pemuda bermohon. Dia menceritakan tentang barang penting
miliknya yang kini raib. Tanpa itu dia tak akan bisa kembali ke kerajaannya.
Kerajaan laut yang entah.
Mendengarnya si pria tua itu mengerenyitkan dahi. Wajahnya tampak
bingung dan sedikit lucu. Sisa kantuk, wajah tuanya yang keriputan dan rasa tak
percaya membuat ekspresinya sangat lucu.
Kalo tege,
lebe laha ngone ia te Mahimo na fola.
(Kalau begitu, lebih baik kita ke rumah Kepala Kampung).
Pria tua meletakkan pelita ke atas meja di beranda kecil
itu. Dia pamit sebentar ke dalam rumah dan segera keluar sembari mengenakan
kemeja dan penutup kepala mirip tuala
(semacam lenso untuk penutup kepala) atau besu
yang ringkas. Meraih dama atau obor
di sudut beranda, menyulutnya dari api nyala pelita di atas meja.
Kini, mereka melangkah gegas di atas jalanan berpasir, menuju
ke rumah Mahimo di dekat surau, di tanjung Akedoe. Langit timur mulai agak terang.
Sebentar lagi fajar menyingsing dan waktu subuh tiba.
***
Tabea Mahimo, pahala no bantu
fangare. (Tabik Mahimo, engkau mesti menolong saya)
Berkata Raja Delo, bgitu bertemu dengan Mahimo. Dia seakan enggan menunggu
lama,
Bantu mega ge? (Apa yang mesti
dibantu?)
Fangare
ne musti to koliho toma sita lili yang moju. Toma subuh ma awal. Duga to koliho
dadi yang. Fangare ni pakeang kabasarang sari dahe yang. (Saya ini sudah harus kembali sebelum fajar menyingsing.
Pada sebelum subuh. Tapi saya belum bisa pulang. Jubah kebesaran saya belum
ditemukan).
Jou
no ure kabe si? (Kau menaruhnya dimana kah?)
Tanya Mahimo dan Raja Delo menceritakan kejadiannya, seperti yang tadi
dia ceritakan kepada pak tua, yang kini menemaninya menemui Mahimo.
Tabea
Mahimo. Jou no musti parcaya, fangare gou-gou Raja Delo. Kalo jou no aku digali
fangare. Fangare toa ju ngon ni ilmu se rahasia ngolo. (Tabik Mahimo. Engkau
mesti percaya, saya benar Raja Delo. Bila engkau bisa membantu saya, akan saya
berikan kepada kalian ilmu dan rahasia laut).
Pemuda Raja Delo berkata dengan ekspresi dan nada suara amat
bersungguh-sunggguh. Mahimo dan pak tua memandanginya saksama. Mereka larut
dalam pikirannya masing-masing.
Sesaat hening. Bedug subuh terdengar. Bintang timur dan
langit di sana sedikit lebih terang. Gegaris fajir mulai melarik dan bedug
subuh terdengar jelas dari surau di tanjung Akedoe yang tak begitu jauh.
Pemuda Raja Delo menunduk, mengusap wajah. Bedug subuh
memberinya isyarat, dia belum bisa pulang ke kerajaannya. Kerajaan laut.
****
Ba’da subuh. Mahimo
bersama beberapa tetua, tokoh kampung pulang dari surau. Raja Delo yang
menunggu di beranda kecil itu berdiri seolah menyambut mereka.
Perbincangan serius dan intens terjadi. Siapa yang telah
sengaja mengambil, menyimpan jubah pemuda yang mengaku Raja Delo ini?
Rembang subuh berangsur pagi. Terang. Kabar terkini itu merebak
seisi kampung. Warga pun berkerumun di rumah Mahimo. Sebagian mereka kini mulai percaya, pemuda ini benar Raja
Delo.
Mahimo memanggil Marinyo
(juru penerangan) kampung. Memintanya mengumkan ke seisi kampung. Siapa yang
sengaja mengambil atau menyembunyikan jubah si pemuda, harap mengembalikannya.
Marinyo bergerak sigap. Tak lama suaranya terdengar melengking dari
ujung ke ujung kampung. Warga yang baru mendengar informasi ini bergegas
mendatangi rumah Mahimo. Pekarangan
sekitar beranda rumah padat hingga ke jalan.
Una, Raja
Delo na mega sira? (Dia, Raja Delo, apanya yang
hilang?)
Baso waje
na pakeang kabasarang. (Katanya jubbah kebesarannya hilang)
Pertanyaan dan jawaban kembali mejadi bisik dan gumam. Menjalar
cepat di antara kerumunan.
Marinyo kembali menghadap Mahimo,
membawa serta seorang Ngofa Loa atau pemuda.
Si pemuda mengaku dia yang mengambil jubah kebesaran Raja Delo. Lantaran tertarik
dengan bentuk dan warnanya yang unik. Lantaran dia tak tahu siapa pemiliknya.
Si no ure
kabe? (Lantas dimana kau menaruhnya?)
Tanya Mahimo ketus.
Seme re. (Ada ini)
Jawab si pemuda sembari menyodorkan satu bungkusan kecil kepada
Mahimo. Mahimo meraihnya. Menyerahkannya kepada Raja Delo.
Syukur
dofu jo. (Terima kasih tuan)
Berkata Raja Delo takzim, lantas meminta permisi ke dalam
rumah Mahimo. Hanya Sebentara sekali
dan kini dia keluar dengan jubah kebesarannya. Jubah unik, tampak mewah, panjang
menjuntai. Bentuk umumnya, warna dan motifnya sama persis dengan Nyao Delo (ikan Cakalang). Bagian kepalanya
pun persis kepala ikan Cakalang
Raja Delo!
Terdangar gumam warga bagaikan kuur panjang. Wajah-wajah mereka
terperanjat, terperangah. Pemuda itu benar Raja Delo.
Syukur
dofu Mahimo se jou ngon moi-moi. No bantu fangare rai. Gatibe se fangare na
janji te Mahimo, fangare akan toa, sobai se sojum joungon ilmu se rahasia
ngolo. Joungon no aku pake ena sari rezeki toma ngolo. (Terima kasih banyak Mahimo
dan kalian semua. Kalian telah membantu saya. Seperti janji saya kepada Mahimo, saya akan berikan, perlihatkan
dan menunjukkan pada kalian ilmu dan rahasia laut.)
Seharian itu, Raja Delo di Kampung Tomalou, menunaikan
janjinya. Sedari pagi hingga dini hari. Dia berinteraksi dengan Mahimo dan para tetua, para pemuka
kampung. Mengajari mereka ilmu dan rahasia laut.
Sebelum fajar Raja Delo mohon diri, kembali ke kerajaannya.
Kerajaan laut. Tapi dia sempat berpesan, tak ubahnya pidato perpisahan.
Sonyinga
laha-laha mega yang fangare toa. Pake se so amal ena. Toma saat alu moi, jongon
nage bolo nage yo ho toma ngolo bolo no side, no sari rezeki. Jou ngon musti no
yakin, jou ngon ge fangare na irasai, gati ge yali se fangare na bala. (Ingatlah baik-baik apa yang saya berikan. Gunakan dan
amalkanlah. Pada suatu saat, di antara kalian ke laut atau berlayar, mencari
rezeki. Kalian harus yakin, kalian adalah sahabat terkasih saya, begitupun sahabat
terkasih rakyat di kerjaan saya).
Lantas Raja Delo pamit, tetapi dia sililoa (bermohon) tak ada
satu pun di antara warga yang boleh mengantarnya ke pantai. Majlis berdiri,
mengantarnya hanya sampai tepi jalan. Raja Delo melangkah tegap ke arah rerapat
pohon dan menghilang dalam gelap. Majlis pun bubar.
Pagi cerah. Mahimo
berdiri di atas batuan pantai yang menjorok ke laut, di tanjung Akedoe. Satu
dua Camar terbang rendah di atas laut tenang dan riak arus kerlap kerlip oleh
matahari pagi.
Mahimo melempar pandangan ke Pulau Mare hijau biru dank ke lautan
terbuka yang tak berbatas. Dia seperti mencari-cari dimanakah letak istana Raja
Delo.
Sejak itu, laut seolah rumah kedua bagi generasi Tomalou.
Mereka seolah mengenali sifat dan gerak angin, arus, ombak, Seolah bisa
berdialog dengan bintang-bintang di langit untuk meminta petunjuk arah terbaik bagi
haluan pelayaran. Seolah bisa bercerita dengan ikan-ikan, karang, lamun.
Mereka mengenali laut sama halnya mengenali darat, mengenali ruang-ruang di
rumah mereka sendiri.
Abad-abad berlalu membentuk Tomalou menjadi komunitas nelayan,
perkampungan nelayan, bahkan komunitas pelaut. Meraka adalah Ngofa Ngolo — Anak laut, generasi laut.
Higga sekarang pun. [msd]
Sofyan Daud
Desember 2019 – Februari 2020
Catatan: Akan diadakan pembetulan seperlu, jika tokoh berkompien dari komunitas pemilik egenda ini meminta, menyarankannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar