Warga Mareku, kampung tua,
kampungnya para Sangaji di utara Pulau Tidore itu, marah dan memprotes petugas pajak Belanda yang datang menagih pajak. Mereka menolak membayar pajak yang dikenakan karena besarannya dianggap tidak sesuai.
Sepeda tua. (foto: picssr.com) |
Pagi
sekitar pukul sepuluh. Beatuursambtenaar Coolhaas, mengayuh sepedanya pelan dari arah Mareku Gam Sungi melalui
jalan menurun ke tanjung Mareku yang berbatu.
Derit
rantai sepeda Batavus atau Bazelle itu, juga putaran rodanya, sepintas mirip desau lembut angin selusupi daunan Ketapang dan Pandan pantai yang amat lebat di
situ. Roda-roda melindas kerikil jalanan seolah seruak ombak mendesis di cecelah batuan pantai.
Sepeda
Coolhaas kini di jalan menanjak hampir di tengah kampung Mareku. Tampak rumah-rumah warga rata-rata berdinding kapur, berderet
rapi mengikuti topografis kampung yang agak tinggi di kaki Gunung Marijang dan
melandai ke arah pantai.
Di
tengah kampung, persis di depan rumah Mahimo (Kepala Kampung), Coolhaas turun dari sepeda. Menyandarkan
sepedanya ke batang bunga Mentega besar, di dekat pintu pagar pekarangan rumah Mahimo. Tanaman Puring warna-warni, Bunga
Tasbih dan Jambu air meneduhi rumah ini.
Coolhaas merogoh lenso dari saku biskap, menyapu peluh dari wajahnya. Tengadah sebentar ke langit, seakan mencari posisi matahari. Pagi telah beranjak siang, di hari itu, hari yang tak sempat dicatatnya, juga bulannya, kecuali tahun. Itupun hanya perkiraan: 1921 atau 1922.
Coolhaas merogoh lenso dari saku biskap, menyapu peluh dari wajahnya. Tengadah sebentar ke langit, seakan mencari posisi matahari. Pagi telah beranjak siang, di hari itu, hari yang tak sempat dicatatnya, juga bulannya, kecuali tahun. Itupun hanya perkiraan: 1921 atau 1922.
Dari
arah pantai berjarak kurang 100 meter dari jalan raya dan rumah Mahimo, Coolhaas mendengar suara ramai yang merambat seperti bergelombang bersama kelabat angin yang bertiup dari pantai. Dia memasang
telinga. Memastikan apa yang sedang terjadi di sana.
“Permisi
tuan. Silahkan masuk”. Suara Mahimo dari tangga di pintu pagar, mengalihkan
perhatian Coolhaas. Mereka lalu melangkah memasuki beranda rumah Mahimo.
Beranda
rumah itu, selazimnya rumah-rumah di Tidore, hanya ada dinding di bagian
bawahnya, setinggi 1 meteran. Bagian atasnya dibiarkan terbuka. Menghalangi
sinar matahari atau air hujan agar tak tempias ke dalam, bagian yang terbuka hanya
disekati dengan Kalasa, tikar dari
kulit tebu hutan atau kulit pelepah gaba. Di beranda itu, riuh suara dari
pantai masih terdengar juga.
“Kenapa
ada ribut-ribut di sana”. Tanya si ambtenaar dengan dialeg Melayu yang patah-patah.
“Ooo
tuan, itu orang-orang kampung Baku Simore,
“Baku
apa? Simole..?” Sela si ambtenaar.
“Iya
Simore, tuan. Orang-orang senang dan gembira. Dong pe anak dan laki baru pulang
dari jauh”.
“Oooo..”,
si ambtenaar Coolhaas hanya menganggung-angguk.
Di
pantai, tiga Giop membongkar muatan. Para pemuda dan pria paruh baya memanggul beras, gula, kopi dan lain-lain dari Giop, menurunkannya di pantai atau langsung ke rumah. Bocah-bocah berkerumun dua
tiga kelompok kecil, memerhatikan dan kadang saling membandingkan Doyo, oleh-oleh, mainan dan celana boven.
Kaum ibunya pun tak kalah seru, saling membandingkan baju, bahan tekstil, keneper,
giwang, hingga alat dapur yang dibawa pulang suami, anak atau saudaranya dari rantau.
“Ekonomi
kamu orang di sini bagus ya?”, tanya Coolhaas sembari menyeruput air kelapa
muda.
“Iya
tuan, orang kampung sini kuat mencari. Dorang mangael sampe di Ambon, Bitung,
Manado”. Mahimo menjelaskan ringkas.
“Jadi,
itu tadi yang ribut-ribut... orang-orang baru pulang ha?”
Dzuhur
telah lewat hampir satu jam. Proses pemungutan pajak segera dimulai. Orang-orang
mulai berdatangan ke rumah Mahimo.
Pemuka kampung yang membantu tugas-tugas Mahimo
sekaligus koordinator pemungutan pajak kampung itu, telah siap dengan felpen dan buku catatan pajak.
Setengah
jam berikut, orang berdatangan makin banyak, memenuhi pekarangan Mahimo hingga ke pekarangan dan teras
tetangga. Nama-nama kepala keluarga mulai dipanggil satu persatu.
Tiba-tiba
sekelompok warga berteriak, memprotes pungatan pajak hari itu. Coolhaas tegang. Berdiri
ia dari kursinya dan mengambil posisi sigap. Susana seketika riuh. Warga yang
protes meneriakkan “Stop. Barenti. Torang tara akan bayar!”
Coolhaas
makin tegang. Ini tantangan pertama yang dijumpainya di Tidore. Ini akan
menghambat pekerjaannya. Merusak konditenya di mata atasannya.
“Mahimo!
Ada apa ini?” Tanya Coolhaas setengah berbisik tetapi dengan nada suara penuh
tekanan.
“Tenang
tuan,” Kata Mahimo singkat.
Mahimo tampil ke depan, meminta
perhatian warganya.
“Ngoni
samua coba tenang dulu. Ngoni protes apa sebenarnya?” Tanya Mahimo lantang.
“Tabea
Mahimo, torang tara akang bayar pajak, nilainya tara sesuai..”, kata seorang
warga, ditimpali pula kalimat serupa oleh warga lainnya.
Coolhaas
terkejut bukan main. Gegas ia melengkah lebih kedepan. Mahimo
coba menenangkannya, memastikan situasi dapat dikendalikannya, Colhaas
menampik tangan Mahimo dan tetap maju kemuka, berteriak.
“Tidak
bisa. Tidak bisa. Itu sudah ditetapkan dari atas”. Coolhaas menatap ke arah warga
dengan wajah tegang, barangkali juga geram.
“Tuan
jangan remehkan torang. Nilai pajak ini tara pas deng kitorang”... Warga
berteriak lantang dan sautan-sautan.
Coolhaas
lebih tegang lagi. Juga mulai agak marah. Dia berbalik cepat ke arah Mahimo.
“Bagaimana
ini tuan?”
“Tenang
tuan. Tenang. Biar saya bicara dengan dorang bae-bae”.
Mahiomo mendekati kerumunan warga.
Tampak mereka saling bicara dalam bahasa Tidore. Si ambtenaar Coolhaas menatap
cermat dari kejauhan. Tak sampai lima menit. Rembuk Mahimo dengan warganya selesai. Mahimo kembali ke beranda. Cooalhaas
gegas menghampirinya.
“Bagaiman
tuan? Tanyanya tak sabar.
“Maaf
tuan, biar dorang yang jelaskan”. Kata Mahimo
bikin Coolhaas keheranan bercampur geram.
Seorang
warga melangkah mendekati beranda. Coolhaas tak sabar menunggu apa yang akan
dikatakannya. Suasana hening. Lelaki yang mewakili warga pun tampak tegang.
“Eee..
tuan, torang.. e, torang pe pajak ini talalu kacil”. Dia jeda sejenak. Coolhaas
memperbaiki posisi duduknya, memperhatikan.
“Tuan
musti kase nae dua kali lipat. Itu baru cocok deng kitorang. Kalo tarada torang tara bayar.”.
Lelaki itu berbalik gegas, berjalan ke arah kerumunan warga. Coolhaas terpana, melongo. Antara lega bercampur heran.
Sejurus kemudian ia kembali menguasai dirinya dan berdiri tegap di hadapan warga, tersenyum lebar.
Lelaki itu berbalik gegas, berjalan ke arah kerumunan warga. Coolhaas terpana, melongo. Antara lega bercampur heran.
Sejurus kemudian ia kembali menguasai dirinya dan berdiri tegap di hadapan warga, tersenyum lebar.
“Its
goed, mooi.... Kamu orang heibat, heibat...” Coolhaas mangut-manggut, berdecak-decak.
Pemungutan
pajak siang itu pun berjalan lancar. Coolhaas tak habis pikir, biasanya masyarakat terlambat atau
enggan membayar pajaknya walau jumlahnya tak seberapa. Tapi di sini, di Mareku,
orang-orang justru tak mau membayar pajak bila jumlahnya tidak dinaikkan dua
kali lipat.
Heran, tak percaya, atau kagum, berputar dalam pikirannya seperti derap kakinya memutar pedal sepeda.
Heran, tak percaya, atau kagum, berputar dalam pikirannya seperti derap kakinya memutar pedal sepeda.
Laju sepedanya
kini melamban di jalan menanjak di ujung Kampung Bobo ke arah Kampung
Toloa. Bedug Ashar terdengar hampir bersamaan dari masjid di ujung selatan Kampung
Bobo dan dari masjid tua di Kampung Toloa.
Lima menit berikutnya sepeda Coolhaas sudah
di tengah Kampung Toloa. Dia berhenti tak jauh dari rumah Mahimo. Rumah itu ramai oleh kerumunan warga.
Coolhaas menuntun sepeda dan bertanya kepada beberapa warga di tepi jalan. Rupanya di rumah Mahimo sedang ada penyelesaian sengketa batas kebun.
Coolhaas menuntun sepeda dan bertanya kepada beberapa warga di tepi jalan. Rupanya di rumah Mahimo sedang ada penyelesaian sengketa batas kebun.
Coolhaas melangkah masuk ke pekarangan. Orang-orang memberi jalan.
Melihat Coolhaas masuk, Mahimo bangkit menyambutnya. Coolhaas kasih isyarat agar Mahimo tetap melanjutkan sidang perkara.
Coolhaas pun duduk menyaksikan persidangan. Lima menit kemudian putasan jatuh, Si Fulan dinyatanya bersalah. Sidang Bubar. Dilanjutkan dengan proses pemungutan pajak.
Melihat Coolhaas masuk, Mahimo bangkit menyambutnya. Coolhaas kasih isyarat agar Mahimo tetap melanjutkan sidang perkara.
Coolhaas pun duduk menyaksikan persidangan. Lima menit kemudian putasan jatuh, Si Fulan dinyatanya bersalah. Sidang Bubar. Dilanjutkan dengan proses pemungutan pajak.
Proses
pemungutan pajak berlangsung lancar, tanpa protes, interupsi atau inseden apapun.
Kurang lebih setengah jam urusan Coolhaas di Toloa beres. Uang pajak di isi kedalam kantong Zak Terigu. Coolhaas kemudian meminta Mahimo, uang pajaknya nanti di antar saja ke kantor atau ke rumahnya. Setelahnya dia bergegas pulang ke Soasio, yang jaraknya cukup jauh, lebih dari 20 kilometer dari Toloa.
Kurang lebih setengah jam urusan Coolhaas di Toloa beres. Uang pajak di isi kedalam kantong Zak Terigu. Coolhaas kemudian meminta Mahimo, uang pajaknya nanti di antar saja ke kantor atau ke rumahnya. Setelahnya dia bergegas pulang ke Soasio, yang jaraknya cukup jauh, lebih dari 20 kilometer dari Toloa.
**
Angin
sore sepanjang pesisir utara dan selatan Tidore bertiup pelan, sepelan kayuhan
sepeda Coolhaas. Hatinya lempang. Ia tak
merasa perlu tergesa-gesa sampai Soasio. Sebab jalanan pesisir yang dilaluinya sore
itu lebih cerah dan indah. Sesekali ia tersenyum, benar-benar tak percaya
dengan kejadian di Mareku beberapa jam lalu.
Sepedanya
kini melucur agak kencang menuruni kelokan jalan ke tanjung Tongawai. Matanya melirik-lirik
teluk dan tanjung, laut sore yang tenang, satu dua perahu nelayan mengapung di
sana.
Saat menikung di pangkal teluk kecil itu, matanya menangkap sesosok pria
paruh baya di tikungan jalan, persis di ujung tanjung. Langkah-langkah Si Pria begitu
gegas hingga seketika ia seolah menghilang, terhalangi rindang pohonan dan
tebing curam di ujung tanjung.
Coolhaas
mengayuh sepedanya lebih cepat. Kini jaraknya tak seberapa jauh dari pria itu.
Tampak olehnya pria itu menenteng karung kecil atau kantong. Sepedanya melaju
dan membuntuti Si Pria di dekat Lige Ma
Ake, danau kecil di dekat Kampung Seli.
Mendengar derit sepeda di belakngnya, Si Pria berbalik menengok. Ketika melihat yang datang adalah Coolhaas, si pria berhenti, memberi isyarat hormat.
Mendengar derit sepeda di belakngnya, Si Pria berbalik menengok. Ketika melihat yang datang adalah Coolhaas, si pria berhenti, memberi isyarat hormat.
Kini
Coolhaas benar-benar terkejut. Si Pria itu ternyata Si Fulan, terhukum sesuai
putasan Mahimo Toloa tadi.
Coolhaas lebih terkejut lagi, sebab mengenali kantong yang ditenteng Si Fulan adalah Zak Terigu berisi uang pajak warga Toloa yang tadi dipungutnya.
Coolhaas lebih terkejut lagi, sebab mengenali kantong yang ditenteng Si Fulan adalah Zak Terigu berisi uang pajak warga Toloa yang tadi dipungutnya.
“Kamu
orang mau kemana hah?” Tanya Coolhaas setengah menyelidik.
“Pigi
di kantor polisi, mo lapor diri, tuan”. Jawab Si Fulan enteng.
“Lalu
itu?” Tanya Coolhaas sambil menunjuk Zag Terigu yang ditenteng Si Fulan”.
“Mahimo
suruh saya bawa ini ke rumah tuan”.....
Coolhaas
benar-benar bingung wal heran. Benar-benar tak masuk di akal. Bagaimana mungkin
seseorang yang diputuskan bersalah, menyerobot batas kebun, mengambil hasil
kebun orang lain, di suruh pergi sendiri ke kantor polisi untuk menjalani
hukaman?
Bagaimana
bisa seorang terhukum, pelaku kejahatan, diminta membawa
uang pajak, hampir setengah Zak Terigu, sendirian, melewati perkampungan
lengang, melalui jalananan pesir yang lebih lengang lagi.
Bagaimana
seorang sepolos dan selugu Si Fulan mampu melakukan penyerobotan, mengambil hak orang
secara melawan hukum, melakukan kejahatan?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk
dalam pikiran Coolhaas seperti arus dan riak ombak membantun bibir tanjung Seli-Tongowai.
“Ayo,
naik. Kita sama-sama ke Soasio,” Coolhaas mempersilahkan Si Fulan naik ke
boncengan
“Tara
usa tuan, saya bajalang saja. So dekat”.
“Ayo
naik!”. Coolhaas berkata tegas, setengah memerintah.
Si
Fulan naik ke boncengan. Coolhaas mengayuh sepeda pelan menajaki jalan di ujung
Kampung Seli.
Kini
lebih banyak lagi pertanyaan di benaknya, peristiwa di Mareku, lalu Si Fulan.
Tanpa terasa sepedanya memasuki tanjung Soasio, melalui kelokan jalan persis di bawah Benteng Tehulla. Kurang 500 meter lagi ia tiba di rumah yang ditempatinya, di Soajawa. Senyumnya melebar.
Tanpa terasa sepedanya memasuki tanjung Soasio, melalui kelokan jalan persis di bawah Benteng Tehulla. Kurang 500 meter lagi ia tiba di rumah yang ditempatinya, di Soajawa. Senyumnya melebar.
Sepedanya
dikayuh lebih kencang, melewati rumahnya, melewati Soa Jawa. Si Fulan heran,
mengapa si ambtenaar ini tak langsung saja ke rumah tetapi mengayuh sepeda sejauh
ini. Si Fulan memendam rasa herannya.
“Kring-kring,
kring-kring’.. Coolhaas sengaja membunyikan bel sepedanya begitu masuk ke
pekarangan Kantor Polisi. Dua polisi di pos jaga mendongakkan kepala, berpaling
ke arah bunyi bel.
Coolhaas memarkir sepedanya cepat dan bersama si Fulan menghampiri ke pos jaga.
Coolhaas memarkir sepedanya cepat dan bersama si Fulan menghampiri ke pos jaga.
Coolhaas
dan kedua petugas bercakap dalam bahasa Belanda. Sesekali Coolhas menunjuk ke
Si Fulan, ke Zak Terigu yang masih di tangan Si Fulan. Petugas mengeluarkan
kertas, semacam blanko atau apa. Coolhaas mengambil felpen dari kantong
biskapnya, tampak menulis di blanko itu, menekennya. Itu saja. Lalu ia
berbalik, memberi isyarat kepada Si Fulan.
Sepeda
dikayuh cepat meninggalkan kantor polisi. Sudah sangat sore. Tak ada percakapan
sepanjang jarak dari Goto-Tuguwaji ke Soasio.
Di hati Coolhaas mungkin masih berkecamuk pertanyaan atau keheranan. Atau barangkali sebuah simpulan: Ini kan menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir selama masa tugasnya di Tidore, mungkin sepanjang usianya, bahkan mungkin sepanjang zaman. Kemungkinan besarnya cerita seperti ini tak akan pernah terjadi kapanpun dan dimanapun juga.
Di hati Coolhaas mungkin masih berkecamuk pertanyaan atau keheranan. Atau barangkali sebuah simpulan: Ini kan menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir selama masa tugasnya di Tidore, mungkin sepanjang usianya, bahkan mungkin sepanjang zaman. Kemungkinan besarnya cerita seperti ini tak akan pernah terjadi kapanpun dan dimanapun juga.
Sepeda
berhenti persis di persimpangan yang memotong jalan dari Masjid Sultan ke arah
Soa Jawa, dan dari Doro Kolano ke arah Kadato Kesultanan. Tempat
tinggalnya memang tak jauh dari situ.
“Kamu
pulanglah. Bawa ini dan kasih ke Mahimo”.
Coolhaas menyodorkan secarik kertas kepada Si Fulan. Si Fulan yang lugu dan tentu saja kebingungan menerimanya.
Coolhaas memberi isyarat, segeralah pulang. Sebentar lagi malam. Si Fulan berbalik dan melangkah pulang menyusuri ujung senja yang mulai temaram.
Coolhaas menyodorkan secarik kertas kepada Si Fulan. Si Fulan yang lugu dan tentu saja kebingungan menerimanya.
Coolhaas memberi isyarat, segeralah pulang. Sebentar lagi malam. Si Fulan berbalik dan melangkah pulang menyusuri ujung senja yang mulai temaram.
Kini,
Coolhas berhenti di ujung tangga depan pintu rumah yang ditempatinya. Dia masih
tetap di atas sepedanya. Pandangannya sejenak tak geming ke arah Si Fulan
melangkah pulang.
Langit senja di atas Benteng Tehulla, jingganya telah memudar menjadi merah-hitam. Pandangannya mengitari ujung utara Kampung Soasio. Menyapu seluruh sisinya, seolah hendak menyalin sebanyak mungkin detilnya ke dalam ingatannya; Sigi Kolano, pantai dengan Doro Kolano membujur, rumah-rumah penduduk, orang-orang lalau lalang dan saling menyapa dengan ramah, saling mengangkat Suba.
Langit senja di atas Benteng Tehulla, jingganya telah memudar menjadi merah-hitam. Pandangannya mengitari ujung utara Kampung Soasio. Menyapu seluruh sisinya, seolah hendak menyalin sebanyak mungkin detilnya ke dalam ingatannya; Sigi Kolano, pantai dengan Doro Kolano membujur, rumah-rumah penduduk, orang-orang lalau lalang dan saling menyapa dengan ramah, saling mengangkat Suba.
Jika
nanti dia selesai bertugas dan meninggalkan pulau ini, dua cerita ini akan
menjadi bagian utama dari catatan dan cerita indah yang akan dibawanya pulang.
Sebagaiannya akan ditulis atau diceritakannya dan sebagain lainnya barangkali
hanya mampu dihayatinya diam-diam.
***
Lebih
80 tahun berlalu, saya menemukan kedua cerita itu dalam sebuah buku tua
yang tipis, "Bestuuren Overzee Herinneringen van Oud - Amdtenaaren Bij
Het Binenlands Bestuur In Nederlandch Indie” (Franeker, oleh T. Wever BV, 1977),
WP.H. Coolhaas benar-benar menulisnya
sebagai cerita penting dan bernilai, yang ditempatkannya berdampingan
dengan pengalamannya menjalankan tugas sebagai inspektur pajak, pengamatannya
terhadap sejarah, budaya dan lain sebagainya.
Cerita
asli Coolhaas sebenarnya ringkas. Sangat ringkas malah. Saya — dengan agak berani dan barangkali juga
lancang — coba mereka-tafsirkannya lalu
membangun cerita ini secara dialogis. Sebab
bagaimanapun, kedua cerita ini seperti jalan kecil memasuki keluhuran dan kearifan Tidore yang besar.
Sofyan
Daud. Oktober 2014
Sungguh Tidore, tanah penuh dengan kearifan leluhur, InsaAllah...
BalasHapusIya Mbak, mempelajari, merawat dan melestarikannya sungguh tanggung jawab yang berat. Terima kasih apresiasinya.
HapusSaya terkesima dengan cerita ini. Terima kasih sudah menuliskannya, Pak :)
BalasHapus