Minggu, 26 Februari 2017

Dua Cerita Tidore Dari 1920an


Warga Mareku, kampung tua, kampungnya para Sangaji di utara Pulau Tidore itu, marah dan memprotes petugas pajak Belanda yang datang menagih pajak. Mereka menolak membayar pajak yang dikenakan karena besarannya dianggap tidak sesuai.

Sepeda tua. (foto: picssr.com)

Pagi sekitar pukul sepuluh. Beatuursambtenaar Coolhaas, mengayuh sepedanya pelan dari arah Mareku Gam Sungi melalui jalan menurun ke tanjung Mareku yang berbatu.
Derit rantai sepeda Batavus atau Bazelle itu, juga putaran rodanya, sepintas mirip desau lembut angin selusupi daunan Ketapang dan Pandan pantai yang amat lebat di situ. Roda-roda melindas kerikil jalanan seolah seruak ombak mendesis di cecelah batuan pantai.
Sepeda Coolhaas kini di jalan menanjak hampir di tengah kampung Mareku. Tampak rumah-rumah warga rata-rata berdinding kapur, berderet rapi mengikuti topografis kampung yang agak tinggi di kaki Gunung Marijang dan melandai ke arah pantai.
Di tengah kampung, persis di depan rumah Mahimo (Kepala Kampung), Coolhaas turun dari sepeda. Menyandarkan sepedanya ke batang bunga Mentega besar, di dekat pintu pagar pekarangan rumah Mahimo. Tanaman Puring warna-warni, Bunga Tasbih dan Jambu air meneduhi rumah ini. 
Coolhaas merogoh lenso dari saku biskap, menyapu peluh dari wajahnya. Tengadah sebentar ke langit, seakan mencari posisi matahari. Pagi telah beranjak siang, di hari itu, hari yang tak sempat dicatatnya, juga bulannya, kecuali tahun. Itupun hanya perkiraan: 1921 atau 1922.
Dari arah pantai berjarak kurang 100 meter dari jalan raya dan rumah Mahimo, Coolhaas mendengar suara ramai yang merambat seperti bergelombang bersama kelabat angin yang bertiup dari pantai. Dia memasang telinga. Memastikan apa yang sedang terjadi di sana.
“Permisi tuan. Silahkan masuk”.  Suara Mahimo dari tangga di pintu pagar, mengalihkan perhatian Coolhaas. Mereka lalu melangkah memasuki beranda rumah Mahimo.
Beranda rumah itu, selazimnya rumah-rumah di Tidore, hanya ada dinding di bagian bawahnya, setinggi 1 meteran. Bagian atasnya dibiarkan terbuka. Menghalangi sinar matahari atau air hujan agar tak tempias ke dalam, bagian yang terbuka hanya disekati dengan Kalasa, tikar dari kulit tebu hutan atau kulit pelepah gaba. Di beranda itu, riuh suara dari pantai masih terdengar juga.
“Kenapa ada ribut-ribut di sana”. Tanya si ambtenaar dengan dialeg Melayu yang patah-patah.
“Ooo tuan, itu orang-orang kampung Baku Simore,
“Baku apa? Simole..?” Sela si ambtenaar.
“Iya Simore, tuan. Orang-orang senang dan gembira. Dong pe anak dan laki baru pulang dari jauh”.
“Oooo..”, si ambtenaar Coolhaas hanya menganggung-angguk.
Di pantai, tiga Giop membongkar muatan. Para pemuda dan pria paruh baya memanggul beras, gula, kopi dan lain-lain dari Giop, menurunkannya di pantai atau langsung ke rumah. Bocah-bocah berkerumun dua tiga kelompok kecil, memerhatikan dan kadang saling membandingkan Doyo, oleh-oleh, mainan dan celana boven. Kaum ibunya pun tak kalah seru, saling membandingkan baju, bahan tekstil, keneper, giwang, hingga alat dapur yang dibawa pulang suami, anak atau saudaranya dari rantau.
“Ekonomi kamu orang di sini bagus ya?”, tanya Coolhaas sembari menyeruput air kelapa muda.
“Iya tuan, orang kampung sini kuat mencari. Dorang mangael sampe di Ambon, Bitung, Manado”. Mahimo menjelaskan ringkas.
“Jadi, itu tadi yang ribut-ribut... orang-orang baru pulang ha?”

Dzuhur telah lewat hampir satu jam. Proses pemungutan pajak segera dimulai. Orang-orang mulai berdatangan ke rumah Mahimo. Pemuka kampung yang membantu tugas-tugas Mahimo sekaligus koordinator pemungutan pajak kampung itu, telah siap dengan felpen dan buku catatan pajak.
Setengah jam berikut, orang berdatangan makin banyak, memenuhi pekarangan Mahimo hingga ke pekarangan dan teras tetangga. Nama-nama kepala keluarga mulai dipanggil satu persatu.
Tiba-tiba sekelompok warga berteriak, memprotes pungatan pajak hari itu. Coolhaas tegang. Berdiri ia dari kursinya dan mengambil posisi sigap. Susana seketika riuh. Warga yang protes meneriakkan “Stop. Barenti. Torang tara akan bayar!”
Coolhaas makin tegang. Ini tantangan pertama yang dijumpainya di Tidore. Ini akan menghambat pekerjaannya. Merusak konditenya di mata atasannya.
“Mahimo! Ada apa ini?” Tanya Coolhaas setengah berbisik tetapi dengan nada suara penuh tekanan.
“Tenang tuan,” Kata Mahimo singkat.
Mahimo tampil ke depan, meminta perhatian warganya.
“Ngoni samua coba tenang dulu. Ngoni protes apa sebenarnya?” Tanya Mahimo lantang.
“Tabea Mahimo, torang tara akang bayar pajak, nilainya tara sesuai..”, kata seorang warga, ditimpali pula kalimat serupa oleh warga lainnya.
Coolhaas terkejut bukan main. Gegas ia melengkah lebih kedepan. Mahimo coba menenangkannya, memastikan situasi dapat dikendalikannya, Colhaas menampik tangan Mahimo dan tetap maju kemuka, berteriak.
“Tidak bisa. Tidak bisa. Itu sudah ditetapkan dari atas”. Coolhaas menatap ke arah warga dengan wajah tegang, barangkali juga geram.
“Tuan jangan remehkan torang. Nilai pajak ini tara pas deng kitorang”... Warga berteriak lantang dan sautan-sautan.
Coolhaas lebih tegang lagi. Juga mulai agak marah. Dia berbalik cepat ke arah Mahimo.
“Bagaimana ini tuan?”
“Tenang tuan. Tenang. Biar saya bicara dengan dorang bae-bae”.
Mahiomo mendekati kerumunan warga. Tampak mereka saling bicara dalam bahasa Tidore. Si ambtenaar Coolhaas menatap cermat dari kejauhan. Tak sampai lima menit. Rembuk Mahimo dengan warganya selesai. Mahimo kembali ke beranda. Cooalhaas gegas menghampirinya.
“Bagaiman tuan? Tanyanya tak sabar.
“Maaf tuan, biar dorang yang jelaskan”. Kata Mahimo bikin Coolhaas keheranan bercampur geram.
Seorang warga melangkah mendekati beranda. Coolhaas tak sabar menunggu apa yang akan dikatakannya. Suasana hening. Lelaki yang mewakili warga pun tampak tegang.
“Eee.. tuan, torang.. e, torang pe pajak ini talalu kacil”. Dia jeda sejenak. Coolhaas memperbaiki posisi duduknya, memperhatikan.
“Tuan musti kase nae dua kali lipat. Itu baru cocok deng kitorang. Kalo tarada torang tara bayar.”. 
Lelaki itu berbalik gegas, berjalan ke arah kerumunan warga. Coolhaas terpana, melongo. Antara lega bercampur heran. 
Sejurus kemudian ia kembali menguasai dirinya dan berdiri tegap di hadapan warga, tersenyum lebar.
Its goed, mooi.... Kamu orang heibat, heibat...” Coolhaas mangut-manggut, berdecak-decak.
 Pemungutan pajak siang itu pun berjalan lancar. Coolhaas tak habis pikir, biasanya masyarakat terlambat atau enggan membayar pajaknya walau jumlahnya tak seberapa. Tapi di sini, di Mareku, orang-orang justru tak mau membayar pajak bila jumlahnya tidak dinaikkan dua kali lipat. 
Heran, tak percaya, atau kagum, berputar dalam pikirannya seperti derap kakinya memutar pedal sepeda.
Laju sepedanya kini melamban di jalan menanjak di ujung Kampung Bobo ke arah Kampung Toloa. Bedug Ashar terdengar hampir bersamaan dari masjid di ujung selatan Kampung Bobo dan dari masjid tua di Kampung Toloa. 
Lima menit berikutnya sepeda Coolhaas sudah di tengah Kampung Toloa. Dia berhenti tak jauh dari rumah Mahimo. Rumah itu ramai oleh kerumunan warga. 
Coolhaas menuntun sepeda dan bertanya kepada beberapa warga di tepi jalan. Rupanya di rumah Mahimo sedang ada penyelesaian sengketa batas kebun.
Coolhaas melangkah masuk ke pekarangan. Orang-orang memberi jalan. 
Melihat Coolhaas masuk, Mahimo bangkit menyambutnya. Coolhaas kasih isyarat agar Mahimo tetap melanjutkan sidang perkara. 
Coolhaas pun duduk menyaksikan persidangan. Lima menit kemudian putasan jatuh, Si Fulan dinyatanya bersalah. Sidang Bubar. Dilanjutkan dengan proses pemungutan pajak.
Proses pemungutan pajak berlangsung lancar, tanpa protes, interupsi atau inseden apapun. 
Kurang lebih setengah jam urusan Coolhaas di Toloa beres. Uang pajak di isi kedalam kantong Zak Terigu. Coolhaas kemudian meminta Mahimo, uang pajaknya nanti di antar saja ke kantor atau ke rumahnya. Setelahnya dia bergegas pulang ke Soasio, yang jaraknya cukup jauh, lebih dari 20 kilometer dari Toloa.

**
Angin sore sepanjang pesisir utara dan selatan Tidore bertiup pelan, sepelan kayuhan sepeda Coolhaas.  Hatinya lempang. Ia tak merasa perlu tergesa-gesa sampai Soasio. Sebab jalanan pesisir yang dilaluinya sore itu lebih cerah dan indah. Sesekali ia tersenyum, benar-benar tak percaya dengan kejadian di Mareku beberapa jam lalu.
Sepedanya kini melucur agak kencang menuruni kelokan jalan ke tanjung Tongawai. Matanya melirik-lirik teluk dan tanjung, laut sore yang tenang, satu dua perahu nelayan mengapung di sana. 
Saat menikung di pangkal teluk kecil itu, matanya menangkap sesosok pria paruh baya di tikungan jalan, persis di ujung tanjung. Langkah-langkah Si Pria begitu gegas hingga seketika ia seolah menghilang, terhalangi rindang pohonan dan tebing curam di ujung tanjung.
Coolhaas mengayuh sepedanya lebih cepat. Kini jaraknya tak seberapa jauh dari pria itu. Tampak olehnya pria itu menenteng karung kecil atau kantong. Sepedanya melaju dan membuntuti Si Pria di dekat Lige Ma Ake, danau kecil di dekat Kampung Seli. 
Mendengar derit sepeda di belakngnya, Si Pria berbalik menengok. Ketika melihat yang datang adalah Coolhaas, si pria berhenti, memberi isyarat hormat.
Kini Coolhaas benar-benar terkejut. Si Pria itu ternyata Si Fulan, terhukum sesuai putasan Mahimo Toloa tadi. 
Coolhaas lebih terkejut lagi, sebab mengenali kantong yang ditenteng Si Fulan adalah Zak Terigu berisi uang pajak warga Toloa yang tadi dipungutnya.
“Kamu orang mau kemana hah?” Tanya Coolhaas setengah menyelidik.
“Pigi di kantor polisi, mo lapor diri, tuan”. Jawab Si Fulan enteng.
“Lalu itu?” Tanya Coolhaas sambil menunjuk Zag Terigu yang ditenteng Si Fulan”.
“Mahimo suruh saya bawa ini ke rumah tuan”.....
Coolhaas benar-benar bingung wal heran. Benar-benar tak masuk di akal. Bagaimana mungkin seseorang yang diputuskan bersalah, menyerobot batas kebun, mengambil hasil kebun orang lain, di suruh pergi sendiri ke kantor polisi untuk menjalani hukaman?
Bagaimana bisa seorang terhukum, pelaku kejahatan, diminta membawa uang pajak, hampir setengah Zak Terigu, sendirian, melewati perkampungan lengang, melalui jalananan pesir yang lebih lengang lagi.
Bagaimana seorang sepolos dan selugu Si Fulan mampu melakukan penyerobotan, mengambil hak orang secara melawan hukum, melakukan kejahatan? 
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Coolhaas seperti arus dan riak ombak membantun bibir tanjung Seli-Tongowai.
“Ayo, naik. Kita sama-sama ke Soasio,” Coolhaas mempersilahkan Si Fulan naik ke boncengan
“Tara usa tuan, saya bajalang saja. So dekat”.
“Ayo naik!”. Coolhaas berkata tegas, setengah memerintah.
Si Fulan naik ke boncengan. Coolhaas mengayuh sepeda pelan menajaki jalan di ujung Kampung Seli.
Kini lebih banyak lagi pertanyaan di benaknya, peristiwa di Mareku, lalu Si Fulan. 
Tanpa terasa sepedanya memasuki tanjung Soasio, melalui kelokan jalan persis di bawah Benteng Tehulla. Kurang 500 meter lagi ia tiba di rumah yang ditempatinya, di Soajawa. Senyumnya melebar.
Sepedanya dikayuh lebih kencang, melewati rumahnya, melewati Soa Jawa. Si Fulan heran, mengapa si ambtenaar ini tak langsung saja ke rumah tetapi mengayuh sepeda sejauh ini. Si Fulan memendam rasa herannya.
“Kring-kring, kring-kring’.. Coolhaas sengaja membunyikan bel sepedanya begitu masuk ke pekarangan Kantor Polisi. Dua polisi di pos jaga mendongakkan kepala, berpaling ke arah bunyi bel. 
Coolhaas memarkir sepedanya cepat dan bersama si Fulan menghampiri ke pos jaga.
Coolhaas dan kedua petugas bercakap dalam bahasa Belanda. Sesekali Coolhas menunjuk ke Si Fulan, ke Zak Terigu yang masih di tangan Si Fulan. Petugas mengeluarkan kertas, semacam blanko atau apa. Coolhaas mengambil felpen dari kantong biskapnya, tampak menulis di blanko itu, menekennya. Itu saja. Lalu ia berbalik, memberi isyarat kepada Si Fulan.
Sepeda dikayuh cepat meninggalkan kantor polisi. Sudah sangat sore. Tak ada percakapan sepanjang jarak dari Goto-Tuguwaji ke Soasio. 
Di hati Coolhaas mungkin masih berkecamuk pertanyaan atau keheranan. Atau barangkali sebuah simpulan: Ini kan menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir selama masa tugasnya di Tidore, mungkin sepanjang usianya, bahkan mungkin sepanjang zaman. Kemungkinan besarnya cerita seperti ini tak akan pernah terjadi kapanpun dan dimanapun juga.
Sepeda berhenti persis di persimpangan yang memotong jalan dari Masjid Sultan ke arah Soa Jawa, dan dari Doro Kolano ke arah Kadato Kesultanan. Tempat tinggalnya memang tak jauh dari situ.
“Kamu pulanglah. Bawa ini dan kasih ke Mahimo”. 
Coolhaas menyodorkan secarik kertas kepada Si Fulan. Si Fulan yang lugu dan tentu saja kebingungan menerimanya. 
Coolhaas memberi isyarat, segeralah pulang. Sebentar lagi malam. Si Fulan berbalik dan melangkah pulang menyusuri ujung senja yang mulai temaram.
Kini, Coolhas berhenti di ujung tangga depan pintu rumah yang ditempatinya. Dia masih tetap di atas sepedanya. Pandangannya sejenak tak geming ke arah Si Fulan melangkah pulang. 
Langit senja di atas Benteng Tehulla, jingganya telah memudar menjadi merah-hitam. Pandangannya mengitari ujung utara Kampung Soasio. Menyapu seluruh sisinya, seolah hendak menyalin sebanyak mungkin detilnya ke dalam ingatannya; Sigi Kolano, pantai dengan Doro Kolano membujur, rumah-rumah penduduk, orang-orang lalau lalang dan saling menyapa dengan ramah, saling mengangkat Suba.
Jika nanti dia selesai bertugas dan meninggalkan pulau ini, dua cerita ini akan menjadi bagian utama dari catatan dan cerita indah yang akan dibawanya pulang. Sebagaiannya akan ditulis atau diceritakannya dan sebagain lainnya barangkali hanya mampu dihayatinya diam-diam.

***
Lebih 80 tahun berlalu, saya menemukan kedua cerita itu dalam sebuah buku tua yang tipis, "Bestuuren Overzee Herinneringen van Oud - Amdtenaaren Bij Het Binenlands Bestuur In Nederlandch Indie” (Franeker, oleh T. Wever BV, 1977),  
 WP.H. Coolhaas benar-benar menulisnya sebagai cerita penting dan bernilai, yang ditempatkannya berdampingan dengan pengalamannya menjalankan tugas sebagai inspektur pajak, pengamatannya terhadap sejarah, budaya dan lain sebagainya.
Cerita asli Coolhaas sebenarnya ringkas. Sangat ringkas malah.  Saya — dengan agak berani dan barangkali juga lancang — coba mereka-tafsirkannya lalu membangun cerita ini secara dialogis. Sebab bagaimanapun, kedua cerita ini seperti jalan kecil memasuki keluhuran dan kearifan Tidore yang besar.


Sofyan Daud. Oktober 2014

3 komentar:

  1. Sungguh Tidore, tanah penuh dengan kearifan leluhur, InsaAllah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, mempelajari, merawat dan melestarikannya sungguh tanggung jawab yang berat. Terima kasih apresiasinya.

      Hapus
  2. Saya terkesima dengan cerita ini. Terima kasih sudah menuliskannya, Pak :)

    BalasHapus