Senin, 20 Februari 2017

Tidore dan Khasanahnya


      Pulau ini hanya noktah di peta Indonesia tetapi jejak sejarahnya membentang panjang. Banyak kearifan dalam khasanah budayanya. 
      Tidore, satu dari tujuh pulau berpenghuni di sisi barat Pulau Halmahera yang berjejer rapi dari utara ke selatan; Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti dan Makian. Tampak tersembul indah di hamparan biru laut Halmahera bagaikan jejumput tanah surga yang ditaburkan tangan-tangan malaikat.
Berjejer rapi Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti dan Makian. (Foto: Xavier Jubier)
     Tidore bersebelahan dengan Ternate. Terpisah hanya oleh selat selebar kurang lebih 1 mil. Di antara keduanya ada Maitara, pulau yang lebih lecil. 
     Selat dengan keindahan eksotis dan magis. Salah satu panorama terbaik sekelas wallpaper di Maluku Utara. 
     Selalu membetikkan takjub saat memandang apalagi melintasinya, terutama di waktu pagi, sore menjelang matahari terbenam, atau di saat malam dini. Pulau Tidore, Maitara dan Ternate merangkul selat ini sehingga tampak serupa danau. 
     Saat tidak sedang musim angin dan ombak, selat ini amat tenang. Waktu 10 menit melintasinya akan terlewati begitu saja. Tak terasa. Mereka yang pertamakali melintasi selat ini bahkan bisa saja kebingungan harus mengamati, memotret atau mengambil video sisi mananya untuk disimpan sebagai kenangan dan cerita indah. Semua sisinya memang indah.
      Menjejak pulau tuah Tidore, mata segera bersua panorama kota pantai yang hijau dan asri. Jalan mulus cenderung lengang melintasi pesisir, melalui perkampungan dengan rumah-rumah penduduk amat teratur, pekarangannya yang bersih dan apik dipenuhi tanaman hias dan bunga. Melalui juga pantai dengan teluk dan tanjung yang indah. 
    Perjalanan 20-30 menit menuju ke pusat kota tak menjemukan sama sekali, sebab kota ini menyeruakkan banyak keindahan dan ketenangan. 

SEJARAH & PERAN KESEJARAHAN 
     Pada 12 April 2017 Tidore menjejak usia 909 tahun, dihitung sejak 1108 Miladyah, tahun terbentuknya kesultanannya. Usia yang tua, hampir 1 milenium. Bahkan jika dihitung dari era Momole (penguasa Tidore pra sultan) usia peradabannya lebih dari satu milinium.
      Coolhaas (1977:77) menyebutkan. kerajaan atau kesultanan di pulau-pulau noktah ini telah eksis sebelum orang Barat menjejakkan kakinya di Maluku dan Nusantara, bahkan "lebih tua dari dinasti raja-raja Jawa".
     "Setiap peradaban panjang adalah kesabaran panjang manusia memintasi ruang dan waktu" tulis A. Malik Ibrahim dalam "Gam Jang, Percikan Pemikiran Kota Pulau".   
     Kesabaran panjang Tidore membangun dan merawat peradabannya adalah epos dan babad yang panjang. Di dalamnya banyak nilai falsafi, gagasan, pencapaian hingga beribu kronika. Sebagian besarnya belum sempat dicatat secara pantas dalam buku-buku Sejarah Nasional Indonesia.
    Jejak kebesaran dan kemasyhuran kesultanan Tidore dapat dilihat pada wilayah kekuasaannya yang membentang luas, mencapai 1/3 dari wilayah Republik Indonesia sekarang. Menghampar dari Tidore dan pulau-pulau di sekitarnya ke Nyili Lofo-lofo; Oba, Weda, Patani dan Maba atau wilayah Gam Range, Nyili Gulu-gulu; Papua dan Raja Ampat, Seram Timur, Kei, Tanimbar. Sampai ke beberapa daerah di pesisir Pulau Sulawesi, menjangkau ke Mindanao hingga ke kepulauan Pasifik.
     Legenda dan magis cengkeh dari pulau ini, juga dari Ternate dan wilayah Maluku umumnya menjadi impian yang menyihir bangsa-bangsa benua rela berlayar mengitari lingkaran bumi untuk mencapai pulau ini.
     Sumber-sumber sejarah telah banyak mengulas betapa cengkeh menjadi fenomena ribuan tahun Sebelum Masehi. Segenggam cengkeh dalam wadah keramik terbakar yang ditemukan oleh suatu tim arkeologi di gurun pasir Suriah dengan simpulan bahwa tahun kejadian kebakaran tersebut adalah 1721 SM (Turner, 2011:xix), semakin memperkuat sumber-sumber sejarah yang ada.
      Cengkeh, Pala dan rempah lainnya menarik bangsa-bangsa Arab, Cina dan India melayari 7.500 mil laut untuk mencapai pulau-pulau noktah ini. 
      Interaksi niaga rempah yang dibarterkan dengan tekstil sutra Cina, kapas Gujarat-India, emas dan dinar Arab, yang kemudian mengabadikan jalur niaga ini sebagai Jalur Sutera (Silk Road) yang sebenarnya tumbuh bersamaan atau oleh karena adanya niaga rempah (Spice Road), yang berkembang pesat sekitar 200 tahun SM (Tan Ta Sen, 2010:2016-217).
      Jalur niaga ini menjadi arteri penting paling mula-mula bagi komunikasi dan kontak budaya Timur-Barat yang berlangsung selama 1 milinium.
      Magis Cengkeh pulau-pulau noktah ini dan juga Pala dari wilayah kekuasaannya di kepulauan Maluku bagian selatan adalah komoditas paling mahal sehingga paling diburu bangsa-bangsa sedunia. Ini memengaruhi bahkan mengubah dunia pada masa itu.
    Bangsa-bangsa dari belahan dunia berbeda, saling berlomba mengembangkan teknologi perkapalan, peta pelayaran, kompas dan sistem navigasi, melatih pelaut-pelautnya yang ulung, memutakhirkan sistem persenjataan, memobilisasi penguasaha dan pedagang bermodal besar sekaligus pemberani. Semuanya mempertaruhkan miliknya yang terbaik untuk ini.
     Milenium ekspedisi dan pelayaran dunia yang menandai penemuan penting, dimana bangsa Cina oleh Gavin Menzies (2010) disebut sebagai pelopor penjelajahan samudera hingga mengembangkan peta pelayaran, rute ke pulau-pulau noktah ini. Peta dan informasi itu yang kemudian dipergunakan oleh Columbus, De Gama, Magellan, Cook, untuk menemukan pulau-pulau legenda ini.
      Kesemuanya itu menjadi titik mangsa Globalisasi Purba (Archaic Globalization), seperti di sebut Adam Smith dalam "An Inquiry in to the Natare and Causes of Wealth of Nation (1776)” dan dikutip Yudi Latif (2011).
      Pulau-pulau noktah ini pula yang memantapkan tesis "bumi bulat" ketika Portugis dan Spanyol berhasil melego jangkar di Gamlamo, Ternate dan di Rum, Tidore. Pertemuan kedua adidaya yang kemudian mendorong ratifikasi traktak Tordesillas 1494 dengan traktat Zaragossa 1529, antara Portugis dan Spanyol.
    Dalam konteks ke-Indonesiaan, pulau-pulau noktah ini memberi andil besar bagi proto nasionalisme perjuangan Indonesia mereraih kemerdekaannya melalui perjuangan heroik para sultan dan rakyatnya melawan imperialisme. Sultan Tidore, Nuku Amiruddin, Kaicil Paparangan Jou Barakati adalah yang terbesar pengaruhmya dalam hal ini sehingga diakui sebagai pahlawan nasional.
      Tidore bersama kesultanan Maluku lainnya juga mengonversi wilayahnya seluas lebih 1/3 dari wailayah NKRI saat ini. Tidore terutama menjadi penentu keberhasilan perjuangan Trikora untuk memasukkan Papua kedalam wilayah kedaulatan NKRI, karena Papua merupakan wilayah kekuasaan kesultanan Tidore. Tidore menjadi ibukota Provinsi Perjuangan Irian Barat dan sultannya, yang mulia Zainal Abidin Syah adalah gubernurnya pertamanya. Belum lagi kontribusinya dari sisi nilai-nilai falsafah, budaya dan tradisi. 

SEKILAS JEJAK HAMPARAN BUDAYANYA     
     Wilayah kekuasaan sebuah imperium tentu bukan teretori geografis semata melainkan juga hamparan-hamparan kebuadayaan dengan jejak yang dapat dilacak. 
      Ketika tiba di Raja Ampat dan melihat tulisan “Suba Jou”, ungkapan selamat datang di gerbang utama kota atau di lokasi-lokasi wisata di sana, itu adalah kata-kata dari Bahasa Tidore (sama juga dengan Ternate, Bacan dan Jailolo), artinya “tuan yang terhormat”. Kata-kata ini dapat juga dijumpai dalam banyak lirik kidung pujian kaum Kristiani di Papua.  
      Sasi untuk pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana, yang dijumpai di beberapa daerah di timur Indonesia, di Pulau Buru, Seram, Ambon, Kepulauan Lease, Watubela, Banda, Kepulaun, Kei, Aru, di Papua, seperti di Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Nabire, Biak, Numfor, Yapen, Fak-fak dan lain-lain, berasal dari pulau-pulau noktah ini. Sasi secara harafiah berarti sumpah, bersumpah, bertekad mematuhi ketentuan mengenai suatu perkara penting, kepentingan umum, dan seterusnya.
      Bahasa Melayu khas Maluku Utara, dengan kosakata terkenalnya “Kita, Ngana, Ngoni, Torang, Dorang”, yang mirip dengan Manado dan Sulawesi Utara pada umumnya, Ambon, Papua, dan beberapa wilayah lain, adalah berasal dari pulau-pulau noktah ini, pusat-pusat kebudayaan Maluku di masa lalu. Dalam kenyataannya, masih banyak yang salah kaprah mengira sebaliknya.
       Tarian Cakalele (Caka/Coka, artinya Suwanggi atau roh halus dan Lele, artinya leleh, darah yang meleleh), adalah kebiasaan para parajurit Maloku Kie Raha di masa lalu yang saat berperang sebagiannya kerasukan roh-roh halus dan meminum darah. Cakalele  kini dilestarikan sebagai tarian perang, dan kadang secara salah kaprah sering diidentikan dengan tarian dari Ambon atau Maluku. Gerakan dasar, irama musik pengiring Cakalele mirip setidaknya mewarnai beberapa tarian bernuansa perang lainnya, misalnya Soya-soya, Orodoma, Tari Kapita, dan lain-lain. 
       Bambu Gila juga tradisi dari pulau-pulau noktah ini. Di Tidore dinamakan Baramasuwen. Tradisi ini di masa lalu digunakan untuk melakukan perkerjaan yang membutuhkan tenaga yang besar, misalnya mengangkat atau memindahkan benda-benda besar dan berat. 
      Sekadar diketahui, Maluku yang sekarang berpusat di Ambon, di masa lalu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan Tidore dan Ternate. Beberapa tradsi atau folklore di sana diwarisi dan atau dipengaruhi budaya dari pusat-pusat kebudayaannya di Tidore dan Ternate. 
       Maluku sampai dengan sebelum awal abad ke 18 identik dengan pusat-pusat kesultanan, pulau-pulau noktah yang merupakan pulau-pulau utama atau pusat. Kepentingan pilitik dagang VOC-Belanda yang diikuti dengan penataan wilayah adminitratif pemerintahan di Hindia Belanda kemudian memindahkan pusat Maluku dari Ternate ke Ambon, dan seterusnya statusquo hingga Indonesia merdeka. 
       Maluku sejak itu menjadi identik dengan Ambon. Kesan ini semakin kuat ketika wilayah yang di masa lalu merupakan pusat, dibentuk sebagai provinsi defenitif pada 1999 dengan nama Provinsi Maluku Utara, pemekaran dari Provinsi Maluku.
       Sejarah kesultanan ini mewariskan beberapa pusaka bendawi (Tangible Heritage) seperti Keraton (Kadato) di Kelurahan Soasio. Kadato yang berada di dataran tinggi Soasio, yang dikenal dengan Sonyine Salaka (Taman Perak), sehingga dari balkonnya tampak pemandangan laut dan pulau Halmahera terhampar indah.
      Di kadato ini terdapat Mahkota sultan yang sangat indah, juga stempel kesultanan, pakaian para sultan dan beberapa peninggalan berharga dan bernilai sejarah tinggi lainnya. Ada pula  peninggalan yang disimpan di Museum Sonyine Malige (Taman yang indah).
      Tak jauh dari Kadato berdiri kokoh Masjid Sultan (Sigi Kolano). Kurang lebih 100 meter dari Sigi Kolano terdapat Dermaga Kesultanan (Doro Kolano). Makam-makam para sultan semisal Sultan Nuku dan Sultan Zainal Abdidin Syah juga tak jauh dari situs-situs ini.
      Jejak sejarah Eropa di Tidore pun relatif terpelihara hingga kini. Lebih kurang 1,5 kilometer dari pelabuhan Rum terdapat Monumen pendaratan bangsa Spanyol di bawah pimpinan Juan Sebastian Delcano. Lebih kurang 30 meter dari monumen ini ada benteng Stjobe. Sayangnya kondisi benteng ini tampak miris. Butuh revitalisasi untuk pelestariannya. 
      Dua benteng lainnya yang kokoh di di atas bebukitan, yakni Benteng Tahula dan Benteng Tore, terletak tak jauh dari Kadato. Sementara satu benteng lainnya yakni Marisku, berada agak di luar kota, yakni di Keluahan Jiko Coba, Tidore Timur.

SPIRITULITAS DAN KEBERAGAMAAN    
       Sebagai pusat Kasultanan yang mashur, nuansa spiritualitas keberagamaan di Tidore sangat kuat. Di antaranya dapat dilihat pada banyaknya masjid di setiap kampung. Satu masjid ke masjid lain berdekatan, rata-rata 1 kilometer. Satu kampung atau kelurahan bisa memiliki lebih dari satu masjid, belum lagi mushollah (surau).  
      Tak ada majlis tarikat di manapun juga sebanyak di Tidore dan di wilayah-wilayah kekuasaannya yang moyoritas penduduknya muslim.  
      Majlis tahlilan dan dzikir setiap Kamis malam (malam Jum'at) yang disebut Gololi (keliling atau bergilir) dari rumah ke rumah anggota majlis. Majlis ini dapat dijumpai di setiap kampung dan di satu kampung bisa lebih dari satu majlis. Setiap tahlilan, para anggota majlis wajib menyetor iuran yang jumlahnya telah dimufakati bersama untuk dijadikan semacam dana abadi majlis, yang dapat dipergunakan membantu sesama anggota majlis ketika menyelenggarakan hajatan seperti khitanan, kawinan, kematian dan sebagainya. 
      Praktik keberislaman khas lainnya ialah Dina atau Sone Ma Butu, tahlilan mendo’akan orang yang meninggal dunia yang dilaksanakan sampai 44 hari kematian. Ritual ini juga dapat dijumpai pada saat Paca Kubu atau Fiyau Kubu (Nyekar makam keluarga dan leluhur) 
       Ada pula Arwahang, semacam tahlilan yang lazim dilaksankan pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Tahun baru Hijriyah, 1 Muharam, dan sebagainya. Taji Besi atau Debus adalah praktik keberagamaan khas lainnya di Tidore. Kadang pembacaan Arwang dilakukan juga misalnya selepas panen yang berlimpah atau usai melaksanakan pekerjaan besar atau penting. 
       Terdapat juga praktik keberagamaan yang khas, perjumpaan nilai dan ajaran Islam dengan sistem kepercayaan tradisional yang bernuansa kosmologis. Masyarakat Tidore senantiasa teguh memegang nilai-nilai Islam, tauhid dan syari'ah tetapi juga tetap menjunjung tradisi atau ritual tertentu dari sistem kepercayaan nenek moyangnya dengan memasukkan unsur-unsur Islam kedalamnya.
      Ada ritual Salai Jin menghormati persahabatan manusia dengan bangsa jin. Joko Hale (ritual menginjak tanah) Ngam Saro (Perjamuan tradsional), Jako se Ruko (semacam Siraman dalam tradisi Jawa), Sogoko Fola (mendirikan rumah) Susu Fola (ritual masuk rumah), Boso Kene (tradisi mendoakan suatu hajat menggunakan media belanga kecil untuk memasak nasi santan, di atasnya diletakkan beberapa butir telur rebus yang disebut Dofo dan telur goreng seperti dadar yang disebut Safra). 

FALSAFAH DAN TATA NILAI 
       "Adat ma toto Agama, Kitabullah se sunnah Rasul, ma darifa Papa se tete” (adat bersendilkan agama, Alqur’an dan Sunnah Rasullah, bersandar pada kearifan leluhur), atau, dalam redaksi bahasa lain disebut “Adat Ma Toto Agama Ma Dafolo Dzikirullah (Adat bersendi agama menjunjung Dzikirullah) adalah fundamen falsafah dan tata nilai Tidore.
       Pada perkembangan terbaiknya falsafah dan tata nilai itu kemudian dikonstruksikan ke dalam azas pemerintahan dan azas hubungan sosial oleh Sultan Syaifuddin alias Jou Kota (1657- 1674), meliputi; Azas-azas pemerintahan, Azas-azas hubungan sosial, juga menetapkan kepastian jumlah dan takaran barang-barang yang diperdagangkan. Misalnya, jumlah seikat ikan kecil (Tude) 40 ekor, ikan kembung sedang 8 ekor dan ikan kembung besar 6 ekor. Satu Galafea ikan Julung kering terdiri dari 10 Waya (jepitan dari bambu), satu Waya isinya 23-24 ekor. Seikatan Gaba (pelepah sagu) isinya 20 batang. Seterusnya mengatur pula panjang dan jumlah kayu dalam kubikasi dan lain sebagainya. 
 Sistem pemerintahan kesultanan Tidore yang demokratis, berikut kearifannya yang diketahui melalui sumber sejarah, tuturan atau sempat dilihat sendiri, berhulu pada falsafah dan tata nilai tersebut. 
      Tak mengherankan jika mengetahui ada salah satu Sultan Tidore yang memberi izin kepada penginjil yang meminta ijin mengabarkan Injil ke tanah Papua. Sang sultan tak hanya memberi izin, tetapi juga menugaskan dua orang petinggi istana menemani, mengantarkan para penginjil tersebut sampai Papua. Melalui kedua petinggi Sultan menitip titah kepada para Bobato (pemangku adat) di Papua agar membantu jika sekiranya para penginjil membutuhkan bantuan seperti tempat tinggal dan makanan.
       Prinsip kemaslahatan, keadilan, dan kesetaraan,  berhulu dari falsafah dan tatanilai tersebut. Tak ditemukan di Tidore dan Moloku Kie Raha umumnya praktik “tuan tanah” seperti yang terjadi di beberapa kerajaan nusantara dan kerajan-kerajaan di mancanegara.
       Para sultan Tidore semasyhur Sultan Almansyur, Sultan Syaifuddin, dan bahkan Sultan Nuku Jou Barakati dengan pengaruhnya yang sangat dominan, tak menguasai atau memiliki tanah dan kekayaan besar di manapun juga. Tak di Tidore, di Oba dan Gamrange, Seram, Raja Ampat atau di Papua. Tidak ada. Mereka hidup seperti bala rakyat pada umumnya. Menguasai tanah seperlunya dan harta seadanya.
        Bayangkan saja jika 37 sultan di Tidore mempraktekkan sistem tuan tanah di pulau Tidore, yang luas kelilingnya kurang lebih 50 kilometer, mereka dan anak keturunannya pasti telah menguasai seluruh pulau, bahkan luas pulau yang kecil ini tak akan cukup untuk itu. Lalu, dimanakah lagi bala rakyat tinggal, berkebun, dan sebagainya?
        Potensi diri berupa ilmu pengetahuan, ketrampilan, harta kekayaan yang dimiliki, adalah rahmat dan amanah dari Tuhan yang mesti dipergunakan sebesarnya untuk kemaslahatan. Pengejawantahan dari fungsi dan tanggungjawab Kolano Tidore sebagai pemimpin seluruh manusia, Sultan, pemimpin ummat, Ngofa Khalifat, generasi pewaris para khalifah, Tabaddur Rasul, penerus amanah perjuangan Rasul dan Anbiyaa. Pendek kata doktrin “rahmat bagi semesta” adalah pijakan dalam hidup dan kehidupan. 
       Tradisi Susu Fola (masuk rumah baru) di Tidore, juga barangkali di Maluku Kie Raha umumnya, merefleksikan perpaduan falsafah tradisonal-kosmologis dengan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Ada Boso Kene, Air dalam Rau, Hono (mangkuk), Ayam dengan warna bulu tertentu, do’a-do’a memohon keberkahan kesehatan, keafiatan, keselamatan, kemurahan rizki, dilindungi dan dijauhkan dari musibah, fitnah dan sebagainya, do’a-do’a yang menurut dan atau sesuai dengan ajaran Islam.
     Ditambahkan lagi dengan Dorora, do’a-do’a tertentu menurut tradisi untuk kebahagian dan kesejahteraan, dimurahkan rizki, agar rumah tangga dan keluraga harmonis, dijauhkan dari marabahaya, penyakit, sihir dan naas. Juga, memohon kepada Allah agar para malaikat penjaga alam, tanah, tumbuhan. Andaikata tanah tempat mendirikan rumah, batu, pasir, air, kayu dan lain-lain yang diambil untuk membangun rumah, ternyata merusak tempat tinggal, mengganggu sebagaian atau seluruh habitat makhluk hidup tertentu, yang kasat mata atau tidak kasat mata, mohon kiranya mereka, para mahluk itu memakluminya atau bahkan memaafkannya.
      Nilai yang mendasar di sini adalah manusia sebagai khalifah di bumi adalah penebar rahmat. Tidaklah pantas congkak dan semena-mena. Semua makluk hidup mesti dihormati hak hidupnya. Semua makhluk hidup berzikir. Sebuah batu, sebutir pasir, sebongkah kecil tanah, yang diusik, dipindahkan, barangkali kekhusuannya berdzikir terganggu. Satu pohon ditebang, serumpun belukar ditebas, dibakar, kita memutuskan hak hidupnya, memutuskan dzikirnya. Barangkali ribuan semut, ratusan lebah, puluhan ekor burung, kupu-kupu, jangkrik, reptil dan sebagainya yang kehilangan tempat tinggal. Falasafah dan praktik ini, manifestasi paling konkrit dari menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan alam dan seisinya.
      Di Tidore dan Maluku Utara umumnya, seorang yang memiliki tanaman seperti pisang, mangga, pepaya, kelapa, singkong, jagung, dan lain-lain di tepi jalan, perlintasan warga ke kebunnya, sejak awal telah mengikhlaskan harta miliknya itu bila ada warga lain yang membutuhkan. 
      Warga yang sudah beberapa hari bekerja di kebun dan kehabisan perbekalan, warga yang ke kebun tetapi lupa membawa perbekalan boleh mengambil sekadar untuk dimakan/diminum. Jika pemiliknya menemukan setandan pisang di Fola Jaga (rumah jaga kebun/dangau) dan beberapa sisirnya telah diambil orang, menemukan pohon singkong yang beberapa umbinya telah diambil dan sisanya ditempatkan di tempat yang aman, melihat kulit mangga yang terkumpul di tempat sampah, atau kulit kelapa yang diatur rapi di dekat pohon kelapa, pemiliknya tahu, ada warga lain yang mengambilnya karena sangat membutuhkannya. Beberapa hari kemudian ketika berpapasan dengan sang pemilik, mereka akan membritahu, mengucap maaf dan terima kasih. 
        Demikian pula pelaut atau nelayan dari pulau-pulau seberang yang jauh melintasi pantai pulau ini dan habis perbekalannya, boleh menyinggahi pantai yang banyak pohon kelapa, sukun dan lain-lain, mengambilnya secukupnya, juga dengan memperhatikan adab sebagaimana di atas.
      Kebiasaan baik lainnya ialah, saat malam hari mejelang tidur, air secerek atau semug dan beberapa gelas mesti diletakkan di atas meja di beranda depan (teras). Siapa tahu ada warga dari kampung yang jauh yang lewat tengah malam dan kehausan.  Juga, air dalam Dibu (wadah dari ambu), tempayang atau ember mesti ditaruh di sana. Siapa tahu ada warga dari kampung yang jauh yang lewat tengah malam dan memerlukannya untuk buang hajat dan sebagainya.
    Masih banyak kearifan di pulau noktah ini, yang membutuhkan banyak halaman untuk menulisnya. 

SASTRA & FOLKLORE TIDORE   
      Satra lisan Tidore, juga sastra lisan kesultanan lainnya di Moloku Kie Raha, adalah khasanah yang bukan saja indah dari sisi kebahasaan dan kesastraan itu sendiri tetapi juga mengandung spiritualitas tinggi serta makna yang falsafi. Keseluruhan uangkapannya tidak secara langsung melainkan dengan metafora. 
       Dalil Tifa, Dalil Moro, Dolobalolo antara lain sastra lisan Tidore yang hingga kini masih dapat dijumpai di tengah-tengah masyarakat.   
      Dalil Tifa, adalah sastra lisan yang mengandung pesan keilahian, keagamaan atau religiusitas. Penunjuk atau nasihat yang dinafasi oleh nilai-nilai kegamaan. Pada awal Islam masuk ke Tidore, nilai-nilai dan ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Hadits banyak yang ditransformasikan ke dalam Dalil Tifa, mengatasi kendala minimnya pengetahuan masayarakat akan bahasa Arab. 
      Dalil Moro,  adalah sastra yang mengandung pesan kemanusiaan, persaudaraan, dan pesan sosial yang luas. “Haeran joro Tuada sofo kama bunga ua. Haeran joro Gambi bunga kama sofo ua” (Sangat heran dengan pohon Cempedak berbuah tapi tak berbunga. Sangat heran dengan tanaman Gambir berbunga tapi tak berbuah), "Kahia ma fola ngolo kama waro ngolo ua. Kahia matolali laga kama kira-kira ua" (Lumba-lumba berumah di laut tapi tak mengenal lautan. Lumba-lumba berloma saling mendahului, melompat tanpa perhitungan)" adalah dua contohnya.   
     Dolobalolo adalah semacam peribahasa yang singkat hingga mirip pantun kilat. Ditempatkan sebagai “kalimat kunci" di awal atau di akhir pembicaraan. "Guraci no eli ua kara banga no bonofo (emas tidak engkau jaga dengan baik sementara belukar kau engkau pedulikan), Yau fo matai pasi, moro-moro fo maku gise (memancing di tempat berbeda tetapi hendaklah saling mendengar satu sama lain), adalah dua contoh Dolabololo.
      Terdapat pula Sililoa dan Rorasa (Bobaso se Rasai). Keduanya ;azimnya dipergunakan sebagai sambutan, pengantar atau ungkapan salam-sapa dan terima kasih dalam pembukaan acara resmi atau dalam hajatan keluarga.   
      Selaian itu adapula Moro-Moro, Kabata, Saluma, dan  mantara seperti Panamarifa, Doti, dan sebagainya. 
      Moro-moro dan Kabata umumnya berisikan Dalil Tifa, Dalil Moro atau Dolabalolo, Keduanya dilantunkan atau di dendangkan secara berbalasan oleh dua kelompok atau lebih. Kabata lazim dipergunakan dalam ritual menumbuk padi ladang di dalam ritual adat tertentu. 
     Saluma adalah semacam dendang atau tembang ungkapan perasaan. Lantas Mantara seperti Panamarifa, Doti, dan sebagainya lazim dipergunakan dalam peperangan, adu kehebatan, menaklukkan hati, bahkan untuk tujuan mencelakai seseorang. 
     Khasanah sastra berikutnya adalah pantun yang tentu saja dipengaruhi oleh Melayu sehingga bentuknya (sampiran dan isi) pun sama. Contoh: Fola gau toma gulifa // Gumi gumali sema gale // No laga gau lau ifa // Sonyinga oli mangale (Dangau di tepi lembah // Rumput temali seikatan // Janganlah kau melompat terlampau tinggi // Ingatlah selalu pesan dan nasihat).
      Sejumlah atraksi seperti tarian, permainan tradisional dan upacara adat menjadi tontonan yang menarik. Baramasuwen (Bambu Gila) yang memacu ardenalin, Tarian Kapita (Tarian panglima perang), Orodoma, Sagu Saya, Dana-dana dan sebagainya. 
       Pada waktu tertentu, seperti saat peringatan Hari Jadi Tidore, dilaksanakan ritual kolosal Lufu Kie, ritual adat mengelilingi pulau Tidore dengan armada perahu. Ritual ini melibatkan banyak perahu (juanga) yang tampak semarak dengan panji-panji kesultanan dan aneka hiasan. Tabuhan tifa dan rebab yang ritmis mengiringi gerak parade juanga menantang arus, menyinggahi beberapa lokasi, tempat makam-makam para sultan, aulia dan joguru (tuan guru).   

ANEKA KULINER 
        Popeda (ada yang menyebutnya Papeda) adalah makanan yang diolah dari tepung Sagu (Hula), makanan pokok orang Maluku dan Maluku Utara yang sudah terkenal. Kini bahkan tersedia di restoran atau cafe di kota-kota besar di Indonesia.
      Selain Popeda, Tela Gule (jagung giling) menjadi pengganti nasi yang digemari. Tela Gule biasanya dimakan dengan lauk berkuah santan, seperti Sayur lilin atau Terong. 
        Sagu lempeng (Hula Keta) yang dibuat dari tepung Sagu (Hula Garo) atau dari tepung Singkong (Hula Daso) adalah kuliner khas lainnya. Sagu lempeng yang baru selesai dipanggang sampai beberapa hari masih lembek sehingga disebut “Sagu Lombo”. Sagu Lombo adalah pasangan yang tepat Gohu Ikan, mirip dengan Sashimi tetapi disayat lebih kecil, dengan bumbu seperti bawang merah, cabe, jeruk sambal, ditambahi sedikit minyak goreng, sehingga tak lagi anyir.
      Agar Sagu lempeng tahan lama harus dijemur atau dipanggang untuk mengurangi kadar airnya. Sagu lempeng kering dapat bertahan lama. Dalam catatan Bangsa Inggris diceritakan, Sir Francis Drake saat kembali dari kunjungannya ke Ternate, diberikan Sagu kering oleh Sultan Babullah sebagai perbekalan selama pelayaran. Para pelaut Inggris tersebut mengakui sagu kering dapat bertahan paling sedikit 10 tahun. (Des Alwi, 2005:383).
     Sebagai kota penghasil rempah terutama cengkeh, pala, dan lain-lain, banyak kuliner Tidore memiliki citarasa rempah. Bumbu Asam Pidis dan Masa Kering Kayu adalah dua contoh menu dengan banyak rempah. Selain itu karena kota pulau ini dikitari oleh lautan, aneka makanan laut (sea food) yang benar-benar segar banyak tersedia.
      Beberapa kuliner khas seperti Nasi Jaha (pulut yang dimasak di dalam bambu), Dalampa (mirip lemper), Andara, Kale-kale, Cucur, Kui Bilolo (Kue keong), Lapis Tidore, Roti Coe, Lapis Bendera, dan lain-lain menjadi pendamping yang pas untuk teh atau kopi, di pagi atau sore hari.
     Oh iya, Gule-gule Tamelo (bubur kacang hijau), Gule-gule tela (bubur jagung), Cingkarong (jagung muda yang dicincang halus, dicampuri dengan kelapa cukur/parut dan gula), antara lain sarapan favorit. Gule-gule Tamelo bahkan menjadi menu utama dalam perjamuan adat.
       Untuk minuman, Kofi Dabe, kopi dengan citarasa rempah, Ake Gura/Aer Guraka (Air Jahe) pasti disukai. Kemudian Sarabati, minuman spesial yang lazim dijumpai dalam ritual Taji Besi (Debus) bisa dicoba. Tetapi jika sangat ingin mencobanya, pasti ada yang bersedia menyiapkannya. 

PASIAR TIDORE, VISIT TIDORE ISLAND 
       Bagaimana ke Tidore? Pastinya tak sesulit pelayaran yang dilakukan bangsa Arab, Cina dan India dulu kala, atau oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-15 sampai abad ke-16, jadi tak perlu takut nyasar seperti yang dialami oleh Colombus.
        Dua pilihan tersedia, pesawat udara kapal laut. Jika pesawat udara yang dipilih maka hanya 3,5 jam penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta ke Bandara Babullah di Ternate. Dari bandara Ternate kurang lebih 5 menit ke pelabuhan Bastiong. Dari pelabuhan Bastiong bisa menyeberang dengan speedboat ke pelabuhan Rum dalam 10 menit, atau dengan motor kayu bermesin 40 PK kurang lebih 20 menit, dan dengan KMP Feri lebih kurang 30 menit. 
      Dengan biaya 4 sampai 5 jutaan rupiah cukup untuk pergi-pulang, dan itu sepadan dengan berbagai hal menarik yang dapat dilihat, diketahui, dinikmati di pulau noktah, Tidore.
        Mereka yang sedang liburan atau punya banyak waktu perjalanan barangkali bisa menggunakan kapal laut. Ini pilihan yang tak kalah menarik. Dalam 5 hari kita merasakan semakin menjadi Indonesia. Kapal menyinggahi beberapa kota-kota Indonesia. Waktu transit 3-4 jam cukup untuk mengunjungi satu dua situs atau destinasi wisata sekitar pusat kota, menikmati kuliner khas, membeli suvenir, memotret panorama, merekam video, atau sekdadar selfi-selfian, untuk melengkapai dokumentasi perjalanan.  Perjalanan dengan kapal laut tentu lebih murah lagi. 
        Jadi, segera bikin rencana #PasiarTidore, #VisitTidoreIsland. Hasanah budaya, keindahan alam dan keramahan Tidore menanti. [msd-gg]


_______

Bacaan:
  1. A. Malik Ibrahim, Gam Jang, percikan pemikiran Kota Pulau, Ed, Herman Usman (Ternate, UMMU Press dan Garasi Genta, 2011)
  2. Des Alwi, Maluku, Banda Neira, Ternate, Tidore dan Ambon (Jakarta, Dian Rakyat, 2005)
  3. Gavin Menzies, 1421 Saat China Menemukan Dunia (Jakarta Pustaka Alvabet, 2010)
  4. M. Sofyan Daud, Ternate Mozaik Kota Pusaka (Ternate, Garasi Genta, 2012)
  5. Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam Dari China ke Nusantara (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010).
  6. Turner, Jack, Sejarah Rempah Dari Erotisme Sampai Imperialisme (Depok, Komunitas Bambu, 2011) 
  7. W.P.H. Coolhaas, "Besturen Overzee Herinneringen van Oud - Amdtenaren Bij Het Binenlands Bestuur In Nederlandch Indie (Franeker, T. Wever BV, 1977)
  8. Yudi Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta, Gramadia Pustaka Utama, 2011).

7 komentar:

  1. Keren Pak Sofyan, tulisannya. Padat berisi. Banyak sekali ternyata hal yang bisa di gali di Tidore, bukan hanya sekedar keindahan alamnya. Saya penasaran dengan ke empat pulau besar Raja Ampat. Apakah raja-rajanya memiliki tali persaudaraan dengan Raja Tidore?

    BalasHapus
  2. Sunhanallah. Terima kasih apresiasinya. Setuju, relatif banyak yang bisa diangkat dari khasanah Tidkre. Tulksan sederhana ini sambil lalu coba mengulas sebagiannya. Tentang hubungan persaudaraan Raja-raja keempat pulau Raja Ampat dengan Tidore, sejauh yang saya tahu, tidak ada, kecuali hubungan historis-kultural.

    BalasHapus
  3. Merinding baca tulisan ini. Semakin penasaran dengan Pulau misteri ini.

    BalasHapus
  4. Ah rasanya saya ingin larut "mabuk" dalam suasana tidore sambil napak tilas bumi bulat sambil ditemani lalampa dan berbincang dengan misionaris papua, bersenda gurau hingga trikora, sungguh ingin sekali. Bang Sofyan terimakasih atas ulasan ini.

    BalasHapus
  5. Banyak sekali yang saya belum ketahui tentang Tidore ini. Terimakasih sekali sharingnya...

    BalasHapus
  6. Saya penasaran ingin berkunjung ke pulau ini

    BalasHapus