Pulau ini hanya noktah di peta Indonesia tetapi jejak
sejarahnya membentang panjang. Banyak kearifan dalam khasanah budayanya.
Tidore, satu dari tujuh pulau berpenghuni di sisi
barat Pulau Halmahera yang berjejer rapi dari utara ke selatan;
Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti dan Makian. Tampak tersembul indah di hamparan biru laut Halmahera bagaikan
jejumput tanah surga yang ditaburkan tangan-tangan malaikat.
Berjejer rapi Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti dan Makian. (Foto: Xavier Jubier) |
Tidore
bersebelahan dengan Ternate. Terpisah hanya oleh selat selebar kurang lebih 1
mil. Di antara keduanya ada Maitara, pulau yang lebih lecil.
Selat dengan keindahan eksotis dan magis. Salah satu panorama terbaik sekelas wallpaper di Maluku Utara.
Selalu membetikkan takjub saat memandang apalagi melintasinya, terutama di waktu pagi, sore menjelang matahari terbenam, atau di saat malam dini. Pulau Tidore, Maitara dan Ternate merangkul selat ini sehingga tampak serupa danau.
Selalu membetikkan takjub saat memandang apalagi melintasinya, terutama di waktu pagi, sore menjelang matahari terbenam, atau di saat malam dini. Pulau Tidore, Maitara dan Ternate merangkul selat ini sehingga tampak serupa danau.
Saat tidak sedang musim angin dan ombak, selat ini
amat tenang. Waktu 10 menit melintasinya akan terlewati begitu saja. Tak
terasa. Mereka yang pertamakali melintasi selat ini bahkan bisa saja
kebingungan harus mengamati, memotret atau mengambil video sisi mananya untuk
disimpan sebagai kenangan dan cerita indah. Semua sisinya memang indah.
Menjejak pulau tuah Tidore, mata segera bersua
panorama kota pantai yang hijau dan asri. Jalan mulus cenderung lengang
melintasi pesisir, melalui perkampungan dengan rumah-rumah penduduk amat
teratur, pekarangannya yang bersih dan apik dipenuhi tanaman hias dan bunga.
Melalui juga pantai dengan teluk dan tanjung yang indah.
Perjalanan 20-30 menit menuju ke pusat kota tak menjemukan sama sekali, sebab kota ini menyeruakkan banyak keindahan dan ketenangan.
Perjalanan 20-30 menit menuju ke pusat kota tak menjemukan sama sekali, sebab kota ini menyeruakkan banyak keindahan dan ketenangan.
SEJARAH
& PERAN KESEJARAHAN
Pada 12 April 2017 Tidore menjejak usia 909 tahun,
dihitung sejak 1108 Miladyah, tahun terbentuknya kesultanannya. Usia yang tua,
hampir 1 milenium. Bahkan jika dihitung dari era Momole (penguasa
Tidore pra sultan) usia peradabannya lebih dari satu milinium.
Coolhaas (1977:77) menyebutkan. kerajaan atau
kesultanan di pulau-pulau noktah ini telah eksis sebelum orang Barat
menjejakkan kakinya di Maluku dan Nusantara, bahkan "lebih tua dari
dinasti raja-raja Jawa".
"Setiap peradaban panjang adalah
kesabaran panjang manusia memintasi ruang dan waktu" tulis A. Malik
Ibrahim dalam "Gam Jang, Percikan Pemikiran Kota Pulau".
Kesabaran
panjang Tidore membangun dan merawat peradabannya adalah epos dan babad yang
panjang. Di dalamnya banyak nilai falsafi, gagasan, pencapaian hingga beribu
kronika. Sebagian besarnya belum sempat dicatat secara pantas dalam buku-buku
Sejarah Nasional Indonesia.
Jejak kebesaran dan kemasyhuran
kesultanan Tidore dapat dilihat pada wilayah kekuasaannya yang membentang
luas, mencapai 1/3 dari wilayah Republik Indonesia sekarang. Menghampar dari Tidore
dan pulau-pulau di sekitarnya ke Nyili Lofo-lofo; Oba, Weda, Patani dan
Maba atau wilayah Gam Range, Nyili Gulu-gulu; Papua dan Raja
Ampat, Seram Timur, Kei, Tanimbar. Sampai ke beberapa daerah di pesisir Pulau
Sulawesi, menjangkau ke Mindanao hingga ke kepulauan Pasifik.
Legenda dan magis cengkeh dari pulau
ini, juga dari Ternate dan wilayah Maluku umumnya menjadi impian yang menyihir
bangsa-bangsa benua rela berlayar mengitari lingkaran bumi untuk mencapai pulau
ini.
Sumber-sumber
sejarah telah banyak mengulas betapa cengkeh menjadi fenomena ribuan tahun
Sebelum Masehi. Segenggam cengkeh dalam wadah keramik terbakar yang ditemukan
oleh suatu tim arkeologi di gurun pasir Suriah dengan simpulan bahwa tahun
kejadian kebakaran tersebut adalah 1721 SM (Turner, 2011:xix), semakin memperkuat sumber-sumber
sejarah yang ada.
Cengkeh, Pala dan rempah
lainnya menarik bangsa-bangsa Arab, Cina dan India melayari 7.500
mil laut untuk mencapai pulau-pulau noktah ini.
Interaksi niaga rempah yang dibarterkan dengan tekstil sutra Cina, kapas Gujarat-India, emas dan dinar Arab, yang kemudian mengabadikan jalur niaga ini sebagai Jalur Sutera (Silk Road) yang sebenarnya tumbuh bersamaan atau oleh karena adanya niaga rempah (Spice Road), yang berkembang pesat sekitar 200 tahun SM (Tan Ta Sen, 2010:2016-217).
Interaksi niaga rempah yang dibarterkan dengan tekstil sutra Cina, kapas Gujarat-India, emas dan dinar Arab, yang kemudian mengabadikan jalur niaga ini sebagai Jalur Sutera (Silk Road) yang sebenarnya tumbuh bersamaan atau oleh karena adanya niaga rempah (Spice Road), yang berkembang pesat sekitar 200 tahun SM (Tan Ta Sen, 2010:2016-217).
Jalur niaga ini menjadi arteri
penting paling mula-mula bagi komunikasi dan kontak budaya Timur-Barat yang
berlangsung selama 1 milinium.
Magis Cengkeh pulau-pulau noktah ini
dan juga Pala dari wilayah kekuasaannya di kepulauan Maluku bagian selatan
adalah komoditas paling mahal sehingga paling diburu bangsa-bangsa sedunia. Ini
memengaruhi bahkan mengubah dunia pada masa itu.
Bangsa-bangsa dari belahan dunia
berbeda, saling berlomba mengembangkan teknologi perkapalan, peta pelayaran,
kompas dan sistem navigasi, melatih pelaut-pelautnya yang ulung, memutakhirkan
sistem persenjataan, memobilisasi penguasaha dan pedagang bermodal besar sekaligus
pemberani. Semuanya mempertaruhkan miliknya yang terbaik untuk ini.
Milenium ekspedisi dan pelayaran
dunia yang menandai penemuan penting, dimana bangsa Cina oleh Gavin Menzies
(2010) disebut sebagai pelopor penjelajahan samudera hingga mengembangkan peta
pelayaran, rute ke pulau-pulau noktah ini. Peta dan informasi itu yang kemudian
dipergunakan oleh Columbus, De Gama, Magellan, Cook, untuk menemukan
pulau-pulau legenda ini.
Kesemuanya itu menjadi titik mangsa
Globalisasi Purba (Archaic Globalization), seperti di sebut Adam Smith
dalam "An Inquiry in to the Natare and Causes of Wealth of Nation
(1776)” dan dikutip Yudi Latif (2011).
Pulau-pulau noktah ini pula yang
memantapkan tesis "bumi bulat" ketika Portugis dan Spanyol berhasil
melego jangkar di Gamlamo, Ternate dan di Rum, Tidore. Pertemuan kedua adidaya
yang kemudian mendorong ratifikasi traktak Tordesillas 1494 dengan traktat
Zaragossa 1529, antara Portugis dan Spanyol.
Dalam konteks ke-Indonesiaan,
pulau-pulau noktah ini memberi andil besar bagi proto nasionalisme perjuangan
Indonesia mereraih kemerdekaannya melalui perjuangan heroik para sultan dan
rakyatnya melawan imperialisme. Sultan Tidore, Nuku Amiruddin, Kaicil
Paparangan Jou Barakati adalah yang terbesar pengaruhmya dalam hal ini sehingga
diakui sebagai pahlawan nasional.
Tidore bersama kesultanan Maluku
lainnya juga mengonversi wilayahnya seluas lebih 1/3 dari wailayah NKRI saat
ini. Tidore terutama menjadi penentu keberhasilan perjuangan Trikora untuk
memasukkan Papua kedalam wilayah kedaulatan NKRI, karena Papua merupakan
wilayah kekuasaan kesultanan Tidore. Tidore menjadi ibukota Provinsi Perjuangan
Irian Barat dan sultannya, yang mulia Zainal Abidin Syah adalah gubernurnya
pertamanya. Belum lagi kontribusinya dari sisi
nilai-nilai falsafah, budaya dan tradisi.
SEKILAS
JEJAK HAMPARAN BUDAYANYA
Wilayah kekuasaan sebuah imperium
tentu bukan teretori geografis semata melainkan juga hamparan-hamparan
kebuadayaan dengan jejak yang dapat dilacak.
Ketika tiba di Raja Ampat dan melihat
tulisan “Suba Jou”, ungkapan selamat datang di gerbang utama kota atau
di lokasi-lokasi wisata di sana, itu adalah kata-kata dari Bahasa Tidore (sama
juga dengan Ternate, Bacan dan Jailolo), artinya “tuan yang terhormat”.
Kata-kata ini dapat juga dijumpai dalam banyak lirik kidung pujian kaum
Kristiani di Papua.
Sasi
untuk pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana, yang dijumpai di
beberapa daerah di timur Indonesia, di Pulau Buru, Seram, Ambon, Kepulauan
Lease, Watubela, Banda, Kepulaun, Kei, Aru, di Papua, seperti di Raja Ampat, Sorong, Manokwari, Nabire, Biak, Numfor, Yapen, Fak-fak dan lain-lain, berasal
dari pulau-pulau noktah ini. Sasi secara harafiah berarti sumpah, bersumpah, bertekad mematuhi ketentuan
mengenai suatu perkara penting, kepentingan umum, dan seterusnya.
Bahasa Melayu khas Maluku Utara,
dengan kosakata terkenalnya “Kita, Ngana, Ngoni, Torang, Dorang”, yang
mirip dengan Manado dan Sulawesi Utara pada umumnya, Ambon, Papua, dan
beberapa wilayah lain, adalah berasal dari pulau-pulau noktah ini,
pusat-pusat kebudayaan Maluku di masa lalu. Dalam kenyataannya, masih banyak yang salah kaprah mengira sebaliknya.
Tarian Cakalele (Caka/Coka,
artinya Suwanggi atau roh halus dan Lele, artinya leleh, darah yang
meleleh), adalah kebiasaan para parajurit Maloku Kie Raha di masa lalu yang
saat berperang sebagiannya kerasukan roh-roh halus dan meminum darah. Cakalele kini
dilestarikan sebagai tarian perang, dan kadang secara salah kaprah sering
diidentikan dengan tarian dari Ambon atau Maluku. Gerakan dasar, irama musik pengiring Cakalele mirip setidaknya mewarnai beberapa tarian bernuansa perang lainnya, misalnya Soya-soya, Orodoma, Tari Kapita, dan lain-lain.
Bambu Gila juga tradisi dari pulau-pulau noktah ini. Di Tidore dinamakan Baramasuwen. Tradisi ini di masa lalu digunakan untuk melakukan perkerjaan yang membutuhkan tenaga yang besar, misalnya mengangkat atau memindahkan benda-benda besar dan berat.
Sekadar diketahui, Maluku yang sekarang berpusat
di Ambon, di masa lalu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan
Tidore dan Ternate. Beberapa tradsi atau folklore
di sana diwarisi dan atau dipengaruhi budaya dari pusat-pusat kebudayaannya
di Tidore dan Ternate.
Maluku sampai dengan sebelum awal abad ke 18 identik dengan
pusat-pusat kesultanan, pulau-pulau noktah yang merupakan pulau-pulau utama atau pusat. Kepentingan pilitik dagang VOC-Belanda yang diikuti dengan penataan wilayah
adminitratif pemerintahan di Hindia Belanda kemudian memindahkan pusat Maluku dari Ternate ke Ambon,
dan seterusnya statusquo hingga Indonesia merdeka.
Maluku sejak itu menjadi
identik dengan Ambon. Kesan ini semakin kuat ketika wilayah yang di masa lalu
merupakan pusat, dibentuk sebagai provinsi defenitif pada 1999
dengan nama Provinsi Maluku Utara, pemekaran dari Provinsi Maluku.
Sejarah kesultanan ini
mewariskan beberapa pusaka bendawi (Tangible Heritage)
seperti Keraton (Kadato) di Kelurahan Soasio. Kadato yang berada di
dataran tinggi Soasio, yang dikenal dengan Sonyine Salaka (Taman Perak),
sehingga dari balkonnya tampak pemandangan laut dan pulau Halmahera terhampar
indah.
Di kadato ini terdapat Mahkota
sultan yang sangat indah, juga stempel kesultanan, pakaian para sultan dan
beberapa peninggalan berharga dan bernilai sejarah tinggi lainnya. Ada
pula peninggalan yang disimpan di Museum Sonyine Malige (Taman
yang indah).
Tak jauh dari Kadato berdiri kokoh
Masjid Sultan (Sigi Kolano). Kurang lebih 100 meter dari Sigi Kolano
terdapat Dermaga Kesultanan (Doro Kolano). Makam-makam para sultan
semisal Sultan Nuku dan Sultan Zainal Abdidin Syah juga tak jauh dari
situs-situs ini.
Jejak sejarah Eropa di Tidore pun
relatif terpelihara hingga kini. Lebih kurang 1,5 kilometer dari pelabuhan Rum
terdapat Monumen pendaratan bangsa Spanyol di bawah pimpinan Juan Sebastian
Delcano. Lebih kurang 30 meter dari monumen ini ada benteng Stjobe. Sayangnya
kondisi benteng ini tampak miris. Butuh revitalisasi untuk pelestariannya.
Dua benteng lainnya yang kokoh di di
atas bebukitan, yakni Benteng Tahula dan Benteng Tore, terletak tak jauh dari
Kadato. Sementara satu benteng lainnya yakni Marisku, berada agak di luar kota, yakni di Keluahan Jiko Coba, Tidore Timur.
SPIRITULITAS
DAN KEBERAGAMAAN
Sebagai pusat Kasultanan yang mashur,
nuansa spiritualitas keberagamaan di Tidore sangat kuat. Di antaranya dapat dilihat pada banyaknya masjid
di setiap kampung. Satu masjid ke
masjid lain berdekatan, rata-rata 1 kilometer. Satu kampung atau kelurahan bisa memiliki lebih
dari satu masjid, belum lagi mushollah (surau).
Tak ada majlis tarikat di manapun juga sebanyak di Tidore dan di wilayah-wilayah kekuasaannya yang moyoritas penduduknya muslim.
Majlis tahlilan dan dzikir
setiap Kamis malam (malam Jum'at) yang disebut Gololi (keliling atau
bergilir) dari rumah ke rumah anggota majlis. Majlis ini
dapat dijumpai di setiap kampung dan di satu kampung bisa lebih dari satu
majlis. Setiap tahlilan, para anggota majlis wajib menyetor
iuran yang jumlahnya telah dimufakati bersama untuk dijadikan semacam dana abadi majlis,
yang dapat dipergunakan membantu sesama anggota majlis ketika menyelenggarakan
hajatan seperti khitanan, kawinan, kematian dan sebagainya.
Praktik keberislaman khas lainnya
ialah Dina atau Sone Ma Butu, tahlilan mendo’akan orang yang
meninggal dunia yang dilaksanakan sampai 44 hari kematian. Ritual ini juga dapat dijumpai pada saat Paca Kubu atau Fiyau Kubu (Nyekar makam keluarga dan leluhur)
Ada pula Arwahang,
semacam tahlilan yang lazim dilaksankan pada saat peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Tahun baru Hijriyah, 1 Muharam, dan sebagainya. Taji Besi
atau Debus adalah praktik keberagamaan khas lainnya di Tidore. Kadang pembacaan Arwang dilakukan juga misalnya selepas panen yang berlimpah atau usai melaksanakan pekerjaan besar atau penting.
Terdapat juga praktik keberagamaan yang
khas, perjumpaan nilai dan ajaran Islam dengan sistem kepercayaan
tradisional yang bernuansa kosmologis. Masyarakat Tidore senantiasa teguh memegang nilai-nilai
Islam, tauhid dan syari'ah tetapi juga tetap menjunjung tradisi atau ritual
tertentu dari sistem kepercayaan nenek moyangnya dengan memasukkan unsur-unsur
Islam kedalamnya.
Ada ritual Salai Jin
menghormati persahabatan manusia dengan bangsa jin. Joko Hale (ritual
menginjak tanah) Ngam Saro (Perjamuan tradsional), Jako se Ruko
(semacam Siraman dalam tradisi Jawa), Sogoko Fola (mendirikan rumah) Susu
Fola (ritual masuk rumah), Boso Kene (tradisi mendoakan suatu hajat
menggunakan media belanga kecil untuk memasak nasi santan, di atasnya
diletakkan beberapa butir telur rebus yang disebut Dofo dan telur goreng
seperti dadar yang disebut Safra).
FALSAFAH DAN
TATA NILAI
"Adat ma toto Agama, Kitabullah
se sunnah Rasul, ma darifa Papa se tete” (adat bersendilkan agama, Alqur’an dan Sunnah
Rasullah, bersandar pada kearifan leluhur), atau, dalam redaksi bahasa lain
disebut “Adat Ma Toto Agama Ma Dafolo
Dzikirullah (Adat bersendi agama menjunjung Dzikirullah) adalah fundamen
falsafah dan tata nilai Tidore.
Pada perkembangan terbaiknya falsafah
dan tata nilai itu kemudian dikonstruksikan ke dalam azas pemerintahan dan azas
hubungan sosial oleh Sultan Syaifuddin alias Jou Kota (1657-
1674), meliputi; Azas-azas pemerintahan, Azas-azas hubungan sosial, juga
menetapkan kepastian jumlah dan takaran barang-barang yang diperdagangkan.
Misalnya, jumlah seikat ikan kecil (Tude) 40 ekor, ikan kembung sedang 8
ekor dan ikan kembung besar 6 ekor. Satu Galafea ikan Julung kering
terdiri dari 10 Waya (jepitan dari bambu), satu Waya isinya 23-24
ekor. Seikatan Gaba (pelepah sagu) isinya 20 batang. Seterusnya mengatur
pula panjang dan jumlah kayu dalam kubikasi dan lain sebagainya.
Sistem pemerintahan kesultanan Tidore
yang demokratis, berikut kearifannya yang diketahui melalui sumber sejarah,
tuturan atau sempat dilihat sendiri, berhulu pada falsafah dan tata nilai
tersebut.
Tak mengherankan jika mengetahui
ada salah satu Sultan Tidore yang memberi izin kepada penginjil yang meminta
ijin mengabarkan Injil ke tanah Papua. Sang sultan tak hanya memberi izin,
tetapi juga menugaskan dua orang petinggi istana menemani, mengantarkan para
penginjil tersebut sampai Papua. Melalui kedua petinggi Sultan menitip titah
kepada para Bobato (pemangku adat) di Papua agar membantu jika sekiranya para
penginjil membutuhkan bantuan seperti tempat tinggal dan makanan.
Prinsip kemaslahatan, keadilan, dan
kesetaraan, berhulu dari falsafah dan tatanilai tersebut. Tak ditemukan
di Tidore dan Moloku Kie Raha umumnya praktik “tuan tanah” seperti yang terjadi
di beberapa kerajaan nusantara dan kerajan-kerajaan di mancanegara.
Para sultan Tidore semasyhur Sultan
Almansyur, Sultan Syaifuddin, dan bahkan Sultan Nuku Jou Barakati dengan
pengaruhnya yang sangat dominan, tak menguasai atau memiliki tanah dan kekayaan
besar di manapun juga. Tak di Tidore, di Oba dan Gamrange, Seram, Raja Ampat
atau di Papua. Tidak ada. Mereka hidup seperti bala rakyat pada umumnya.
Menguasai tanah seperlunya dan harta seadanya.
Bayangkan saja jika 37 sultan di
Tidore mempraktekkan sistem tuan tanah di pulau Tidore, yang luas kelilingnya
kurang lebih 50 kilometer, mereka dan anak keturunannya pasti telah menguasai
seluruh pulau, bahkan luas pulau yang kecil ini tak akan cukup untuk itu. Lalu,
dimanakah lagi bala rakyat tinggal, berkebun, dan sebagainya?
Potensi diri berupa ilmu pengetahuan,
ketrampilan, harta kekayaan yang dimiliki, adalah rahmat dan amanah dari Tuhan
yang mesti dipergunakan sebesarnya untuk kemaslahatan. Pengejawantahan dari
fungsi dan tanggungjawab Kolano Tidore sebagai pemimpin seluruh manusia, Sultan, pemimpin ummat, Ngofa Khalifat, generasi pewaris para khalifah, Tabaddur
Rasul, penerus amanah perjuangan Rasul dan Anbiyaa. Pendek kata doktrin “rahmat bagi
semesta” adalah pijakan dalam hidup dan kehidupan.
Tradisi Susu
Fola (masuk rumah baru) di Tidore, juga barangkali di Maluku Kie Raha
umumnya, merefleksikan perpaduan falsafah tradisonal-kosmologis dengan
nilai-nilai dalam ajaran Islam. Ada Boso
Kene, Air dalam Rau, Hono (mangkuk), Ayam dengan warna bulu tertentu, do’a-do’a
memohon keberkahan kesehatan, keafiatan, keselamatan, kemurahan rizki,
dilindungi dan dijauhkan dari musibah, fitnah dan sebagainya, do’a-do’a yang
menurut dan atau sesuai dengan ajaran Islam.
Ditambahkan lagi dengan Dorora, do’a-do’a tertentu menurut tradisi
untuk kebahagian dan kesejahteraan, dimurahkan rizki, agar rumah tangga dan keluraga
harmonis, dijauhkan dari marabahaya, penyakit, sihir dan naas. Juga, memohon
kepada Allah agar para malaikat penjaga alam, tanah, tumbuhan. Andaikata tanah
tempat mendirikan rumah, batu, pasir, air, kayu dan lain-lain yang diambil
untuk membangun rumah, ternyata merusak tempat tinggal, mengganggu sebagaian
atau seluruh habitat makhluk hidup tertentu, yang kasat mata atau tidak kasat
mata, mohon kiranya mereka, para mahluk itu memakluminya atau bahkan memaafkannya.
Nilai yang mendasar di sini adalah manusia sebagai khalifah
di bumi adalah penebar rahmat. Tidaklah pantas congkak dan semena-mena. Semua
makluk hidup mesti dihormati hak hidupnya. Semua makhluk hidup berzikir. Sebuah
batu, sebutir pasir, sebongkah kecil tanah, yang diusik, dipindahkan, barangkali
kekhusuannya berdzikir terganggu. Satu pohon ditebang, serumpun belukar ditebas,
dibakar, kita memutuskan hak hidupnya, memutuskan dzikirnya. Barangkali ribuan semut,
ratusan lebah, puluhan ekor burung, kupu-kupu, jangkrik, reptil dan sebagainya yang
kehilangan tempat tinggal. Falasafah dan praktik ini, manifestasi paling konkrit
dari menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan alam dan seisinya.
Di Tidore dan Maluku Utara umumnya, seorang
yang memiliki tanaman seperti pisang, mangga, pepaya, kelapa, singkong,
jagung, dan lain-lain di tepi jalan, perlintasan warga ke kebunnya, sejak awal telah
mengikhlaskan harta miliknya itu bila ada warga lain yang membutuhkan.
Warga yang sudah beberapa
hari bekerja di kebun dan kehabisan perbekalan, warga yang ke kebun tetapi lupa
membawa perbekalan boleh mengambil sekadar untuk dimakan/diminum. Jika
pemiliknya menemukan setandan pisang di Fola Jaga (rumah jaga kebun/dangau)
dan beberapa sisirnya telah diambil orang, menemukan pohon singkong yang beberapa
umbinya telah diambil dan sisanya ditempatkan di tempat yang aman, melihat kulit
mangga yang terkumpul di tempat sampah, atau kulit kelapa yang diatur rapi di
dekat pohon kelapa, pemiliknya tahu, ada warga lain yang mengambilnya karena sangat
membutuhkannya. Beberapa hari kemudian ketika berpapasan dengan sang pemilik,
mereka akan membritahu, mengucap maaf dan terima kasih.
Demikian pula pelaut
atau nelayan dari pulau-pulau seberang yang jauh melintasi pantai pulau ini dan
habis perbekalannya, boleh menyinggahi pantai yang banyak pohon kelapa, sukun
dan lain-lain, mengambilnya secukupnya, juga dengan memperhatikan adab
sebagaimana di atas.
Kebiasaan baik lainnya ialah, saat
malam hari mejelang tidur, air secerek atau semug dan beberapa gelas mesti
diletakkan di atas meja di beranda depan (teras). Siapa tahu ada warga dari
kampung yang jauh yang lewat tengah malam dan kehausan. Juga, air dalam Dibu
(wadah dari ambu), tempayang atau ember mesti ditaruh di sana. Siapa tahu ada
warga dari kampung yang jauh yang lewat tengah malam dan memerlukannya untuk
buang hajat dan sebagainya.
Masih banyak kearifan di pulau
noktah ini, yang membutuhkan banyak halaman untuk menulisnya.
SASTRA &
FOLKLORE TIDORE
Satra lisan Tidore, juga sastra lisan
kesultanan lainnya di Moloku Kie Raha, adalah khasanah yang bukan saja indah
dari sisi kebahasaan dan kesastraan itu sendiri tetapi juga mengandung
spiritualitas tinggi serta makna yang falsafi. Keseluruhan uangkapannya tidak
secara langsung melainkan dengan metafora.
Dalil Tifa, Dalil Moro,
Dolobalolo antara lain sastra lisan Tidore yang hingga kini masih dapat
dijumpai di tengah-tengah masyarakat.
Dalil Tifa, adalah sastra lisan yang mengandung pesan
keilahian, keagamaan atau religiusitas. Penunjuk atau nasihat yang dinafasi
oleh nilai-nilai kegamaan. Pada awal Islam masuk ke Tidore, nilai-nilai dan
ajaran Islam dari Al-Qur’an dan Hadits banyak yang ditransformasikan ke dalam Dalil
Tifa, mengatasi kendala minimnya pengetahuan masayarakat akan bahasa Arab.
Dalil Moro, adalah sastra yang mengandung
pesan kemanusiaan, persaudaraan, dan pesan sosial yang luas. “Haeran joro
Tuada sofo kama bunga ua. Haeran joro Gambi bunga kama sofo ua” (Sangat
heran dengan pohon Cempedak berbuah tapi tak berbunga. Sangat heran dengan
tanaman Gambir berbunga tapi tak berbuah), "Kahia ma fola ngolo kama
waro ngolo ua. Kahia matolali laga kama kira-kira ua" (Lumba-lumba
berumah di laut tapi tak mengenal lautan. Lumba-lumba berloma saling
mendahului, melompat tanpa perhitungan)" adalah dua contohnya.
Dolobalolo adalah semacam peribahasa yang
singkat hingga mirip pantun kilat. Ditempatkan sebagai “kalimat
kunci" di awal atau di akhir pembicaraan. "Guraci no eli ua kara
banga no bonofo (emas tidak engkau jaga dengan baik sementara belukar kau
engkau pedulikan), Yau fo matai pasi, moro-moro fo maku gise (memancing
di tempat berbeda tetapi hendaklah saling mendengar satu sama lain), adalah dua
contoh Dolabololo.
Terdapat pula Sililoa dan Rorasa
(Bobaso se Rasai). Keduanya ;azimnya dipergunakan sebagai sambutan, pengantar
atau ungkapan salam-sapa dan terima kasih dalam pembukaan acara resmi atau
dalam hajatan keluarga.
Selaian itu
adapula Moro-Moro, Kabata, Saluma, dan mantara seperti Panamarifa,
Doti, dan sebagainya.
Moro-moro dan Kabata umumnya berisikan
Dalil Tifa, Dalil Moro atau Dolabalolo, Keduanya dilantunkan atau
di dendangkan secara berbalasan oleh dua kelompok atau lebih. Kabata
lazim dipergunakan dalam ritual menumbuk padi ladang di dalam ritual adat tertentu.
Saluma adalah
semacam dendang atau tembang ungkapan perasaan. Lantas Mantara seperti Panamarifa, Doti, dan sebagainya
lazim dipergunakan dalam peperangan, adu kehebatan, menaklukkan hati, bahkan
untuk tujuan mencelakai seseorang.
Khasanah sastra berikutnya adalah
pantun yang tentu saja dipengaruhi oleh Melayu sehingga bentuknya (sampiran dan isi) pun
sama. Contoh: Fola gau toma gulifa // Gumi gumali sema gale // No laga gau
lau ifa // Sonyinga oli mangale (Dangau di tepi lembah // Rumput temali
seikatan // Janganlah kau melompat terlampau tinggi // Ingatlah selalu pesan
dan nasihat).
Sejumlah atraksi seperti tarian,
permainan tradisional dan upacara adat menjadi tontonan yang menarik. Baramasuwen
(Bambu Gila) yang memacu ardenalin, Tarian Kapita (Tarian panglima
perang), Orodoma, Sagu Saya, Dana-dana dan sebagainya.
Pada waktu tertentu, seperti saat
peringatan Hari Jadi Tidore, dilaksanakan ritual kolosal Lufu Kie, ritual
adat mengelilingi pulau Tidore dengan armada perahu. Ritual ini melibatkan
banyak perahu (juanga) yang tampak semarak dengan panji-panji kesultanan dan
aneka hiasan. Tabuhan tifa dan rebab yang ritmis mengiringi gerak parade juanga
menantang arus, menyinggahi beberapa lokasi, tempat makam-makam para sultan,
aulia dan joguru (tuan guru).
ANEKA
KULINER
Popeda (ada yang menyebutnya Papeda)
adalah makanan yang diolah dari tepung Sagu (Hula), makanan pokok orang
Maluku dan Maluku Utara yang sudah terkenal. Kini bahkan tersedia di restoran
atau cafe di kota-kota besar di Indonesia.
Selain Popeda, Tela Gule
(jagung giling) menjadi pengganti nasi yang digemari. Tela Gule biasanya
dimakan dengan lauk berkuah santan, seperti Sayur lilin atau Terong.
Sagu lempeng (Hula Keta)
yang dibuat dari tepung Sagu (Hula Garo) atau dari tepung Singkong (Hula
Daso) adalah kuliner khas lainnya. Sagu lempeng yang baru selesai
dipanggang sampai beberapa hari masih lembek sehingga disebut “Sagu Lombo”. Sagu
Lombo adalah pasangan yang tepat Gohu Ikan, mirip dengan Sashimi
tetapi disayat lebih kecil, dengan bumbu seperti bawang merah, cabe, jeruk
sambal, ditambahi sedikit minyak goreng, sehingga tak lagi anyir.
Agar Sagu lempeng tahan lama harus
dijemur atau dipanggang untuk mengurangi kadar airnya. Sagu lempeng kering
dapat bertahan lama. Dalam catatan Bangsa Inggris diceritakan, Sir Francis
Drake saat kembali dari kunjungannya ke Ternate, diberikan Sagu kering oleh
Sultan Babullah sebagai perbekalan selama pelayaran. Para pelaut Inggris
tersebut mengakui sagu kering dapat bertahan paling sedikit 10 tahun. (Des
Alwi, 2005:383).
Sebagai kota penghasil rempah
terutama cengkeh, pala, dan lain-lain, banyak kuliner Tidore memiliki citarasa
rempah. Bumbu Asam Pidis dan Masa Kering Kayu adalah dua contoh menu
dengan banyak rempah. Selain itu karena kota pulau ini dikitari oleh lautan,
aneka makanan laut (sea food) yang benar-benar segar banyak tersedia.
Beberapa kuliner khas seperti Nasi
Jaha (pulut yang dimasak di dalam bambu), Dalampa (mirip lemper), Andara,
Kale-kale, Cucur, Kui Bilolo (Kue keong), Lapis Tidore,
Roti Coe, Lapis Bendera, dan lain-lain menjadi pendamping yang pas untuk teh
atau kopi, di pagi atau sore hari.
Oh iya, Gule-gule Tamelo (bubur
kacang hijau), Gule-gule tela (bubur jagung), Cingkarong (jagung
muda yang dicincang halus, dicampuri dengan kelapa cukur/parut dan gula),
antara lain sarapan favorit. Gule-gule Tamelo bahkan menjadi menu utama
dalam perjamuan adat.
Untuk minuman, Kofi Dabe,
kopi dengan citarasa rempah, Ake Gura/Aer Guraka (Air Jahe) pasti
disukai. Kemudian Sarabati, minuman spesial yang lazim dijumpai dalam
ritual Taji Besi (Debus) bisa dicoba. Tetapi jika sangat ingin
mencobanya, pasti ada yang bersedia menyiapkannya.
PASIAR
TIDORE, VISIT TIDORE ISLAND
Bagaimana ke Tidore? Pastinya tak
sesulit pelayaran yang dilakukan bangsa Arab, Cina dan India dulu kala, atau
oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-15 sampai abad ke-16, jadi tak perlu
takut nyasar seperti yang dialami oleh Colombus.
Dua pilihan tersedia, pesawat
udara kapal laut. Jika pesawat udara yang dipilih maka hanya 3,5 jam
penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta ke Bandara Babullah di
Ternate. Dari bandara Ternate kurang lebih 5 menit ke pelabuhan Bastiong. Dari
pelabuhan Bastiong bisa menyeberang dengan speedboat ke pelabuhan Rum
dalam 10 menit, atau dengan motor kayu bermesin 40 PK kurang lebih 20 menit,
dan dengan KMP Feri lebih kurang 30 menit.
Dengan biaya 4 sampai 5 jutaan
rupiah cukup untuk pergi-pulang, dan itu sepadan dengan berbagai hal menarik
yang dapat dilihat, diketahui, dinikmati di pulau noktah, Tidore.
Mereka yang sedang liburan atau punya banyak waktu perjalanan barangkali bisa menggunakan kapal laut. Ini pilihan yang tak kalah menarik. Dalam 5 hari kita merasakan semakin menjadi Indonesia. Kapal menyinggahi beberapa kota-kota Indonesia. Waktu transit 3-4 jam cukup untuk mengunjungi satu dua situs atau destinasi wisata sekitar pusat kota, menikmati kuliner khas, membeli suvenir, memotret panorama, merekam video, atau sekdadar selfi-selfian, untuk melengkapai dokumentasi perjalanan. Perjalanan dengan kapal laut tentu lebih murah lagi.
Jadi, segera bikin rencana
#PasiarTidore, #VisitTidoreIsland. Hasanah budaya, keindahan alam dan keramahan
Tidore menanti. [msd-gg]
_______
Bacaan:
- A. Malik Ibrahim, Gam Jang, percikan pemikiran Kota Pulau, Ed, Herman Usman (Ternate, UMMU Press dan Garasi Genta, 2011)
- Des Alwi, Maluku, Banda Neira, Ternate, Tidore dan Ambon (Jakarta, Dian Rakyat, 2005)
- Gavin Menzies, 1421 Saat China Menemukan Dunia (Jakarta Pustaka Alvabet, 2010)
- M. Sofyan Daud, Ternate Mozaik Kota Pusaka (Ternate, Garasi Genta, 2012)
- Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam Dari China ke Nusantara (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010).
- Turner, Jack, Sejarah Rempah Dari Erotisme Sampai Imperialisme (Depok, Komunitas Bambu, 2011)
- W.P.H. Coolhaas, "Besturen Overzee Herinneringen van Oud - Amdtenaren Bij Het Binenlands Bestuur In Nederlandch Indie (Franeker, T. Wever BV, 1977)
- Yudi Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta, Gramadia Pustaka Utama, 2011).
Keren Pak Sofyan, tulisannya. Padat berisi. Banyak sekali ternyata hal yang bisa di gali di Tidore, bukan hanya sekedar keindahan alamnya. Saya penasaran dengan ke empat pulau besar Raja Ampat. Apakah raja-rajanya memiliki tali persaudaraan dengan Raja Tidore?
BalasHapusSunhanallah. Terima kasih apresiasinya. Setuju, relatif banyak yang bisa diangkat dari khasanah Tidkre. Tulksan sederhana ini sambil lalu coba mengulas sebagiannya. Tentang hubungan persaudaraan Raja-raja keempat pulau Raja Ampat dengan Tidore, sejauh yang saya tahu, tidak ada, kecuali hubungan historis-kultural.
BalasHapusMerinding baca tulisan ini. Semakin penasaran dengan Pulau misteri ini.
BalasHapusAh rasanya saya ingin larut "mabuk" dalam suasana tidore sambil napak tilas bumi bulat sambil ditemani lalampa dan berbincang dengan misionaris papua, bersenda gurau hingga trikora, sungguh ingin sekali. Bang Sofyan terimakasih atas ulasan ini.
BalasHapusBanyak sekali yang saya belum ketahui tentang Tidore ini. Terimakasih sekali sharingnya...
BalasHapusSaya penasaran ingin berkunjung ke pulau ini
BalasHapusTerima Kasih Bang...
BalasHapus