Pelangi di punggung Tidore. Foto Sofyan Daud, 2 September 2013 |
Rangkaian harijadi Tidore ke 909
tahun 2017 diawali dengan lomba menulis blog “Tidore Untuk Indonesia”
yang diprakarsai komunitas Fola Barakati,
dengan tim kecilnya Ngofa Tidore
(Anak Tidore).
Luar biasanya, di dalam Ngofa Tidore ini bergabung mereka yang tak
bertalian darah atau sejarah secuilpun dengan Tidore, selain teranting semangat
dan semacam perasaan jatuh cinta yang hampir tak terelakkan pada Tidore;
sejarah, khasanah budaya dan karunia pesona alamnya. Mereka bukan partisipan melainkan personil inti yang terlibat mendesain konsep dan sebagainya.
Untuk pertama kalinya kegiatan pembuka harijadi Tidore diprakarsai oleh komunitas, bukan oleh institusi “pelat
merah”. Ini seakan menandai munculnya kesadaran di kalangan elit Tidore bahwa upaya pelestarian tradisi dan
pembangunan kepariwisataan akan efektif bila didukung peranserta masyarakat, terutama komunitas atau kelembagaan masyarakat yang terkait.
Gathering dan launching itu
dihelat murah meriah, tidak di ballroom
megah tetapi konsepnya dipersiapkan secara baik dan melibatkan pihak
berkompiten, seakan rekomendasi tentang alternatif yang patut dipilih ketimbang kegiatan yang pernah dihelat tahun-tahun sebelumnya yang cenderung formalistis dan kurang memerhatikan target pun
sasarannya.
Sejak hari itu, Minggu 12 Februari
2017, “Tidore untuk Indonesia” dan seruan Visit
Tidore perlahan menarik perhatian blogger
setelah ia menghiasi halaman beberapa media massa terlebih menjalari jejaring
media sosial.
"Tidore Untuk Indonesia” pun seolah mengalami efek
"pembelahan diri” berkembang menjadi dua subtema yang saling memperkuat; “Indonesia menulis Tidore” dan “Menulis Tidore
Untuk Indonesia”.
Kawasan Pelabuhan Rum, di Utara Tidore menjelang malam. Foto Sofyan Daud, 16 Januari 2017 |
Tidore Untuk
Indonesia
“Tidore untuk Indonesia” bukan
sekadar tema. Ia visi dan tekad mengembalikan Tidore kedalam pusaran orbit Indonesia, setidaknya Tidore patut mendapatkan tempat yang pantas.
Ia juga semacam interupsi agar elit dan warga negara Indonesia berkhikmad
mempelajari peran kesejarahan Tidore nan heroik dan kontributif bagi eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tak usahlah mematut jejak sejarahnya
yang terlampau panjang. Cukuplah dari sejak para sultan dan bobato (pemanggku adat) menyemai dan
memupuk nasionalisme, heroisme rakyat yang dipimpin para sultan melawan
imperialisme, menjadi penyokong aktif dan utama yang ikut mengantarkan NKRI ke
gerbang kemerdekaan dan ikut pula mempertahankan kemerdekaan itu, hingga andil
strategisnya dalam perjuangan Trikora untuk mengembalikan Papua kedalam wilayah
kedaulatan NKRI.
Amati pula dengan saksama luasan
teretori kekuasaannya yang mencapai 1/3 dari luas NKRI sekarang, yang
menunjukkan betapa luasnya hamparan kebudayaan dan pengaruh sosio-kultural dan politik kesultanan ini, satu dari dua imperium besar di nusantara timur yang eksis secara formal sampai
pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sudilah pula mendalami tata nilai
dan praktik kearifan dalam tradisi tua kesultanan ini yang spirit dan modelnya barangkali
dapat diadopsi dan ditransformasikan memperkuat sendi-sendi kehidupan
berbangsa bernegara.
Berikut, liriklah tinggalan
sejarah dan kepurbakalaan, pesona alamnya serta kekhahasan dan keunikannya
yang banyak.
Menulis Tidore, memang mesti
dimulai dengan membaca Tidore. Itu yang dicontohkan oleh 94 Blogger dari pelbagai wilayah di Indonesia.
Mereka membaca, mempelajari untuk kemudian menuangkan,
menginterpretasikan pemahamannya akan Tidore kedalam tulisan-tulisannya yang
dalam, indah dan informatif.
Hasil bacaan yang cermat
terkespresi sedemikian lugas dalam tulisan-tulisan yang jernih dan detil,
seakan mereka telah lama mengenali tanah tuah ini, sejarahnya, budaya dan
tradisi, kuliner, hingga panorama alamnya.
Indonesia Menulis
Tidore
94 blogger dari pelbagai wilayah sungguh membaca dan menulis "Tidore untuk Indonesia". Setidaknya itu sedikit mewakili keingintahuan masyarakat Indonesia pada Tidore. Sebenarnya ini pintu masuk yang dapat dilalui oleh elit Indonesia sekarang untuk membaca dan menulis Tidore, bagian integral dari wilayah NKRI.
Tujuan terpenting elit Indonesia sekarang membaca
dan menulis Tidore dan daerah lainnya di timur Indonesia merupakan upaya menghapus
kesedihan akibat minimnya pengetahuan warga Indonesia di wilayah tengah dan
barat terhadap wilayah kepulauan di timur Indonesia, yang luas subur dan kaya. Wilayah
yang di masa lalu adalah pusat peradaban nusantara timur dan kemudian perlahan terdesak ke pinggiran.
Wilayah yang sebenarnya amat strategis
tetapi hanya fasih diperbincangkan saat membahas geopolitik dan geostrategis nasional.
Atau saat negosisasi investasi petambangan, kelapa sawit, perikanan atau investasi
sektor lainnya yang alih-alih untuk rakyat melainkan hanya untuk tujuan fee para pemburu rente.
Wilayah yang tak hanya dirudung kesenjangan
dari segi sosial ekonomi dan pembangunan, tetapi juga kesenjangan keterkenalan,
akibat rendahnya respek dalam ruang wacana dan diskursus nasional, akibat minimnya keberpihakan perencanaan strategis nasional terhadap kawasan ini, dan semakin diperparah oleh ketidakseimbangan interaksi
antarwilayah di Indonesia.
Torang sini kadara (kami di wilayah timur)
lebih tersedot atau disedot oleh Dorang
situ kalao (mereka di wilayah barat, Jakarta, pusat), sebelum dan sesudah
kebijakan otonomi dan desentralisasi sekalipun.
“Halo, Li,
saya baru tiba. Kamu sedang di Ternate kan? Saya akan sempatkan diri main ke rumahmu”.
Ali, sebut saja begitu, dia ditelepon sahabatnya
yang antusias bertemu, dan ingin main ke rumahnya.
“Iya saya, sedang di Ternate. Kamu sedang ada proyek di Ternate, kah?
Ali balik bertanya kepada sahabatnya.
“Tidak, saya baru saja tiba di Kupang. Tak jauh kan dari kampungmu kan?”
Ali, terdiam, tersenyum, menggeleng-geleng, miris...
Itu kisah nyata dan menyedihkan. Bayangkan,
Ternate yang lebih terkenal, lebih ramai dan maju karena pusat jasa dan perdagangan Maluku Utara, ternyata masih samar bahkan tak jelas posisinya di
ingatan sebagian warga negara Indonesia. Apalagi Tidore, Bacan, Jailolo, dan
lainnya?
Masih banyak lagi kisah dan
pengalaman serupa atau yang lebih miris. Itulah kesedihan yang tersedih, yang menggambarkan
seolah anak-anak yang kurang tahu apa saja yang penting yang terdapat di dalam
rumahnya.
Ironi memang, dari sekolah dengan
kurikulum yang sama, anak-anak Indonesia di wilayah timur relatif lebih
mengenali pahlawan-pahlawan, pulau-pulau, kota-kota, sungai-sungai,
gunung-gunung, situs-situs di wilayah tengah dan barat Indonesia, sebaliknya
anak-anak Indonesia di wilayah tengah dan barat relatif minim informasi dan pengetahuannya
tentang Tidore, Ternate, Bacan, Jailolo. Keempat kesultanan dan pusat peradaban
tua di nusatara timur, yang wilayah kekuasaan dan pengaruhnya mencakup Maluku,
Maluku Utara, Raja Ampat dan Papua, sepanjang pesisir Sulawesi sampai Selayar, Nusa
Tenggara, ke kepulauan Pasifik sampai Mindanao. Bahkan terdapat sumber yang menyebutnya
lebih tua dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
Memang, rumah besar NKRI sangat
besar dan luas. Isinya 17 ribuan pulau besar dan kecil, yang bernama dan belum sempat
dikasih nama, dihubungkan oleh lautan dan selat; Karimata, Laut Jawa, laut
Selawesi, Selat Makassar, Laut Maluku, Laut Banda, Laut dan Selat Halmahera,
serta Laut Arafura.
Itulah mengapa pelajaran sejarah, budaya
dan geografi Indonesia penting diajarkan secara baik di sekolah. Itulah mengapa
untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI, anak bangsa perlu diberi pelajaran
dan pengetahuan bahkan doktrin tentang Wawasan Nusantara, artinya “Wawasan
Laut-Pulau”, agar mengenali, memahami, merasa memiliki dengan bangga dan mencintai
Indonesia yang luas, kaya, subur dan indah. Seperti sejak lama diingatkan pameo
tua terkenal, “Tak kenal maka tak sayang”.
Generasi Tidore kini dan nanti
berutang kebaikan dan kepedulian 94 blogger itu. Mereka yang membaca dan menulis
“Tidore Untuk Indonesia”. Yang menujukkan cara mudah mengenal
dan memperkenalkan khasanah Tidore, bagian integral dari NKRI.
Dengan tenggat waktu lomba yang
singkat, tulisan-tulisan mereka membantu menjelaskan posisi Tidore di dalam wilayah
NKRI, mengulas sejarahnya, mengangkat potensi dan khasanahnya yang amat
bernilai bagi Indonesia, jika sekiranya dipedulikan secara pantas.
Terlebih lagi, mereka seakan mengingatkan
elit Indonesia dan generasi Indonesia saat ini, bahwa wawasan nusantara dan kecerdasan
teretorial-geografis ke-Indonesiaannya belum atau bahkan tidak pantas disebut
baik jika tidak tahu persis seperti apa Pulau Tidore, satu di antara 1.474 di Maluku Utara, 747 pulau di antaranya bernama
dan 727 pulau belum bernama.
Mengenal dan mengakui Tidore yang menyumbangkan 1/3 wilayah NKRI,
meliputi di dalamnya sejarah, keragaman budaya, tradisi dan kearifan serta
sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, adalah salah satu cara efektif memperbaiki
keluasan dan kedalaman wawasan keindonesiaan.
Mengenal dan mengakui Tidore secara pantas dan patut, tentu tidak
merugikan sama sekali bangsa Indonesia dan kepentingan strategis nasional. Tidak
juga merugikan warga negara Indonesia manapun. Sebaliknya semakin memperkokoh Indonesia
sebagai negara berdaulat pada banyak seginya, juga semakin memperkuat pemahaman
ke-Indonesiaan warganegaranya.
Kaitan itu, kemajuan teknologi dan sarana informasi dari televisi, media
tulisan, online, hingga sosial media, sedikit banyak mulai melepas
sekat-sekat, keterkucilan atau bahkan pengucilan yang ada.
Nah, Tidore sejak dulu telah ada “untuk Indonesia”, bahkan jauh sebelum
Indonesia ada, sebelum Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sekarang dan sampai
nanti pun Tidore tetap ada untuk Indonesia.
Bagi Tidore, semua pulau di Indonesia penting, manusianya, sejarah dan khasanah
budayanya, terutama penting kaitannya dengan keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Pertanyaan
mendasarnya, seberapa pentingkah Tidore dan khasanahnya di mata elit Indonesia
sekarang?
Pertanyaan ini tentu saja merepresentasi pertanyaan seluruh daerah dan pulau-pulau
dalam wilayah Provinsi Maluku Utara bahkan lebih luas lagi. []
___________
Sofyan Daud
Ngofa Tidore, meminati
sastra dan budaya,
Pimpinan
Komunitas Garasi Genta,
Ketua Harian PD
XXVIII KB. FKPPI Maluku Utara.
Senang bisa menjadi bagian dari #TidoreUntukIndonesia,
BalasHapusSaya dulu kenal Tidore hanya dari buku sejarah, karena saya suka sejarah. Sultan Nuku sosok yang sangat menonjol dalam rangkaian panjang sejarah Tidore. Tapi tak sedikitpun disebutkan dalam buku-buku sejarah keluaran pemerintah masa itu betapa pentingnya peran Kesultanan Tidore dalam memperjuangkan Indonesia yang dari Sabang sampai Merauke.
BalasHapusSaya sendiri agak ternganga sewaktu mendapati satu referensi yang menyebut wilayah kekuasan Kesultanan Tidore bahkan (konon) sampai ke pulau-pulau di Samudera Pasifik. Ada banyak pulau di sana yang bernama Nuku, dikaitkan dengan Sultan Nuku sebagai penguasa paling terkenal dalam sejarah Tidore. Wallahua'lam.
Ikut lomba blog ini sudah saya niatkan jauh-jauh hari sejak mengetahui bocoran infonya. Cuma memang bukan perkara mudah menuliskan sesuatu wilayah yang belum pernah kita lihat dan kunjungi. Beruntung disediakan peluang bereksplorasi di tema sejarah, tema favorit saya. Alhamdulillah, jadi rejeki :)
Syukur dofu-dofu untuk teman-teman penyelenggara lomba, juga atas kesempatannya mengijinkan saya bersama 4 rekan blogger lain mengunjungi Tidore pekan depan.
1/3 luasan wilayah? Ini luar biasa!
BalasHapusMaaf pak bila tulisan tidore saya belum pas. Mencari khasanah tidore terutama sejarahnya yang berhubungan dengan sejarah aceh sedikit sulit. Saya "terpaksa" harus mengutip langsung dari keturunan terakhir raja Aceh.
Tp terlepas dari itu semua, saya bangga dengan tidore!
Saya pun berpikir demikian, Pak Sofyan. Semua daerah di Indonesia ini memiliki peran pentingnya sendiri, utamanya dalam menegakkan kebangsaan. Ketika kita semakin mencari dan mengerti tentang Tidore, khususnya, maka lambat laun muncul pertanyaan yang mengemuka seperti menjadi penutup dalam tulisan ini, Tidore punya segalanya, lalu seberapa jauh perannya untuk Indonesia...
BalasHapus