Catatan dari mata dan hati
“Libatkanlah mata dan hati secara serasi setiap kali berjalan menyusuri petak-petak tanah leluhur ini, niscaya kita akan mengerti perjalanan terjauh dan tersulit adalah menemukan diri kita sendiri, cara berpikir dan bertindak kita yang terbaik untuk masa depan jazirah ini.”
#sofyandaudQuote
Indah dan eksotis. Ternanap mata kami saat haluan
long boat yang mengantar kami
perlahan memasuki perairan pesisir Pulau Yoi, persis di muara talaga.
Matahari petang itu, Sabtu, 13 Juli 2019,
telah menyentuh horizon, jauh di arah kiri kami. Tampak bergetar di permukaan
gelombang besar laut Halmahera yang bersua dengan Samudera Pasifik.
Long
boat pun melaju lebih cepat ke
dalam cekungan talaga. "Alhamdulillah..., Yeee... Akhirnya sampe Talaga
Yoi... Baronda Halteng....".
Syukur dan gembira. Sorak kawan-kawan
meneriakkan yel “Baronda Halteng", tagar yang sering kami semat pada postingan
tulisan, foto maupun video di sosial media. Sorakan itu seolah salam-sapa, membangunkan
talaga ini dari keterlelapannya dalam kesunyian panjang.
Action
cam di panjangkan tongsisnya, camera-camera
dikeluarkan dari tas-tas yang dilengkapi rain
cover dan masih harus dibalut lagi dengan terpal. Ponsel-ponsel dirogoh
dari dalam dry bag atau kantong
plastik.
Seketika, seperti dikomando, semua
mengabadikan pemandangan berkualitas wallpaper
itu: matahari terbenam, jingga langit, perairan hijau toska yang tenang, beberapa
cadik nelayan, semenanjung berpasir putih, gugusan pulau kecil yang berbaris
teratur.
11 crew Garasi Genta, 2 kawan dari DISBUDPAR
Halmahera Tengah yang menemani kami, cekat beraksi mengabadikan semua itu. Ada
yang berdiri, jongkok, atau tetap duduk karena posisinya memang sudah tepat.
Lucunya, sewaktu mengamankan
ponsel agar tak basah, di tengah perjalanan tadi, saya kebagian kantong plastik
bekas yang sebelumnya digunakan melapisi kantong yang berisi kopi dan gula.
Jadinya, ponsel saya berlepotan bubuk kopi dan gula. Ceh soe! Mesti dibersihkan
dulu. Beberapa momen lepas begitu saja. Hanya terekam ingatan.
Mata saya terus bertaut dengan jingga
langit searah buritan perahu, pohonan kelapa, mangrove dan barisan pinus pantai
hijau mengelabu di semenanjung barat talaga, yang tampak seolah berlari,
menjauh.
Semakin ke dalam, perairan talaga semakin tenang. Tampak gradasi warna perairan dari hijau toska, hijau terang hingga putih kekuningan di sepanjang garis pantai berpasir putih. Gradasi warna perairan dengan pola grafisnya mengingatkan saya pada "backround wave vectors".
Perairannya yang didominasi hijau toska
dan hijau terang, agaknya pas bila talaga ini dinamakan "Talaga Ijo"
(Telaga Hijau - Green Lake). Begitu
simpulan saya.
Foto Ahmad Damara/Garasi Genta |
Di atas talaga langit berangsur jingga
kelabu, memasuki maghrib. Beberapa meter lagi lunas pada haluan long boat menyentuh pasir di semenanjung
kecil di sisi timur talaga. Para crew melompat susul menyusul ke air dangkal
yang jernih. Ada yang bahkan sambil bersalto. Lantas, berlarian mereka dengan
gaya selebrasi masing-masing.
Long
boat berhenti di semenanjung
yang berpantai cukup lebar, bahkan saat pasang tertinggi sekalipun. Pantai ini
diteduhi pohonan pinus cukup tinggi dan berdaun rindang, juga beberapa vegetasi
khas pantai lainnya. Sekitar 30an meter ke timur atau ke dalam telaga, tepiannya
mulai dipadati tumbuhan mangrove yang subur.
Semenanjung kecil ini agak menonjol ke dalam
talaga, menghadap ke barat daya. Posisi yang memberi keleluasaan pandangan kami
sekaligus ke tiga sisi talaga: ke laut terbuka di barat daya hingga ke selatan,
ke arah barat, utara hingga ke timur laut talaga.
Di sini titik terbaik dan terindah. Pantai
semenanjung ini bersambung dengan beting pasir putih hampir selebar tanjung yang
membentang panjang sampai mendekati ke tengah talaga.
Beting itu seperti koridor
pasir yang bisa dilalui bahkan di saat pasang tertinggi sekalipun. Sementara di
saat air surut, bagian ini yang lebih dulu menonjol ke permukaan. Perahu,
seperti long boat yang kami tumpangi,
boleh masuk melalui “doro” (jalur masuk perahu) di sisi kiri dan kanan beting
ini.
Gesit, setengah berlari kami
menurunkan barang-barang dan peralatan, menaruhnya di dalam sebuah gubuk dan para-para - meja kayu, yang barangkali disediakan oleh warga untuk pengunjung.
Tubuh-tubuh kuyup kami totofore –
gemetaran oleh angin pantai yang kencang. Sebagian segera mengganti pakaiannya
dengan pakaian yang kering, mengenakan jaket atau sweater. Sebagian lainnya
langsung mengumpulkan batang kayu, daunan kering, sabut kelapa, membuat api
unggun.
Tungku di dapur gubuk kecil itu pun sudah
berasap, juga kompor gas kecil, ada yang menjerang air untuk menyeduh kopi,
setidaknya sedikit menghalau dingin.
Ko Idrus, juragan – motoris pemberani, seorang tunawicara dengan naluri yang
terasah, dan Fahri, warga Desa Kapaleo, Ibu kota kecamatan Pulau Gebe yang
karena keahliannya memancing, ikut bersam kami. Mereka berdua aktif membantu
beberapa crew membersihkan area untuk pemasangan tenda.
Sekitar pukul 20 waktu Pulau Yoi, 3 unit
tenda selesai dipasang, berjejer rapi dengan penerangan dari dalam tenda yang
menghidupkan warna-warnanya. Di atasnya reranting dan daunan pinus dilambai angin,
seolah tarian gemulai bayang-bayang, di atasnya lagi, langit biru-hitam, bening
dan bulan bersinar terang. Kesyahduan ini kian disempurnakan simfoni alam
pesisir-pantai yang amat ritmis.
“Maka nikmat Tuhanmu yang mana, yang
masih engkau dustakan?
Di hari kedua. Pagi, pukul 5, saya terjaga. Bukan di dalam tenda,
di tepi talaga tetapi di Rumah Om Muin, yang familiar disapa Om Muin Gebe, di Desa
Umiyal.
Beliau salah satu yang memiliki genset di Desa
ini. Memang belum ada pembangkit dan jaringan listrik negara. Penerangan jalan pada beberapa titik di desa ini menggunakan lampu solar cell. Informasi dari
instansi terkait yang diiyakan oleh warga setempat, pembangkit litrik masih
dalam proses pembangunan dan atau pengerjaan. Tak lama lagi sudah beroperasi.
Semalam saya dan 7 crew lainnya ketiduran
pulas di rumah Om Muin. Rencana awalnya kami kesini hanya numpang mengisi daya
baterai camera, drone, ponsel, headlamp,
dan peralatan lainnya, karena di talaga belum ada jaringan listrik. Tapi
lantaran kecapaian dalam penyeberangan sore tadi. Belum lagi untuk sampai ke desa
ini dari tepi talaga kami “long mars”- jalan kaki 3,5 kilometer. Rencana pun
berubah begitu saja.
Penduduk desa amat ramah, penuh empati, berbaik
hati menyeduhi kopi dan memasak mie instan untuk kami. Di ruang tamu yang bersebelahan
dengan ruang makan, mereka menggelar kalasa – tikar yang terbuat dari kulit
gaba.
Setelah makan, ngopi dan berbincang
sebentar, kami disilahkan rehat, baring-baring, tiduran, sambil menunggu
batarai penuh, tapi akhirnya kami pada pulas hingga subuh.
Saya membangunkan pasukan yang masih
pulas, segera bersiap kembali ke talaga. Memburu sunrise dan mengambil
foto-video pagi hari.
Aroma kopi dan gorengan menyeruak dari
dapur. Crew bergegas ke garis belakang. Belasan menit kemudian semua sudah
duduk lesehan menikmati kopi pagi dan gorengan.
Di depan rumah 1 unit kaisar (angkutan
roda 3) dan 2 sepeda motor telah menunggu. Pukul 6 lewat, kami beranjak ke tepi
talaga, tempat long boat ditambat, seterusnya
menyeberang ke semenjung di sebelah muara.
Pagi cerah, meski di arah timur awan
berbaris memanjang di atas bebukitan telaga. Matahari pun terbit malu-malu,
seperti kembang desa yang sungkan atau pemalu, mencuri-curi pandang atau mengamati kekocakan kami dari
balik atau celah gorden pintu atau jendela.
Tapi terus terang, saya sempat
menangkap binar matanya, juga mengingat bentuk senyumnya; indah, teduh dan sendu,
mirip air talaga. Entah yang lain, apa auto focus mereka setajam saya? Ee… bagitu e?
6 crew yang bermalam di tenda atau
gubuk, titik kumpul kami, sudah bangun. Sambil ngopi, kami briefing untuk
rencana pengambilan gambar, darat, udara dan bawah air.
Lokus dan focus pagi
hingga siang dan menjelang sore adalah area depan talaga sampai ke area dalam cekungan petama talaga ini. Sore
nanti kami akan masuk ke cekungan kedua dan dan ketiga.
Menjelang magrib kami kembali ke titik
kumpul, rehat sebenatar, dan ada yang masih mengambil sesi slow speed lanskap dengan latar jingga langit.
Seperti malam sebelumnya, kami membuat api
unggun lalu duduk didekatnya, ngopi, bercengkarama, melihat-lihat hasil
jeperetan atau video yang tadi diambil
Tiba-tiba beberapa dari kami berkata hampir berbarengan, “Tanah goyang ka?” – Gempa kah? Maklum, dalam 4 hari kami bergerak
terus dengan hanya sedikit istirahat, menyebarangi lautan berombak, juga menggunakan
beberapa jenis angkutan darat berbeda secara bergantian tergantung medan dan
ketersediaan angkutannya, mulai dari minibus, pick up, dump truck,
sepeda motor, hingga kaisar. Barangkali karena itu, sensor getar dalam tubuh
kami sedikit berkurang kepekaannya.
Kami menelepon mengecek keluarga di Ternate.
Kawan dari Weda dan Gebe pun menelepon mengecek keberadaan kami. Signal yang
belum optimal memengaruhi kualitas komunikasi, belum lagi deru angin dan ombak,
kami harus bicara lebih keras dari biasanya.
Berselang beberapa menit kemudian layanan
sms BMKG masuk: Gempa, magnitudo 7,2. Episenter pada
koordinat 0,56 LS dan 128,06 BT pada kedalaman 10 km, di Halmahera Selatan, Minggu (14/7), pukul
16.10.51 WIB.
Pukul 20:30, saya putuskan semua crew menyeberang ke kampung.
Kita makan dan bermalam di sana, sambil mengisi daya baterai semua peratalatan.
Bawa barang-barang dan peralatan penting. Sisanya biarkan saja di tenda.
Hari ketiga. Pagi ini menyambut kami lebih ramah. Angin dan ombak agak
reda. Kami berenam lebih dulu tiba di tempat tambatan long boat dengan angkutan kaisar. Ko
Idrus, sang motoris, menyusul beberapa saat diboncengi sepeda motor. Menunggu kasisar dan
motor yang kembali menjemput kawan-kawan yang lain. Ko Idrus mendekati saya, memberi
isyarat:
dua jari kanannya di angkat
ke depan matanya, lalu menunjuk kearah timur; dua tangannya mengilustrasikan
bentuk kotak; tangan kanannya diputarkan mengelilingi kepala, lantas gesturnya seperti
orang yang sedang mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Setelahnya dia menengadahkan kedua
telapaknya seperti orang sedang berdoa, dengan ekspresi yang khusuk.
Jere? Makam keramat? Saya menanggapi spontan, lalu
tersadar beliau tak mendengarnya. Saya menggerakkan tangan seperti orang
menulis dan membuka kitab, juga sedang berdoa. Beliau mengangguk. Kami pun
ambil waktu menjiarahi makam yang dikeramatkan itu.
Jere atau makam keramat, di dekat semenanjung barat talaga |
Tapi, pagi ini saya enggan memergoki bening mata atau
kepolosan senyumnya. Saya ingin menyimpan yang pagi kemarin saja. Karena itu
yang pertama dan yang terindah. Oh. Bagitu e?
Dalam penyeberangan kami mengancar-ancar lokus
dan focus eksplorasi hari ini, hari terakhir kami di talaga indah ini.
Long
boat baru bergerak 200an
meter, saya memberi isyarat kepada motoris berbelok ke tengah talaga kearah barisan
pulau-pulau. Dengan gesturnya, Ko Idrus memberi isyarat,
jangan, tidak boleh. Lantas, bilah telapak kanannya ia gesekkan ke telapak kirinya
yang menengadah… “Ciuss… ciuss”, artinya perahu akan kandas.
Saya memberi isyarat balik kepada Ko Idrus,
nanti berhenti saja di titik mana long boat
ini kandas. Lantas, dengan dua jari kanan menghadap ke bawah, saya kasih
isyarat, kami ingin berjalan mengitari area depan talaga, sampai ke pulau-pulau di depan sana.
Ko Idrus menggangguk. Long boat digas,
melaju kesana.
Lima belas menit kita di sini! Saya
mewanti-wanti kawan-kawan. Karena waktu kami yang tersedia hanya 5 jam.
Pukul 15 sore kami akan menyeberang kembali ke Pulau Gebe.
Kami pun segera menjelajahi area depan
talaga yang dangkal dan luas, berjalan hingga ke gugusan pulau-pulau yang
berjejer di dekat laut dalam. Rata-rata kedalaman air hanya mencapai betis
orang dewasa. Padahal baru pukul 9 pagi.
Tiba kembali di titik kumpul, semua
bergegas bersalin pakaian lapangan, mengambil peralatan dan beberapa kebutuhan
lainnya, lalu kami bergerak lagi menuju ke 3 area cekungan yang belum kami eksplor,
menyusuri dan mengitarinya dengan jalan kaki, mendokumentasikannya dari
berbagai sisi dan angel, hingga hamper pukul 13. Terik dan lapar memaksa kami
kembali. Rehat sejenak, membongkar tenda, membereskan barang dan perlengkapan.
Ko Idrus (jaket biru) juragan atau motris kawakan. Dsisplin, dan spiritualitasnya pun baik |
Pukul 14:30, barang dan peralatan
dinaikkan ke long boat, dibungkus
dengan terpal besar, agar tak basah bila terciprat ombak. Beberapa saat sesi
foto bersama dan swafoto dengan Ko Idrus dan 3 warga baik hati yang menemani
dan banyak membantu selama kami di talaga dan di Pulau Yoi.
Pukul 15:27 kami bertolak kembali ke Desa Sanafi di Pulau Gebe. Penyeberangan pulang ini lebih mulus dari sewaktu kami datang. Ko Idrus tersenyum, berkali-kali mengatakan kepada saya dan Masri Hidayat yang kebetulan berdekatan dengannya di buritan long boat. Saya bagus, berkenaan menjiarahi jere - makam keramat, sililoa - minta permisi, itu baik. Saya dan Masri hanya tersenyum, membiarkan Ko Idrus dengan pandangan dan keyakinan spiritualitasnya.
Long boat merayapi punggung gelombang, memotong gelombang berikut yang datang menghadang, lalu merayapi lagi punggung gelombang itu. Sesekali terhempas gelombang besar yang mencipratkan air laut kedalam perahu.
Saya menengok ke belakang. Memebaca jejak dan jarak. Kami sudah di tengah perjalanan. Tampak Pulau Yoi, pulau batang itu, kadang terhalang pandang oleh gelombang tinggi.
Semoga karunia indah dari Tuhan di pulau itu, membawa kemaslahatan untuk ummatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saya mengemas rencana, menyimpannya agar tak kuyup oleh limpasan gelombang.
Semoga karunia indah dari Tuhan di pulau itu, membawa kemaslahatan untuk ummatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saya mengemas rencana, menyimpannya agar tak kuyup oleh limpasan gelombang.
Selamat tinggal Talaga Ijo dan Pulau Yoi,
di hati putihmu yang sunyi, sebagian hati kami kini bermukim.
Sofyan Daud, Garasi Genta, 5 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar