Senin, 05 Agustus 2019

TALAGA IJO PULAU YOI DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH



 Catatan dari mata dan hati


 “Libatkanlah mata dan hati secara serasi setiap kali berjalan menyusuri petak-petak tanah leluhur ini, niscaya kita akan mengerti perjalanan terjauh dan tersulit adalah menemukan diri kita sendiri, cara berpikir dan bertindak kita yang terbaik untuk masa depan jazirah ini.”
#sofyandaudQuote


          Indah dan eksotis. Ternanap mata kami saat haluan long boat yang mengantar kami perlahan memasuki perairan pesisir Pulau Yoi, persis di muara talaga. 
       Matahari petang itu, Sabtu, 13 Juli 2019, telah menyentuh horizon, jauh di arah kiri kami. Tampak bergetar di permukaan gelombang besar laut Halmahera yang bersua dengan Samudera Pasifik.
 

      Di ambang talaga, ombak seakan hilang daya. Perairan berangsur menjadi tenang. 19 orang di atas long boat kayu berkapasitas 3 ton itu, yang sedari tadi kuyup kedinginan di hempas angin dan ombak besar, kini sama lega. Lepas dari buncahan ombak yang mengucak-ngucak selama setengah rute penyeberangan. 
      Long boat pun melaju lebih cepat ke dalam cekungan talaga. "Alhamdulillah..., Yeee... Akhirnya sampe Talaga Yoi... Baronda Halteng....".  
      Syukur dan gembira. Sorak kawan-kawan meneriakkan yel “Baronda Halteng", tagar yang sering kami semat pada postingan tulisan, foto maupun video di sosial media. Sorakan itu seolah salam-sapa, membangunkan talaga ini dari keterlelapannya dalam kesunyian panjang. 
      Action cam di panjangkan tongsisnya, camera-camera dikeluarkan dari tas-tas yang dilengkapi rain cover dan masih harus dibalut lagi dengan terpal. Ponsel-ponsel dirogoh dari dalam dry bag atau kantong plastik.
      Seketika, seperti dikomando, semua mengabadikan pemandangan berkualitas wallpaper itu: matahari terbenam, jingga langit, perairan hijau toska yang tenang, beberapa cadik nelayan, semenanjung berpasir putih, gugusan pulau kecil yang berbaris teratur.

      11 crew Garasi Genta, 2 kawan dari DISBUDPAR Halmahera Tengah yang menemani kami, cekat beraksi mengabadikan semua itu. Ada yang berdiri, jongkok, atau tetap duduk karena posisinya memang sudah tepat.


      Lucunya, sewaktu mengamankan ponsel agar tak basah, di tengah perjalanan tadi, saya kebagian kantong plastik bekas yang sebelumnya digunakan melapisi kantong yang berisi kopi dan gula. Jadinya, ponsel saya berlepotan bubuk kopi dan gula. Ceh soe! Mesti dibersihkan dulu. Beberapa momen lepas begitu saja. Hanya terekam ingatan.

      Mata saya terus bertaut dengan jingga langit searah buritan perahu, pohonan kelapa, mangrove dan barisan pinus pantai hijau mengelabu di semenanjung barat talaga, yang tampak seolah berlari, menjauh. 
 

     
Semakin ke dalam, perairan talaga semakin tenang. Tampak gradasi warna perairan dari hijau toska, hijau terang hingga putih kekuningan di sepanjang garis pantai berpasir putih. Gradasi warna perairan dengan pola grafisnya mengingatkan saya pada "backround wave vectors".


       Perairannya yang didominasi hijau toska dan hijau terang, agaknya pas bila talaga ini dinamakan "Talaga Ijo" (Telaga Hijau - Green Lake). Begitu simpulan saya. 



Foto Ahmad Damara/Garasi Genta
      Keindahan di semerata sisinya mengundang decak takjub. Ternyata ada tempat tersembunyi yang lebih indah, lebih eksotis, lebih luas dan lebih khas pun unik, di Maluku Utara ini, dari yang sudah lebih dulu terpublikasi, seperti Pulau Dodola di Morotai, Widi di Halmahera Selatan, Kaha tola di Halmahera Barat, dan lainnya.

       Di atas talaga langit berangsur jingga kelabu, memasuki maghrib. Beberapa meter lagi lunas pada haluan long boat menyentuh pasir di semenanjung kecil di sisi timur talaga. Para crew melompat susul menyusul ke air dangkal yang jernih. Ada yang bahkan sambil bersalto. Lantas, berlarian mereka dengan gaya selebrasi masing-masing.


      Long boat berhenti di semenanjung yang berpantai cukup lebar, bahkan saat pasang tertinggi sekalipun. Pantai ini diteduhi pohonan pinus cukup tinggi dan berdaun rindang, juga beberapa vegetasi khas pantai lainnya. Sekitar 30an meter ke timur atau ke dalam telaga, tepiannya mulai dipadati tumbuhan mangrove yang subur.

      Semenanjung kecil ini agak menonjol ke dalam talaga, menghadap ke barat daya. Posisi yang memberi keleluasaan pandangan kami sekaligus ke tiga sisi talaga: ke laut terbuka di barat daya hingga ke selatan, ke arah barat, utara hingga ke timur laut talaga.

      Di sini titik terbaik dan terindah. Pantai semenanjung ini bersambung dengan beting pasir putih hampir selebar tanjung yang membentang panjang sampai mendekati ke tengah talaga. 
      Beting itu seperti koridor pasir yang bisa dilalui bahkan di saat pasang tertinggi sekalipun. Sementara di saat air surut, bagian ini yang lebih dulu menonjol ke permukaan. Perahu, seperti long boat yang kami tumpangi, boleh masuk melalui “doro” (jalur masuk perahu) di sisi kiri dan kanan beting ini.


      Gesit, setengah berlari kami menurunkan barang-barang dan peralatan, menaruhnya di dalam sebuah gubuk dan para-para - meja kayu, yang barangkali disediakan oleh warga untuk pengunjung.

      Tubuh-tubuh kuyup kami totofore – gemetaran oleh angin pantai yang kencang. Sebagian segera mengganti pakaiannya dengan pakaian yang kering, mengenakan jaket atau sweater. Sebagian lainnya langsung mengumpulkan batang kayu, daunan kering, sabut kelapa, membuat api unggun.

      Tungku di dapur gubuk kecil itu pun sudah berasap, juga kompor gas kecil, ada yang menjerang air untuk menyeduh kopi, setidaknya sedikit menghalau dingin.

      Ko Idrus, juragan – motoris pemberani, seorang tunawicara dengan naluri yang terasah, dan Fahri, warga Desa Kapaleo, Ibu kota kecamatan Pulau Gebe yang karena keahliannya memancing, ikut bersam kami. Mereka berdua aktif membantu beberapa crew membersihkan area untuk pemasangan tenda.

      Sekitar pukul 20 waktu Pulau Yoi, 3 unit tenda selesai dipasang, berjejer rapi dengan penerangan dari dalam tenda yang menghidupkan warna-warnanya. Di atasnya reranting dan daunan pinus dilambai angin, seolah tarian gemulai bayang-bayang, di atasnya lagi, langit biru-hitam, bening dan bulan bersinar terang. Kesyahduan ini kian disempurnakan simfoni alam pesisir-pantai yang amat ritmis.

      “Maka nikmat Tuhanmu yang mana, yang masih engkau dustakan?


      Di hari kedua. Pagi, pukul 5, saya terjaga. Bukan di dalam tenda, di tepi talaga tetapi di Rumah Om Muin, yang familiar disapa Om Muin Gebe, di Desa Umiyal.
      Beliau salah satu yang memiliki genset di Desa ini. Memang belum ada pembangkit dan jaringan listrik negara. Penerangan jalan pada beberapa titik di desa ini menggunakan lampu solar cell. Informasi dari instansi terkait yang diiyakan oleh warga setempat, pembangkit litrik masih dalam proses pembangunan dan atau pengerjaan. Tak lama lagi sudah beroperasi.

       Semalam saya dan 7 crew lainnya ketiduran pulas di rumah Om Muin. Rencana awalnya kami kesini hanya numpang mengisi daya baterai camera, drone, ponsel, headlamp, dan peralatan lainnya, karena di talaga belum ada jaringan listrik. Tapi lantaran kecapaian dalam penyeberangan sore tadi. Belum lagi untuk sampai ke desa ini dari tepi talaga kami “long mars”- jalan kaki 3,5 kilometer. Rencana pun berubah begitu saja.

      Penduduk desa amat ramah, penuh empati, berbaik hati menyeduhi kopi dan memasak mie instan untuk kami. Di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang makan, mereka menggelar kalasa – tikar yang terbuat dari kulit gaba.

      Setelah makan, ngopi dan berbincang sebentar, kami disilahkan rehat, baring-baring, tiduran, sambil menunggu batarai penuh, tapi akhirnya kami pada pulas hingga subuh.

      Saya membangunkan pasukan yang masih pulas, segera bersiap kembali ke talaga. Memburu sunrise dan mengambil foto-video pagi hari.

      Aroma kopi dan gorengan menyeruak dari dapur. Crew bergegas ke garis belakang. Belasan menit kemudian semua sudah duduk lesehan menikmati kopi pagi dan gorengan.

      Di depan rumah 1 unit kaisar (angkutan roda 3) dan 2 sepeda motor telah menunggu. Pukul 6 lewat, kami beranjak ke tepi talaga, tempat long boat ditambat, seterusnya menyeberang ke semenjung di sebelah muara.



    
      Pagi cerah, meski di arah timur awan berbaris memanjang di atas bebukitan telaga. Matahari pun terbit malu-malu, seperti kembang desa yang sungkan atau pemalu, mencuri-curi pandang atau mengamati kekocakan kami dari balik atau celah gorden pintu atau jendela. 
     Tapi terus terang, saya sempat menangkap binar matanya, juga mengingat bentuk senyumnya; indah, teduh dan sendu, mirip air talaga. Entah yang lain, apa auto focus mereka setajam saya? Ee… bagitu e?

      6 crew yang bermalam di tenda atau gubuk, titik kumpul kami, sudah bangun. Sambil ngopi, kami briefing untuk rencana pengambilan gambar, darat, udara dan bawah air. 
      Lokus dan focus pagi hingga siang dan menjelang sore adalah area depan talaga sampai ke area dalam cekungan petama talaga ini. Sore nanti kami akan masuk ke cekungan kedua dan dan ketiga.


  
Kami sempatkan diri menanam anakan mangrove. Semoga tumbuh subur
      Menjelang magrib kami kembali ke titik kumpul, rehat sebenatar, dan ada yang masih mengambil sesi slow speed lanskap dengan latar jingga langit.

      Seperti malam sebelumnya, kami membuat api unggun lalu duduk didekatnya, ngopi, bercengkarama, melihat-lihat hasil jeperetan atau video yang tadi diambil

      Tiba-tiba beberapa dari kami berkata hampir berbarengan, “Tanah goyang ka?” – Gempa kah? Maklum, dalam 4 hari kami bergerak terus dengan hanya sedikit istirahat, menyebarangi lautan berombak, juga menggunakan beberapa jenis angkutan darat berbeda secara bergantian tergantung medan dan ketersediaan angkutannya, mulai dari minibus, pick up, dump truck, sepeda motor, hingga kaisar. Barangkali karena itu, sensor getar dalam tubuh kami sedikit berkurang kepekaannya.

      Kami menelepon mengecek keluarga di Ternate. Kawan dari Weda dan Gebe pun menelepon mengecek keberadaan kami. Signal yang belum optimal memengaruhi kualitas komunikasi, belum lagi deru angin dan ombak, kami harus bicara lebih keras dari biasanya.

      Berselang beberapa menit kemudian layanan sms BMKG masuk: Gempa, magnitudo 7,2. Episenter pada koordinat 0,56 LS dan 128,06 BT pada kedalaman 10 km, di Halmahera Selatan, Minggu (14/7), pukul 16.10.51 WIB.

      Pukul 20:30, saya putuskan semua crew menyeberang ke kampung. Kita makan dan bermalam di sana, sambil mengisi daya baterai semua peratalatan. Bawa barang-barang dan peralatan penting. Sisanya biarkan saja di tenda.



      Hari ketiga. Pagi ini menyambut kami lebih ramah. Angin dan ombak agak reda. Kami berenam lebih dulu tiba di tempat tambatan long boat dengan angkutan kaisar. Ko Idrus, sang motoris, menyusul beberapa saat diboncengi sepeda motor. Menunggu kasisar dan motor yang kembali menjemput kawan-kawan yang lain. Ko Idrus mendekati saya, memberi isyarat:
dua jari kanannya di angkat ke depan matanya, lalu menunjuk kearah timur; dua tangannya mengilustrasikan bentuk kotak; tangan kanannya diputarkan mengelilingi kepala, lantas gesturnya seperti orang yang sedang mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Setelahnya dia menengadahkan kedua telapaknya seperti orang sedang berdoa, dengan ekspresi yang khusuk.

      Jere? Makam keramat? Saya menanggapi spontan, lalu tersadar beliau tak mendengarnya. Saya menggerakkan tangan seperti orang menulis dan membuka kitab, juga sedang berdoa. Beliau mengangguk. Kami pun ambil waktu menjiarahi makam yang dikeramatkan itu.

Jere atau makam keramat, di dekat semenanjung barat talaga
      Pukul 8:45 kami menyeberang ke titik kumpul. Matahari yang seharusnya telah di atas barisan bebukitan talaga, seperti kemarin terhalang awan. Ah seperti gadis manis yang pemalu itu.

      Tapi, pagi ini saya enggan memergoki bening mata atau kepolosan senyumnya. Saya ingin menyimpan yang pagi kemarin saja. Karena itu yang pertama dan yang terindah. Oh. Bagitu e?

      Dalam penyeberangan kami mengancar-ancar lokus dan focus eksplorasi hari ini, hari terakhir kami di talaga indah ini.

      Long boat baru bergerak 200an meter, saya memberi isyarat kepada motoris berbelok ke tengah talaga kearah barisan pulau-pulau. Dengan gesturnya, Ko Idrus memberi isyarat, jangan, tidak boleh. Lantas, bilah telapak kanannya ia gesekkan ke telapak kirinya yang menengadah… “Ciuss… ciuss”, artinya perahu akan kandas.

      Saya memberi isyarat balik kepada Ko Idrus, nanti berhenti saja di titik mana long boat ini kandas. Lantas, dengan dua jari kanan menghadap ke bawah, saya kasih isyarat, kami ingin berjalan mengitari area depan talaga, sampai ke pulau-pulau di depan sana. Ko Idrus menggangguk. Long boat digas, melaju kesana.

 
      Lima belas menit kita di sini! Saya mewanti-wanti kawan-kawan. Karena waktu kami yang tersedia hanya 5 jam. Pukul 15 sore kami akan menyeberang kembali ke Pulau Gebe.

      Kami pun segera menjelajahi area depan talaga yang dangkal dan luas, berjalan hingga ke gugusan pulau-pulau yang berjejer di dekat laut dalam. Rata-rata kedalaman air hanya mencapai betis orang dewasa. Padahal baru pukul 9 pagi.

      Tiba kembali di titik kumpul, semua bergegas bersalin pakaian lapangan, mengambil peralatan dan beberapa kebutuhan lainnya, lalu kami bergerak lagi menuju ke 3 area cekungan yang belum kami eksplor, menyusuri dan mengitarinya dengan jalan kaki, mendokumentasikannya dari berbagai sisi dan angel, hingga hamper pukul 13. Terik dan lapar memaksa kami kembali. Rehat sejenak, membongkar tenda, membereskan barang dan perlengkapan.
Ko Idrus (jaket biru) juragan atau motris kawakan. Dsisplin, dan spiritualitasnya pun baik
       Pukul 14:30, barang dan peralatan dinaikkan ke long boat, dibungkus dengan terpal besar, agar tak basah bila terciprat ombak. Beberapa saat sesi foto bersama dan swafoto dengan Ko Idrus dan 3 warga baik hati yang menemani dan banyak membantu selama kami di talaga dan di Pulau Yoi.

      Pukul 15:27 kami bertolak kembali ke Desa Sanafi di Pulau Gebe. Penyeberangan pulang ini lebih mulus dari sewaktu kami datang. Ko Idrus tersenyum, berkali-kali mengatakan kepada saya dan Masri Hidayat yang kebetulan berdekatan dengannya di buritan long boat. Saya bagus, berkenaan menjiarahi jere - makam keramat, sililoa - minta permisi, itu baik. Saya dan Masri hanya tersenyum, membiarkan Ko Idrus dengan pandangan dan keyakinan spiritualitasnya.
      Long boat merayapi punggung gelombang, memotong gelombang berikut yang datang menghadang, lalu merayapi lagi punggung gelombang itu. Sesekali terhempas gelombang besar yang mencipratkan air laut kedalam perahu. 
      Saya menengok ke belakang. Memebaca jejak dan jarak. Kami sudah di tengah perjalanan. Tampak Pulau Yoi, pulau batang itu, kadang terhalang pandang oleh gelombang tinggi.  
      Semoga karunia indah dari Tuhan di pulau itu, membawa kemaslahatan untuk ummatnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saya mengemas rencana, menyimpannya agar tak kuyup oleh limpasan gelombang.
      Selamat tinggal Talaga Ijo dan Pulau Yoi, di hati putihmu yang sunyi, sebagian hati kami kini bermukim.

Cekungan atau teluk berbentu symbol hati (hearten). Indah dan unik





Sofyan Daud, Garasi Genta, 5 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar