Minggu, 26 Februari 2017

Dua Cerita Tidore Dari 1920an


Warga Mareku, kampung tua, kampungnya para Sangaji di utara Pulau Tidore itu, marah dan memprotes petugas pajak Belanda yang datang menagih pajak. Mereka menolak membayar pajak yang dikenakan karena besarannya dianggap tidak sesuai.

Sepeda tua. (foto: picssr.com)

Pagi sekitar pukul sepuluh. Beatuursambtenaar Coolhaas, mengayuh sepedanya pelan dari arah Mareku Gam Sungi melalui jalan menurun ke tanjung Mareku yang berbatu.
Derit rantai sepeda Batavus atau Bazelle itu, juga putaran rodanya, sepintas mirip desau lembut angin selusupi daunan Ketapang dan Pandan pantai yang amat lebat di situ. Roda-roda melindas kerikil jalanan seolah seruak ombak mendesis di cecelah batuan pantai.
Sepeda Coolhaas kini di jalan menanjak hampir di tengah kampung Mareku. Tampak rumah-rumah warga rata-rata berdinding kapur, berderet rapi mengikuti topografis kampung yang agak tinggi di kaki Gunung Marijang dan melandai ke arah pantai.
Di tengah kampung, persis di depan rumah Mahimo (Kepala Kampung), Coolhaas turun dari sepeda. Menyandarkan sepedanya ke batang bunga Mentega besar, di dekat pintu pagar pekarangan rumah Mahimo. Tanaman Puring warna-warni, Bunga Tasbih dan Jambu air meneduhi rumah ini. 
Coolhaas merogoh lenso dari saku biskap, menyapu peluh dari wajahnya. Tengadah sebentar ke langit, seakan mencari posisi matahari. Pagi telah beranjak siang, di hari itu, hari yang tak sempat dicatatnya, juga bulannya, kecuali tahun. Itupun hanya perkiraan: 1921 atau 1922.
Dari arah pantai berjarak kurang 100 meter dari jalan raya dan rumah Mahimo, Coolhaas mendengar suara ramai yang merambat seperti bergelombang bersama kelabat angin yang bertiup dari pantai. Dia memasang telinga. Memastikan apa yang sedang terjadi di sana.
“Permisi tuan. Silahkan masuk”.  Suara Mahimo dari tangga di pintu pagar, mengalihkan perhatian Coolhaas. Mereka lalu melangkah memasuki beranda rumah Mahimo.
Beranda rumah itu, selazimnya rumah-rumah di Tidore, hanya ada dinding di bagian bawahnya, setinggi 1 meteran. Bagian atasnya dibiarkan terbuka. Menghalangi sinar matahari atau air hujan agar tak tempias ke dalam, bagian yang terbuka hanya disekati dengan Kalasa, tikar dari kulit tebu hutan atau kulit pelepah gaba. Di beranda itu, riuh suara dari pantai masih terdengar juga.
“Kenapa ada ribut-ribut di sana”. Tanya si ambtenaar dengan dialeg Melayu yang patah-patah.
“Ooo tuan, itu orang-orang kampung Baku Simore,
“Baku apa? Simole..?” Sela si ambtenaar.
“Iya Simore, tuan. Orang-orang senang dan gembira. Dong pe anak dan laki baru pulang dari jauh”.
“Oooo..”, si ambtenaar Coolhaas hanya menganggung-angguk.
Di pantai, tiga Giop membongkar muatan. Para pemuda dan pria paruh baya memanggul beras, gula, kopi dan lain-lain dari Giop, menurunkannya di pantai atau langsung ke rumah. Bocah-bocah berkerumun dua tiga kelompok kecil, memerhatikan dan kadang saling membandingkan Doyo, oleh-oleh, mainan dan celana boven. Kaum ibunya pun tak kalah seru, saling membandingkan baju, bahan tekstil, keneper, giwang, hingga alat dapur yang dibawa pulang suami, anak atau saudaranya dari rantau.
“Ekonomi kamu orang di sini bagus ya?”, tanya Coolhaas sembari menyeruput air kelapa muda.
“Iya tuan, orang kampung sini kuat mencari. Dorang mangael sampe di Ambon, Bitung, Manado”. Mahimo menjelaskan ringkas.
“Jadi, itu tadi yang ribut-ribut... orang-orang baru pulang ha?”

Dzuhur telah lewat hampir satu jam. Proses pemungutan pajak segera dimulai. Orang-orang mulai berdatangan ke rumah Mahimo. Pemuka kampung yang membantu tugas-tugas Mahimo sekaligus koordinator pemungutan pajak kampung itu, telah siap dengan felpen dan buku catatan pajak.
Setengah jam berikut, orang berdatangan makin banyak, memenuhi pekarangan Mahimo hingga ke pekarangan dan teras tetangga. Nama-nama kepala keluarga mulai dipanggil satu persatu.
Tiba-tiba sekelompok warga berteriak, memprotes pungatan pajak hari itu. Coolhaas tegang. Berdiri ia dari kursinya dan mengambil posisi sigap. Susana seketika riuh. Warga yang protes meneriakkan “Stop. Barenti. Torang tara akan bayar!”
Coolhaas makin tegang. Ini tantangan pertama yang dijumpainya di Tidore. Ini akan menghambat pekerjaannya. Merusak konditenya di mata atasannya.
“Mahimo! Ada apa ini?” Tanya Coolhaas setengah berbisik tetapi dengan nada suara penuh tekanan.
“Tenang tuan,” Kata Mahimo singkat.
Mahimo tampil ke depan, meminta perhatian warganya.
“Ngoni samua coba tenang dulu. Ngoni protes apa sebenarnya?” Tanya Mahimo lantang.
“Tabea Mahimo, torang tara akang bayar pajak, nilainya tara sesuai..”, kata seorang warga, ditimpali pula kalimat serupa oleh warga lainnya.
Coolhaas terkejut bukan main. Gegas ia melengkah lebih kedepan. Mahimo coba menenangkannya, memastikan situasi dapat dikendalikannya, Colhaas menampik tangan Mahimo dan tetap maju kemuka, berteriak.
“Tidak bisa. Tidak bisa. Itu sudah ditetapkan dari atas”. Coolhaas menatap ke arah warga dengan wajah tegang, barangkali juga geram.
“Tuan jangan remehkan torang. Nilai pajak ini tara pas deng kitorang”... Warga berteriak lantang dan sautan-sautan.
Coolhaas lebih tegang lagi. Juga mulai agak marah. Dia berbalik cepat ke arah Mahimo.
“Bagaimana ini tuan?”
“Tenang tuan. Tenang. Biar saya bicara dengan dorang bae-bae”.
Mahiomo mendekati kerumunan warga. Tampak mereka saling bicara dalam bahasa Tidore. Si ambtenaar Coolhaas menatap cermat dari kejauhan. Tak sampai lima menit. Rembuk Mahimo dengan warganya selesai. Mahimo kembali ke beranda. Cooalhaas gegas menghampirinya.
“Bagaiman tuan? Tanyanya tak sabar.
“Maaf tuan, biar dorang yang jelaskan”. Kata Mahimo bikin Coolhaas keheranan bercampur geram.
Seorang warga melangkah mendekati beranda. Coolhaas tak sabar menunggu apa yang akan dikatakannya. Suasana hening. Lelaki yang mewakili warga pun tampak tegang.
“Eee.. tuan, torang.. e, torang pe pajak ini talalu kacil”. Dia jeda sejenak. Coolhaas memperbaiki posisi duduknya, memperhatikan.
“Tuan musti kase nae dua kali lipat. Itu baru cocok deng kitorang. Kalo tarada torang tara bayar.”. 
Lelaki itu berbalik gegas, berjalan ke arah kerumunan warga. Coolhaas terpana, melongo. Antara lega bercampur heran. 
Sejurus kemudian ia kembali menguasai dirinya dan berdiri tegap di hadapan warga, tersenyum lebar.
Its goed, mooi.... Kamu orang heibat, heibat...” Coolhaas mangut-manggut, berdecak-decak.
 Pemungutan pajak siang itu pun berjalan lancar. Coolhaas tak habis pikir, biasanya masyarakat terlambat atau enggan membayar pajaknya walau jumlahnya tak seberapa. Tapi di sini, di Mareku, orang-orang justru tak mau membayar pajak bila jumlahnya tidak dinaikkan dua kali lipat. 
Heran, tak percaya, atau kagum, berputar dalam pikirannya seperti derap kakinya memutar pedal sepeda.
Laju sepedanya kini melamban di jalan menanjak di ujung Kampung Bobo ke arah Kampung Toloa. Bedug Ashar terdengar hampir bersamaan dari masjid di ujung selatan Kampung Bobo dan dari masjid tua di Kampung Toloa. 
Lima menit berikutnya sepeda Coolhaas sudah di tengah Kampung Toloa. Dia berhenti tak jauh dari rumah Mahimo. Rumah itu ramai oleh kerumunan warga. 
Coolhaas menuntun sepeda dan bertanya kepada beberapa warga di tepi jalan. Rupanya di rumah Mahimo sedang ada penyelesaian sengketa batas kebun.
Coolhaas melangkah masuk ke pekarangan. Orang-orang memberi jalan. 
Melihat Coolhaas masuk, Mahimo bangkit menyambutnya. Coolhaas kasih isyarat agar Mahimo tetap melanjutkan sidang perkara. 
Coolhaas pun duduk menyaksikan persidangan. Lima menit kemudian putasan jatuh, Si Fulan dinyatanya bersalah. Sidang Bubar. Dilanjutkan dengan proses pemungutan pajak.
Proses pemungutan pajak berlangsung lancar, tanpa protes, interupsi atau inseden apapun. 
Kurang lebih setengah jam urusan Coolhaas di Toloa beres. Uang pajak di isi kedalam kantong Zak Terigu. Coolhaas kemudian meminta Mahimo, uang pajaknya nanti di antar saja ke kantor atau ke rumahnya. Setelahnya dia bergegas pulang ke Soasio, yang jaraknya cukup jauh, lebih dari 20 kilometer dari Toloa.

**
Angin sore sepanjang pesisir utara dan selatan Tidore bertiup pelan, sepelan kayuhan sepeda Coolhaas.  Hatinya lempang. Ia tak merasa perlu tergesa-gesa sampai Soasio. Sebab jalanan pesisir yang dilaluinya sore itu lebih cerah dan indah. Sesekali ia tersenyum, benar-benar tak percaya dengan kejadian di Mareku beberapa jam lalu.
Sepedanya kini melucur agak kencang menuruni kelokan jalan ke tanjung Tongawai. Matanya melirik-lirik teluk dan tanjung, laut sore yang tenang, satu dua perahu nelayan mengapung di sana. 
Saat menikung di pangkal teluk kecil itu, matanya menangkap sesosok pria paruh baya di tikungan jalan, persis di ujung tanjung. Langkah-langkah Si Pria begitu gegas hingga seketika ia seolah menghilang, terhalangi rindang pohonan dan tebing curam di ujung tanjung.
Coolhaas mengayuh sepedanya lebih cepat. Kini jaraknya tak seberapa jauh dari pria itu. Tampak olehnya pria itu menenteng karung kecil atau kantong. Sepedanya melaju dan membuntuti Si Pria di dekat Lige Ma Ake, danau kecil di dekat Kampung Seli. 
Mendengar derit sepeda di belakngnya, Si Pria berbalik menengok. Ketika melihat yang datang adalah Coolhaas, si pria berhenti, memberi isyarat hormat.
Kini Coolhaas benar-benar terkejut. Si Pria itu ternyata Si Fulan, terhukum sesuai putasan Mahimo Toloa tadi. 
Coolhaas lebih terkejut lagi, sebab mengenali kantong yang ditenteng Si Fulan adalah Zak Terigu berisi uang pajak warga Toloa yang tadi dipungutnya.
“Kamu orang mau kemana hah?” Tanya Coolhaas setengah menyelidik.
“Pigi di kantor polisi, mo lapor diri, tuan”. Jawab Si Fulan enteng.
“Lalu itu?” Tanya Coolhaas sambil menunjuk Zag Terigu yang ditenteng Si Fulan”.
“Mahimo suruh saya bawa ini ke rumah tuan”.....
Coolhaas benar-benar bingung wal heran. Benar-benar tak masuk di akal. Bagaimana mungkin seseorang yang diputuskan bersalah, menyerobot batas kebun, mengambil hasil kebun orang lain, di suruh pergi sendiri ke kantor polisi untuk menjalani hukaman?
Bagaimana bisa seorang terhukum, pelaku kejahatan, diminta membawa uang pajak, hampir setengah Zak Terigu, sendirian, melewati perkampungan lengang, melalui jalananan pesir yang lebih lengang lagi.
Bagaimana seorang sepolos dan selugu Si Fulan mampu melakukan penyerobotan, mengambil hak orang secara melawan hukum, melakukan kejahatan? 
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Coolhaas seperti arus dan riak ombak membantun bibir tanjung Seli-Tongowai.
“Ayo, naik. Kita sama-sama ke Soasio,” Coolhaas mempersilahkan Si Fulan naik ke boncengan
“Tara usa tuan, saya bajalang saja. So dekat”.
“Ayo naik!”. Coolhaas berkata tegas, setengah memerintah.
Si Fulan naik ke boncengan. Coolhaas mengayuh sepeda pelan menajaki jalan di ujung Kampung Seli.
Kini lebih banyak lagi pertanyaan di benaknya, peristiwa di Mareku, lalu Si Fulan. 
Tanpa terasa sepedanya memasuki tanjung Soasio, melalui kelokan jalan persis di bawah Benteng Tehulla. Kurang 500 meter lagi ia tiba di rumah yang ditempatinya, di Soajawa. Senyumnya melebar.
Sepedanya dikayuh lebih kencang, melewati rumahnya, melewati Soa Jawa. Si Fulan heran, mengapa si ambtenaar ini tak langsung saja ke rumah tetapi mengayuh sepeda sejauh ini. Si Fulan memendam rasa herannya.
“Kring-kring, kring-kring’.. Coolhaas sengaja membunyikan bel sepedanya begitu masuk ke pekarangan Kantor Polisi. Dua polisi di pos jaga mendongakkan kepala, berpaling ke arah bunyi bel. 
Coolhaas memarkir sepedanya cepat dan bersama si Fulan menghampiri ke pos jaga.
Coolhaas dan kedua petugas bercakap dalam bahasa Belanda. Sesekali Coolhas menunjuk ke Si Fulan, ke Zak Terigu yang masih di tangan Si Fulan. Petugas mengeluarkan kertas, semacam blanko atau apa. Coolhaas mengambil felpen dari kantong biskapnya, tampak menulis di blanko itu, menekennya. Itu saja. Lalu ia berbalik, memberi isyarat kepada Si Fulan.
Sepeda dikayuh cepat meninggalkan kantor polisi. Sudah sangat sore. Tak ada percakapan sepanjang jarak dari Goto-Tuguwaji ke Soasio. 
Di hati Coolhaas mungkin masih berkecamuk pertanyaan atau keheranan. Atau barangkali sebuah simpulan: Ini kan menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir selama masa tugasnya di Tidore, mungkin sepanjang usianya, bahkan mungkin sepanjang zaman. Kemungkinan besarnya cerita seperti ini tak akan pernah terjadi kapanpun dan dimanapun juga.
Sepeda berhenti persis di persimpangan yang memotong jalan dari Masjid Sultan ke arah Soa Jawa, dan dari Doro Kolano ke arah Kadato Kesultanan. Tempat tinggalnya memang tak jauh dari situ.
“Kamu pulanglah. Bawa ini dan kasih ke Mahimo”. 
Coolhaas menyodorkan secarik kertas kepada Si Fulan. Si Fulan yang lugu dan tentu saja kebingungan menerimanya. 
Coolhaas memberi isyarat, segeralah pulang. Sebentar lagi malam. Si Fulan berbalik dan melangkah pulang menyusuri ujung senja yang mulai temaram.
Kini, Coolhas berhenti di ujung tangga depan pintu rumah yang ditempatinya. Dia masih tetap di atas sepedanya. Pandangannya sejenak tak geming ke arah Si Fulan melangkah pulang. 
Langit senja di atas Benteng Tehulla, jingganya telah memudar menjadi merah-hitam. Pandangannya mengitari ujung utara Kampung Soasio. Menyapu seluruh sisinya, seolah hendak menyalin sebanyak mungkin detilnya ke dalam ingatannya; Sigi Kolano, pantai dengan Doro Kolano membujur, rumah-rumah penduduk, orang-orang lalau lalang dan saling menyapa dengan ramah, saling mengangkat Suba.
Jika nanti dia selesai bertugas dan meninggalkan pulau ini, dua cerita ini akan menjadi bagian utama dari catatan dan cerita indah yang akan dibawanya pulang. Sebagaiannya akan ditulis atau diceritakannya dan sebagain lainnya barangkali hanya mampu dihayatinya diam-diam.

***
Lebih 80 tahun berlalu, saya menemukan kedua cerita itu dalam sebuah buku tua yang tipis, "Bestuuren Overzee Herinneringen van Oud - Amdtenaaren Bij Het Binenlands Bestuur In Nederlandch Indie” (Franeker, oleh T. Wever BV, 1977),  
 WP.H. Coolhaas benar-benar menulisnya sebagai cerita penting dan bernilai, yang ditempatkannya berdampingan dengan pengalamannya menjalankan tugas sebagai inspektur pajak, pengamatannya terhadap sejarah, budaya dan lain sebagainya.
Cerita asli Coolhaas sebenarnya ringkas. Sangat ringkas malah.  Saya — dengan agak berani dan barangkali juga lancang — coba mereka-tafsirkannya lalu membangun cerita ini secara dialogis. Sebab bagaimanapun, kedua cerita ini seperti jalan kecil memasuki keluhuran dan kearifan Tidore yang besar.


Sofyan Daud. Oktober 2014

Selasa, 21 Februari 2017

Tafsir Kebudayaan Tidore






Sultan Tidore ke-37, yang mulia H. Husain Syah


Tulisan ini materi Orasi Kebudayaan dalam kegiatan “Ziarah Kebudayaan untuk  Menafsirkan Jatidiri Kebudayaan Tidore”, yang diselenggarakan oleh mahasiswa Tidore yang kuliah di Yogyakarta dan Makasar, 25 Agustus 2012, di Pendopo Budaya, Tidore.
 
Sebagai prawacana saya mengutip kalimat Ignas Kleden,1 “Manusia tak bisa membebaskan diri dari sejarahnya, tetapi sejarah pun tidak dapat membebaskan diri dari manusia yang menggerakkannya” 

Sejarah dan kebudayaan manusia ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya saling memberi nilai.

Sejarah harum suatu bangsa selalu merupakan cerita dan catatan kebudayaan manusianya yang unggul. Kebudayaan yang unggul itu bila terdokumentasikan secara baik akan menjadi sejarah tentang warisan nilai-nilai berharga yang dapat dipelajari dari generasi ke generasi. 

Bila sejarah diumpamakan dengan kanvas, manusialah yang mesti merumuskan ide kreatifnya, menyiapkan bahan dan alat, membuat sketsa, mewarnai untuk menjadikannya bermakna dan bernilai. Dengan begitu, manusia itu tidak saja telah meciptakan karya kebudayaan tetapi sekaligus juga turut menggerakkan sejarah. Sebaliknya bila kanvasnya dibiarkan teronggok kosong, dia bukan saja tidak mampu menggerakkan sejarah, tetapi dia pun tak bisa melepaskan diri dari kanvas kosong itu sebagai sejarah kediriannya, pibadi yang apatis, kering dari kreativitas, kurang peduli dan bahkan bisa jadi sia-sia. Apalagi bila dia secara tidak bijaksana merusak kanvas itu, maka secara tak pelak dia pantas disebut sebagai manusia yang “ahistoris”.

Sejarah dan kebudayaan Tidore bukanlah sebuah kanvas kosong, melainkan telah menjadi karya indah dan menawan yang diwariskan oleh para pendahulu kepada generasi hari ini.

Tugas generasi hari ini ialah merawatnya agar tak menjadi terabai dan rusak. Jikapun di dalam warisan itu terdapat kekurangan, generasi hari ini memiliki tanggung jawab melengkapi, menyempurnakan, mengubahsuaikan dengan konteks zaman agar menjadi lebih indah, harmoni, dan adaptif, atau bahkan mampu mentransformasikannya agar dapat menjadi inspirasi memecahkan masalah kekinian, sekaligus menjadi warisan yang lebih baik bagi generasi Tidore masa mendatang. Seperti nasihat Jery Del Tufo, yang dikutip Weisman (2009:46),2 “Tugas kita adalah menyerahkan warisan ini kepada generasi mendatang dalam keadaan lebih baik dari sewaktu kita menerimanya”.

Dalam konteks itu, baiknya kita menghindari kekeliruan memandang dan memperlakukan sejarah, kebudayaan, adat dan tradisi Tidore sebagai suatu yang eksklusif, yang hanya tersimpan dalam ingatan segelintir manusia Tidore yang lantas diwariskan sebagai wasiat atau warisan. Dituturkan sebagai cerita pengantar tidur anak cucu dalam satu garis keturunan yang sama, sehingga akhirnya membuatnya sulit diakses oleh khalayak luas. Atau nilai, esensi dan otentitasnya menjadi terdistorsi sehingga kadang bahkan menimbulkan beda paham, dan polemik tanpa dasar atau penuh dimensi mistis, jauh dari logis dan kintruktif, bahkan seringkali pula dicemari oleh beda tafsir, klaim subyektif, saling menafikkan, atau “topo dada” seolah tong yang batul, tong yang lebe pantas, lebe tahu, dan seterusnya.

Mendesak bagi kita, generasi Tidore sekarang ini untuk meninggalkan kebiasaan “topo dada” (tepuk dada), dan segera menggantinya dengan “paka testa” (tepuk jidat), artinya sungguh menginsyafi bahwasa pada masa lalu kita pernah besar, pernah berjaya, atau sekurang-kurangnya pernah menjadi komunitas suatu negara bangsa dengan tatanan masyarakat yang telah mencapai kesadaran spiritualitas-relijius, kosmologis dan humanitas tertentu, yang dapat disebut maju. Lalu bagaimana realitas hari ini?

Bagaimanapun, sejarah kebudayaan bangsa-bangsa dunia yang disebut unggul dan mampu menegaskan keberadaannya sebagai bangsa berperadaban maju, sesungguhnya adalah bangsa-bangsa yang berhasil mengolah dimensi spiritualitas-relijiusitasnya, kosmologitas dan humanitasnya secara seimbang dan harmoni.

Dari sinilah pangkal gagasan dan pengetahuan yang melahirkan apa yang disebut oleh Kuntjaraningrat (2002:5)3 sebagi “Elemen kebudayaan”, yang setidaknya meliputi: (1). kompleks idea-idea, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dsb. (2). kompleks aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat. (3). benda-benda hasil karya manusia; Oleh Tan Ta Sen (2010),4 mencakup sendi-sendi sopan santun, busana, bahasa, seni, ritual, norma-norma tingkah laku, agama, pangan, ideologi, pandangan dunia, filosofi kehidupan, mengolah dan memproduksi benda-benda. Yang merupakan rangkaian dinamika kehidupan yang meliputi varian kompleks dan spektrum yang luas dan dialektis melalui rentang proses yang diistilahkan oleh Giddens (1993)5 sebagai “nilai-nilai terberi”.

Hemat saya, sampai konteks dan tataran tertentu Tidore yang pernah menjadi kerajaan atau kesultanan yang berdaulat dan secara formal eksis dari 1108 sampai 1945, telah mencapai atau setidaknya melalui proses tersebut. Dari proses itu, kita kini semestinya dapat menelisik dan menafsirkan identitas kebudayaan Tidore, baik itu identitas yang bersifat nilai-nilai atau norma maupun identitas simbolik.

TAFSIR KEBUDAYAAN TIDORE; SUATU INTRODUKSI

Respek dan apresiasi patut kita berikan kepada pengagas kegiatan pada malam ini dengan tema yang menggugah; “Ziarah kebudayaan untuk menafsir jatidiri kebudayaan Tidore”.

Dalam pemahaman saya yang awam tentang kebudayaan, jatidiri atau identitas kebudayaan itu coba saya pahami sebagai “sukma kebudayaan”; seperangkat nilai transendental, profetik, humanis yang telah dipadatkan dan diformulasi sedemikian rupa sehingga menjadi operasional bagi struktur kesultanan dan bagi tatanan sosialnya.

Pada level makro, jatidiri kebudayaan Tidore terbingkai oleh kesadaran dimensi kosmis dan mikrokosmis; fisik dan metafisik yang harmoni. Salah satu perwujudannya ialah adanya konstruk Kepemimpinan “Kornono” (tidak kasat mata) dan Kepemimpinan “Sita-sita” (kasat mata, terang), dan keduanya memiliki struktur sampai ke tingkatan paling bawah.

Masuknya Islam ke Tidore membawa konsekuensi perubahan dari kerajaan menjadi kesultanan, Kolano menjadi Sultan. Islam yang mudah diterima oleh kalangan istana dan masyarakat Tidore tanpa konflik atau ketegangan, menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan prinsipil dalam konteks nilai-nilai dasariah yang dianut dan menjadi landasan di kalangan pemimpin dan masyarakat Tidore.

Nilai-nilai Islam hadir memperkuat kesadaran, keyakinan dari sistem nilai tradisional yang telah ada jauh sebelumnya. Jatidiri Kebudayaan Tidore kemudian berkembang menjadi kesadaran religiusitas, sipritulitas, dan kosmologitas keberagamaan yang filosofis. Suatu perjumpaan damai antara nilai dari sistem kepercayaan tradisional dengan nilai-nilai Islam.

Hal demikian mewujud dalam praktik-praktik keberislman yang khas. Pemahaman falsafi dan praktik tradisi tertentu disandingkan dalam ritual peribadatan, yang bukan berkaitan dengan prinsip tauhid dan rukun (Foqih Ubudiah). Parktik yang merupakan konstruk pemahaman tradisional yang dimaksudkan lebih memperkuat tauhid dan keimanan, memperkaya khasanah syiar Islam, memperkokoh ukhuwah dan muamalah dalam Islam (Fiqih Muamalah).

Keberislaman yang khas ini sampai-sampai memunculkan simpulan kalangan sejarahwan tertentu, bahwa, proses perjumpaan tersebut, bukanlah proses Islamisasi atas Tidore atau Ternate tetapi pada tataran tertentu justru terjadi sebaliknya, Tidoreisasi atau Ternatesasi atas Islam.

Konsepsi Islam yang menempatkan manusia sebagai “khalifah fil ardh”, menjadi pemahaman dasariah yang mewarnai tata laku manusia. Ungkapan “Suba jou” yang menjadi salam sapa atau penghormatan antarindividu dalam masyarakat, adalah manifestasi dari kesadaran menghormati “Allah dalam diri manusia”; khalifah Allah yang mengemban misi memakmurkan alam semesta atau bumi.

Kesadaran ini memebentuk karakter manusia Tidore masa lalu yang saling menghormati satu sama lain, sekaligus berarti menghormati manusia dan kemanusiaan itu sendiri, sebagai khalifah yang sama-sama mengemban tugas memakmurkan bumi, sehingga adab hubungan antar manusia, manusia dengan alam dan seisinya senantiasa dijaga agar harmoni.

Dengan demikian, keberadaban barangkali kata singkat yang relatif tepat menggambarkan jatidiri kebudayaan Tidore.

Penggambaran jatidiri orang Tidore dapat kita lihat misalnya pada keteladan Sultan Al-Mansyur. Bangsa Spanyol dalam catatannya mengungkapkan, ketika kapal Spanyol, Victoria dan Trinidad pertama kalinya mendarat di Rum, di bawah pimpinan Sebastian de Elcano. Di atas kapal itu terdapat sejumlah ekor babi. Mengetahuinya Al-Mansyur meminta Elcano memusnahkan seluruh babi karena hewan itu haram bagi Tidore yang muslim. Al-Mansyur menggantikannya dengan kambing dalam jumlah yang sama. 

Demikian juga Kaicil Rade yang kebijaksanaan dan kecerdasannya di akui oleh Antonio Galvao, Gubernur Portugis di Ternate yang juga karena kebijaksanaan sampai-sampai disebut Galvao yang baik. Teristimewa kebijaksanaan Sultan Nuku dalam peristiwa monumental revolusi damai Tidore, 12 April 1797.

Dan, jatidiri kebudayaan Tidore yang paling komplit sekaligus paling konkrit dapat dilihat pada kebijaksanaan Sultan Saifuddin (1657-1674) yang pada 1663 bersama para bobato kesultanan menetapkan: Azas Pemerintahan; Azas Hubungan Sosial; dan Azas Perekonomian. 

Rosyidi (2009),6 menguraikan: Azas Pemerintahan meliputi: (1). Jaga loa se banari (azas bertindak jujur dan adil). (2). Kie se kolano (azas kebersatuan pemimpin dan rakyat). (3). Adat se Nakodi (azas kemanusiaan yang beradab). (4). Atur se aturan (azas pelimpahan wewenang). (5). Fara se Filang (azas pembagian hasil yang diserahkan kepada pemerintahan Nyili). (6). Syah se Fakat (azas musyawarah mufakat); Azas Hubungan Sosial, meliputi: (1). Oli se nyemo-nyemo budi se bahasa (tatakrama dan kesopanan dalam bertutur kata). (2). Suba se paksaan (tatakrama bertingkah laku). (3). Ngaku se Rasai (Menjaga amanah dan kepecayaan). (4). Cing se cingari (Kebersahajaan dan kerendah-hatian). (5). Mae se kolofinoto tede suba te Jou Madubo (Rasa malu dan takut kepada Allah SWT); Sementara Azaz Perekonomian meliputi: (1). Satu ikat gaba-gaba (pelepah daun sagu): adalah 20 buah. (2). Satu ikat daun sagu (daun rumbia) adalah 30 bengkauan/lembar. (3). Satu meter2 kayu balok dengan panjang 3 meter adalah 33 potong.... dan seterusnya mengatur sampai pada jumlah dan takaran kebutuhan pangan dan papan lainnya.

Yang dicanangkan oleh Sultan Syaifuddin pada 1663, adalah sebuah terobosan besar dalam konteks tatakelola pemerintahan yang baik. Beliau telah sangat cerdas dan bijaksana merumuskan azas-azas pemerintahan dan azas hubungan sosial yang sangat maju dan modern bukan saja pada zaman itu melainkan relevan hingga sekarang.  

Dalam sebuah artikel di salah satu media Maluku Utara saya menyebut terobosan Sultan Syaifuddin ini sebagai “Bobato Governance", sebagai penegasan bahwa konsep Good Governance yang kita dewa-dewakan itu sebenarnya tema yang relatif usang di hadapan konsep yang dicetuskan oleh Sultan Sayifudin pada 1663. Artinya leluhur Tidore secara relatif lebih maju atau telah mempelopori gagasan ini, lebih dari 100 tahun, mendahului diskursus tentangnya di Eropa dan atau di belajan duni Barat pada umumnya.

Perkembangan kebudayaan Tidore yang sarat dengan prinsip dan nilai Islam, yang dapat disebut sebagai salah satu wujud jatidiri kebudayaan Tidore dapat dijumpai dalam Bobeto (sumpah adat) penobatan sultan:

Bismillahirrahmanirrahim
Ngofa ngona, ngofa laha-laha, ngofa jang-jang no tabili rahasia. No jau amanat, no jaga sareat se hakekat ... Jou no pantas turine toma tarpesa kolano, no koko toma Tarabul Muluk toma Kie Tidore matubu, no jau Kie se Kolano.
Soninga, soninga, soninga, jaga loa se banari. Sala ge no waje sala, banari ge no waje banari. Bolito si no lelo no isa toma banga, banga yo hou, haiwan toma banga ma ngam. No hu toma ngolo, ngolo yo hotu haiwan toma ngolo ma ngam.
Ngona sehat umur se salamat dunia sogado akherat, ngona ni ngofa se bala rakyat yo sehat sejahtera.
 
(Engkau putra terbaik, berakhlaq baik, engkau dapat menjaga rahasia. Kau pikul amanat, menjaga syariat dan hakikat.... Engkau pantas duduk di singgasana Sultan/Raja, tegak di atas kepemimpin di puncak Tidore, menggenggam wilayah dan kepemimpinannya.
Ingat, ingat, ingat, jagalah keadilan dan kebernaran. Yang salah katakan salah, yang benar katakan benar. Jika  engkau melenceng dari itu, engkau pergi ke hutan, hutan akan terbakar dan engkau menjadi santapan binatang buas. Engkau pergi ke laut, laut akan kering engkau menjadi santapan ikan besar.
Engkau sehat sepanjang usia dan selamat di dunia hingga akhirat, anak keturunanmu dan bala rakyat senantiasa sehat dan sejahtera).

Kesultanan Tidore pun memiliki Peraturan Kie se Kolano 1868 Miladiyah. “Kedudukannya dapat disamakan dengan undang-undang dasar atau konstitusi di negara-negara modern”.7 Peraturan Kie se Kolano ini adalah Suatu konstitusi negara modern yang lebih tua 13 tahun dari konstitusi Turki Utsmani. Suatu pencapaian penting tidak saja di bidang hukum tata negara tetapi juga merupakan pengejawantahan perlindungan hak azasi masyarakat dalam arti luas.

Salah satu sumber sejarah kebudayaan Tidore dan Moloku Kie Raha pada umumnya – sebagaimana umumnya sejarah lokal dan kebudayaan desa-desa di Indonesia – dapat juga ditelisik melalui Folklore yang masih banyak dijumpai dalam keseharian masyarakat:

Terdapat Folklore lisan, meliputi: Folk Speech (logat/dialek, julukan, gelar, bahasa rahasia, isyarat, dst);  ungkapan tradisional (Dolabololo, pepatah dan sejenisnya); pertanyaan tradisional (Ciguri-ciguri, Sum-Sum dan sejenisnya); Puisi-puisi rakyat (Syair, Pameo, Bidal, dan sejenisnya); Folk Proses Narrative (Mite, Legenda dan Dongeng); dan nyanyian rakyat. Ada pula Folklore sebagian lisan, meliputi: kepercayaan dan tahayul, teater rakyat, tarian rakyat, permainan dan hiburan, upacara-upacara adat, upacara-upacara keagamaan; Folklore bukan lisan (yang materil dan bukan materil). Yang materil meliputi: arsitektur rakyat; hasil kerajinan tangan; obat-obatan tradisional; pakain adat serta perhiasan-perhiasan lainnya; makan-makanan adat/khas; peralatan dan senjata. Sementara yang bukan materil meliputi: gesture atau bahasa isyarat, dan musik.

Selain itu terdapat pula sastra lisan seperti Tamsil, Dowaro atau Sililoa, dan Rorasa, juga sejumlah jenis sastra lisan lainnya, yakni; Dalil Tifa, Dalil Moro, Dolabololo, Kabata, Moro-moro, dan Saluma.

Hampir keseluruhan bentuk sastra lisan Tidore dan Moloku Kie Raha umumnya, mengikuti pola pantun, dimana terdapat sampiran dan isi serta bentuknya yang singkat dan lengkap. Isinya merupakan kisah atau perbandingan kehidupan manusia yang diungkapkan melalui perlambangan dan metafora yang bersifat filosofis.

Selain folklore tersebut, terdapat beberapa tradisi yang masih hidup di tengah masyarakat, yaitu: Tradisi Koro/Gogoro (perkawinan, sunatan, cukur rambut, dina kematian, hajat tertentu lainnya); Tradisi Bari, Mayae, Marong (sejenis gotong royong dan bhakti sosial), dan Jojobo (urunan/arisan).

Tantangan bagi kita kini, sebagai pewaris nilai kerafian Tidore, berikut sejarah besar masa lalu, problematika hari ini kemudian tantangan masa depan ialah, upaya merekontruksi cita-cita dan idealisme 1963 di atas.

Baiknya kita perlu pula menyadari bahwa: Pertama, Tidore masa lalu adalah kebijaksanaan, kekuatan dan kebersamaan yang mampu menjaga kehormatan dan kejayaannya meskipun harus berhadapan dengan kolonialisasi, westernisasi dan segenap misi sekularisasinya yang intens dan juga keras-intimidarif. Sementara Tidore hari ini, di tengah begitu banyak potensi sumber daya manusianya, tampak belum baik membina kebersamaan seutuhnya sehingga tertatih-tatih meretas persoalan-persoalan membangun masa depannya; Kedua, Tidore masa lalu adalah salah satu episentrum dalam percaturan global, tetapi Tidore hari ini demikian terpinggirkan hanya dalam persaingan antar daerah di Indonesia, bahkan dengan beberapa daerah di Maluku Utara barangkali. Kedua, fenomena yang kontradiktif itu tegas menunjukkan betapa kita kini semakin menjauh dari “kebaikan-kebaikan masa lalu” yang merupakan keunggulan lokal (local genius), yang merupakan jati diri kebudayaan kita.

BERSATU MEMBINA OPTIMISME

Beberapa sumber sejarah menyebutkan, Tidore sebagai salah satu pulau yang menjadi sumber ekslusif Cengkeh yang mahal harganya, sehingga pulau ini telah dikenal dan menjadi bagian dari rantai perdagangan dunia.

Gavin Mendiez (2007) menulis, Tidore dan Ternate adalah pusat rempah-rempah dan pulau yang produktif, menjadi legenda dan telah dicari berabad-abad karena rempah-rempah dapat diperoleh di kedua pulau ini dalam jumlah sangat besar.8

Tan Ta Sen (2010) mengidentifikasi terdapat tiga jalur perdagangan kuno paling utama yang menjembatani Timur dengan Barat. Pertama, Jalur Sutra yang membentang dari Chang-an di Cina sampai Konstatinopel di Turki yang berlangsung sejak abad ke-2 SM. Kedua, Jalur Keramik di era Dinasti Tang dan Dinasti Song (618-1279) dari Guangzhou dan Quanzhou melewati Kepulauan Melayu dan berakhir di Teluk Persia. Ketiga Jalur Rempah-rempah sebagai arteri ketiga terpenting yang menghubungkan perdagangan dan komunikasi Timur-Barat selama lebih satu milenium. Jalur ini melintasi Samudera India dan saling terhubung dengan Jalur Keramik. Merentang 7.500 mil melintasi Timur Tengah, mengelilingi India, melewati selat Malaka ke Cina hingga kepulaun rempah-rempah di Indonesia. Jalur ini telah tumbuh sejak abad ke-2 SM, seusia dengan Jalur Sutera, yang menghubungkan beberapa bandar laut terkenal yang dikelola penduduk pribumi Melayu, pedagang Arab, India dan Cina. Jalur ini telah tumbuh sejak abad ke-2 SM, seusia dengan Jalur Sutera.

Pada abad ke-8 sampai ke-10, sebagian besar perdagangan rempah dikuasi pedagang Muslim atau saudagar-saudagar dari Gujarat, dan rempah-rempah yang sangat dikenal Eropa pada masa itu adalah Kayu manis, Pala, Cengkeh dan Lada. Kayu manis asli berasal dari Ceylon, Cina dan Burma, Pala dari Kepulauan Banda, dan “Cengkeh hanya dapat ditemukan di dua pulau: Ternate dan Tidore di Maluku”.9

Sejak kurun itu, Tidore (dan Ternate) menjadi kawasan terbuka dan merupakan bagian dari bandar Jalur Rempah (Spice Road) yang bersilangan dan bertautan dengan Jalur Sutra (silk road)10 yang ramai dikunjungi pedagang dari pelbagai bangsa. Bersamaan itu mulai terjadi pula kontak budaya antarbangsa yang menadai fase awal Archaik Globalization  atau Globalisasi Purba. (Yudi Latif, 2011).11 

Di rentang jalur niaga dan persilangan budaya itu, Tidore dan Moloku Kie Raha pada umumnya, mula-mula berinteraksi dengan bangsa Cina, Arab, Gujarat India, Melayu, Jawa dan Makassar. Namun demikian kontak budaya dengan bangsa Arab-Islam berhasil mencapai akulturasi dan asimilasi yang cepat dan berpengaruh luas.

Singkatnya, sejarah Tidore tentu lebih panjang dari harijadinya yang ke-904 pada 12 April 2012 ini. Sejarah Tidore bahkan sejak Sebelum Masehi telah digerakkan oleh manusia-manusia yang terbiasa berinteraksi dalam lingkungan pergaulan global, bukan manusia-manusia picik, pencuriga, suka memecah-belah, suka sikut-menyikut, menindas atau saling menafikkan, mengidap mental megalomania tetapi sebenarnya minder.

Kita bisa membayangkan pada saat itu, bagaimana para leluhur kita berinteraksi dan berkomunikasi dengan pedagang mancanegara dan Melayu-Nusantara? Bagaimana mereka merumuskan kerjasama yang saling menguntungkan? 

Mereka tentu memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk melakukan itu. Kapasitas dan kepercayaan diri itu kian terbukti pada saat masuknya orang-orang Eropa; Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris, yang tidak mudah mengkooptasi apalagi mensubordinatkan Kesultanan Tidore. Bandingkan dengan yang terjadi di Benua Amerika dan lain-lain. Kondisi tragis demikian tidak pernah terjadi di Tidore dan Moloku Kie Raha pada umumnya.

Memahaminya, kita kini memang tidak bisa mengelak, tengah mengalami suatu kondisi involusi budaya yang memiriskan. Mengalami apa yang disebutkan oleh Fritjoff Capra sebagai “titik balik”, bahwa “setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehilangan tenaga budayanya lalu runtuh”.  Dan, keruntuhan budaya itu kata Toynbee, disebabkan oleh hilangnya elemen fleksbilitas kebudayaan, saat struktur sosial dan pola perilaku menjadi kaku maka masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah. Peradabannya tidak mampu melanjutnya proses kreatif evolusi budayanya dan akan hancur.

Tetapi jika kita mau belajar dan kembali menerapkan sikap istiqomah dan tawaduh terhadap jatidiri kebudayaan sebagaimana telah dicontohi pemimpin leluhur kita di masa lalu, kita pantas optimis untuk dapat bangkit, setidaknya lebih mudah dan lebih pasti meretas jalan ke depan untuk perbaikan, kebangkitan dan kesejahteraan.

Kaitan itu, diskursus tentang revitalisasi, dan transformasi kebudayaan Tidore menjadi amat penting dan senatiasa relevan. Tantangannya ialah bagaimana kemauan kita yang sungguh-sungguh untuk membina gagasan kolektif yang dimulai dari kesediaan setiap orang menyadari pentingnya membangun ruang-ruang sosial di sekitarnya agar kondusif mewadahi gagasan dan kerja-kerja kebudayaan, yang bertujuan mendinamisasi ide dan gagasan transformatif, pembinaan kreatifitas dan daya cipta, serta reproduksi nilai. Seperti kata Basri Amin, “Setiap orang secara potensial adalah pencipta kebudayaan, dan dengan budaya itulah manusia bukan hanya bisa bertahan (survival) tapi ia sekaligus bisa bangkit kembali (revival)”.12

IKHTIAR MASA DEPAN

Dalam bukunya “Konsekuensi-konsekuensi Modernitas” Anthony Giddens menulis, “Masa lalu ataupun masa depan bukan merupakan fenomena yang saling berbeda... Masa lalu menyatu dengan praktik-praktik di masa kini, seperti cakrawala masa depan yang melengkung balik dan bersinggungan dengan yang sebelumnya telah berlalu”.13 Kalimat ini memiliki benang merah dengan kalimat Edmund Burke, bahwa Kehidupan adalah sebuah kontrak, bukan hanya dengan mereka yang masih hidup, tetapi juga yang sudah mati dan mereka yang akan lahir”.14

Baik Burke ataupun Giddens menuntun kita untuk segera berpikir dan bertindak memperbaiki dan mengubah saat ini juga, dengan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dan pengetahuan yang mengarahkan tindakan hari ini untuk membangun masa depan sebagai harapan, dan jika mungkin sebagai cita-cita luhur.

Pemikiran Burke dan Giddens relevan dengan Ziauddin Sardar (2005). Sardar menulis, “Semua karya reformis (perubahan dan perbaikan), harus dimulai dengan mengakui, melihat dan memahami dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Hanya ketika kita menghargai dimensi sejati dari realitas kontemporer itu, kita bisa memikirkan reformasi (perubahan dan perbaikan) yang akan menciptakan dunia yang kita inginkan”.15

Kita membutuhkan gerakan kebudayaan simultan dengan agenda-agenda yang fokus dan terarah, dan gerakan dimaksud sebaiknya tidak dilakukan dengan pendekatan struktural, karena pendekatan struktural sejauh ini kurang efektif. Oleh karenanya gerakan kebudayaan berbasis pertisipasi masyarakat perlu digalakkan dan pemerintah daerah cukup memposisikan diri sebagai regulator, promotor dan fasilitatornya. 

Kita juga tak kekurangan referensi apapun. Tradisi dan kearifan agung yang ditinggal oleh leluhur kita sangat banyak dan mumpuni. Itulah rujukan dan referensi agung kita.
 
Yudi Latif, dalam suatu tulisannya mengingatkan pula, sebagian dari kegagalan kita menjawab permasalah hari ini, adalah karena ketidakmampuan kita menghargai kebaikan dari masa lalu. 

Selaras dengan yang dingatkan Sztompka16, tradisi adalah “cetak biru”, formula atau mode, umpama blok-blok bangunan yang telah disediakan leluhur supaya kita dengan mudah dapat mengikuti, mengisi dan membangunnya menjadi bangunan kebudayaan yang lebih kokoh dan indah.

Hemat saya, beberapa agenda mendesak yang perlu segera dilakukan meliputi:
  1. Pemantapan kurikulum muatan lokal tentang jatidiri budaya dan kearifan lokal dengan sistem pembelajaran yang representatif. 
  2. Merevitalisasi kampung atau desa yang masih memiliki ciri tradisional yang kuat serta kampung-kampung dengan potensi kreatifitas dan produk tradisonal-khas, misalnya Ngosi dengan kondisi alaminya, Mare dengan kerajinan gerabahnya, Toloa dengan kerajinan pandai besinya, Jaya dengan sagunya, Kalaodi dan Fobaharu dengan anyamannya, dan kampung khas lainnya, kemudian menetapkannya sebagai kawasan konservasi sesuai ciri khasnya masing-masing. 
  3. Merevitalisasi fungsi dan peran kelembagaan informal dan formal daerah di semua tingkatannya agar dapat diandalkan menjaga, merawat, dan menjadi peneladanan bagi nilai-nilai dimaksud.  
  4. Mendorong penelitian, penulisan dan pendokumentasian produk budaya dan tradisi Tidore otentik untuk tujuan reotentikasi dan pemurnian pemahaman adat-tradisi dan sejarah yang pada saat ini cenderung versi-versian, dan secara relatif juga diwarnai saling-silang klaim.
Mengakhiri orasi ini saya meminjam tesis Edmun Burke, “kehidupan adalah kontrak antara kita dengan mereka yang sudah mati (masa lalu), yang masih hidup (masa kini) dan yang akan lahir (masa depan). 

Kita tentu tak ingin menjadi generasi yang dua kali berkhianat; kepada leluhur Tidore di masa lalu dan generasi Tidore di masa depan, karenanya kita akan berusaha membawa Tidore “Kembali ke masa depannya”.



___________
Catatan Kaki:


  1. Ignas Kleden, “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Esai-Esai Sastra dan Budaya”, (2004:354) dikutip oleh Basri Amin dalam Gufran Ali Ibrahim, hlm. xiii.
  2. Alan Weisman, “Dunia Tanpa Manusia”, Terj. The World Without Us, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 46.
  3. Koentjaraningrat, “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan”, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 5.
  4. Tan Ta Sen, “Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara”, (Jakarta, Penerbit Buku KOMPAS, 2010), hlm. 7-8.
  5. Anthony Giddens, “New Rules of Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative Sociologies”, (Stanford, Standford Univercity Press, 1993), hlm. 31. 
  6. Irham Rosyidi, “Sejarah Hukum Eksplorasi Nilai, Azas, dan Konsep dalam Dinamika Ketatanegraan Kesultanan Tidore”, (Universitas Negeri Malang, 2009), hlm. 119, 121-122. 
  7. Rosyidi, op.cit, hlm. 45
  8. Gavin Menzies, 1421 Saat Cina Menemukan Dunia, Ed Terjemahan Cetakan ke-3, (Jakarta,  Pustaka Alvabet, 2007), hlm. 175. 
  9. Tan Ta Sen, op.cit, hlm. 216-217; 
  10. R.Z. Leirissa, “Jalur Sutra: Integrasi Laut dan Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra”, (Artikel, Jurnal Studi Indonesia, Pusat Studi Indonesia Universitas Terbuka, Jakarta, 1998 ),  hlm. 92-99. 
  11. Yudi Latif, “Negara Paripurna, Rasionalitas dan Historitas Pancasila”, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 132   
  12. Basri Amin, dalam  Gufran Ali Ibrahim, “Metamorfosa Sosial dan Kepunahan Bahasa”, (Ternate, Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, 2009),  hlm. xii. 
  13. Anthony Giddens, “Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas”, (Sidoarjo, Kreasi Wacana, 2004), hlm. 138
  14. Edmund Burke; seorang negarawan Irlandia, penulis, ahli pidato (orator), teoritikus politik dan filsafat. Ia dipuji oleh kalangan konservatif dan kalangan liberal pada abad ke-19 dan abad ke-20 dan dikenal luas sebagai pelopor filosofis konservatif modern. 
  15. Ziauddin Sardar, “Kembali ke Masa Depan”, (Jakarta, Serambi, 2005), hlm. 117
  16. Piotr Sztompka, "Sosiologi Perubahan Sosial" (Jakarta, Prenada Media Group, 2007)