Minggu, 16 Februari 2020

Torang Pe Lagu Daerah



"Musik mengantar jiwa menghayati semesta, memberikan sayap pada pikiran, menerbangkan imajinasi, memberikan pesona dan keriangan pada kehidupan."

- Plato -

Lagu-lagu daerah Maluku Utara, seperti Borero, Balibunga, Naro Oti, Riorio, Una Kapita, Momina Jiko, dan segenerasi, adalah lagu-lagu, yang hemat saya, mewakili pemaknaan akan lagu dearah Maluku Utara, untuk dapat membedakannya dengan lagu pop standar berlirik bahasa daerah, apalagi berlirik bahasa Melayu khas daerah (kita, ngana, torang, dorang, ngoni).

Lagu daerah kita pada era 1990 dan sebelumnya, sebagian besarnya sangat baik dari sisi kebahasaan dalam liriknya. Juga tema lokalitasnya dan muatan pesannya yang kuat.

Notasinya relatif bernuansa syair-syair klasik anonim (no name - NN). Aransemennya secara relatif mentransformasikan pola irama alat musik tradisional terutama tifa, dan beberapa lainnya.

Lagu-lagu daerah Maluku Utara era 2000an hingga sekarang, seiring kemajuan teknologi perekaman, ketersediaan fasilitas dan peralatan dengan akses yang mudah dan murah, memang lebih banyak diproduksi, baik secara profesional maupun secara idependen. Produksinya pun menyebar di hampir semua kabupaten-kota, tetapi eksplorasi tema kelokalannya relatif berkurang atau terbatas dibandingkan dengan jumlahnya yang membludak. Pun relatif kurang memperhatikan aspek kebahasaan dalam liriknya.

Terdapat beberapa lagu yang bagus. Notasinya sedap didengar. Aransemennya relatif profesional. Sayangnya kebahasaannya seringkali kurang diperhatikan.

Menulis seperti ini bukannya saya tidak respek dan tidak aprsiatif terhadap kreativitas menciptaan lagu dan bermusik dari para penggubah, musisi dan kreator musik Maluku Utara yang memilih genre, tema dan arasemen berbeda dari yang saya tulis.

Saya mendukung segala kreativitas bidang musik dan kesenian umumnya. Teruslah berkreasi dan berkarya sesuai genre, minat dan selera masing-masing untuk pengayaan permusikan Maluku Utara. Berkaryalah sebanyak-banyaknya, segagah-gagahnya dan segaya-gayanya, tetapi sempurnakanlah kreativitas itu dengan kontribusi mengangkat kelokalan, mentrasformsikan nilai-nilai budaya dan tradisi, pelestarian bahasa daerah. Itu tentu lebih baik.

Mengapa? Musik dan lagu memiliki daya yang dapat memberi dampak pada manusia jauh lebih besar dari bebunyian lain.

Daya pengaruhnya setingkat candu, kata Valorie Salimpoor, seorang neurosains di McGill University, Montreal Kanada. Penelitiannya mengungkapkan, kesenangan intens yang didapatkan dari musik secara biologis memacu Dopamine, zat kimia di otak yang terkait erat dengan motivasi dan kecanduan. Sebagai perbandingan, Dopamine pada hewan mendorong hewan gegas mencari makanan sebelum waktu lapar, musik dapat merangsang otak melepaskan Dopamine untuk merespon rangsangan estetik.

Di sinilah pentingnya para musisi daerah diharapkan sudi menyempatkan diri untuk karya-karyanya yang dapat mendorong keingintahuan bahkan candu dalam mempelajari, mencintai, menghayati nilai-nila budaya dan tradisi daerah sebagai identitas. Setidaknya mempelajari, mencintai, menghayati bahasa dan khasanah musik tradisional daerah.

Dengan kekuatan dan daya musik sedemikian itu, proses enkulturasi, meminjam tesis Adamson Hoebel, di satu sisi akan memengaruhi pendengar dan penikmat di Maluku Utara secara sadar atau pun tidak sadar, perlahan, berangsur-angsur menginternalisasi nilai-nilai budaya daerah pada penguatan identitasnya, dan di lain sisi akan mendorong peningkatan pengetahuan, penghayatan para musisi terhadap hal yang sama.

Artinya, jika pendengar dan penikmat musik mendapatkan satu kali proses enkulturasi, maka para musisi mendapatkannya dua kali atau lebih.

Rerata kita punya pengalaman mendengarkan banyak lagu yang disukai, berkali-kali. Sebagian dari kita begitu saja baper oleh liriknya yang puitis atau alunan tonasi dan melodisnya yang lirih, mendayu, membuat sebagian dari kita larut dalam melankoli: "air mata pinggir-pinggir", atau sebaliknya liriknya yang gelora tonasi dan melodisnya yang menghentak-hentak bisa membuat sebagian kita tersugesti bersukacita, bersemangat bahkan meradang.

Kenapa begitu? Kenapa musik dan lagu punya kekuatan itu? Saya menduga, karena musik merupakan karya kebudayaan yang memadukan sekaligus sejumlah kapasitas dan elemen.

Dari sisi definisi dan teknis, ia perpaduan antara kemampuan bermusik (alat musik, nada/suara, irama); nyanyian (syair, lirik), hingga teknologi dan manajemen pemasaran/publikasi.

Dari sisi proses, ia lahir dari kemampuan memadukan pengetahuan, imajinasi, ketrampilan, kreativitas dan talenta, penjiwaan dan estetika. Dari segi konten dan muatan substantif, ia refleksi dari imajinasi, susana jiwa, nilai etika, dan estetika. Liriknya sastrawi dengan diksi terpilih sehingga sedap didengar, bergaya bahasa, dan pada sebagiannya mengandung rima yang baik.

Kaitan itu, tak berlebihan bila ada yang berpandangan, musik mewakili sebagian keadaan dari kebudayaan satu komunitas dalam suatu kurun waktu. [MSD]
 
Para penyanyi Maluku Utara era 1980an - 1990an
 Sofyan Daud, 21 Oktober 2019

#garasigenta

#LaguDaerahMU

#LirikLaguDaerahMU

Rabu, 12 Februari 2020

Prosa Raja Delo




 Prosa laut kampung nelayan Tomalou di Tidore, tentang Raja Delo - Raja Cakalang. Legenda yang mematri ingatan berlapis generasi kampung ini. Sekuat karang-karang terpatri di palung laut.

Legenda dan mitos, memang ruang manusia menyimpan nilai dalam ingatan kolektif tentang spirit, sensasi akan keunggulan, kesaktian dan semacamnya yang mengandung sugesti.





 Alkisah. Sore cerah. Tetabuhan tifa bersautan gema gong bertalu ritmis. Irisan rebab melengking serak, sedesir angin pantai.

Tomalou, kampung di pesisir tenggara Pulau Tidore, hari itu, warganya menghelat ritus Salai Jin. Tradisi menyapa sahabat mereka dari bangsa Jin. Salah satu tradisi tua.

Ramai warga berkumpul di rumah penghelat hajat. Antusias menyaksikan puluhan lelaki perempuan menari-nari dengan gestur mirip Cakalele.

Aroma kemenyan merambati udara. Puluhan tetua, lelaki pun perempuan mengenakan pakaian tradisional, pakaian adat, sesuai kedudukannya masing-masing.

Di atas selat antara pantai Tomalou dan Pulau Mare, sekoloni kecil Camar terbang. Melesat cepat ke arah pantai. Beberapa warga yang sempat melihat pemandangan tak biasa itu, mengamati formasi dan arah tebang koloni camar

"E…Namo dara ma dofu e. Duga ma soro re gati regu." (E…Camar begitu banyaknya. Tapi formasi terbangnya kali ini beda dari biasanya).

Tak pelak mereka menduga-duga, adakah isyarat yang dibawa koloni camar itu?

Camar-camar kini telah di atas pantai perkampungan. Terbang rendah, mengitari di atas tingkap rumah-rumah penduduk, sekitar lokasi perhelatan Salai Jin.

Seorang pemuda muncul tiba-tiba dari berbalik barisan pohonan besar dan rindang, yang berjejer di garis pantai. Pohonan Ngame dan beberapa jenis vegetasi khas pantai lainnya.

Perawakan pemuda itu tegap, gagah. Wajahnya tampan, berwibawa. Kehadirannya yang tiba-tiba, menarik perhatian.

"Nage?" (Siapa?).

Sontak terdengar bisikan di antara warga. Tak hanya dari segelintir gadis-gadis, tapi juga sebagian besar warga di lokasi itu.

Dengan tenangnya pemuda asing itu permisi, meminta jalan di antara kerumunan. Dia menuju ke dalam sabua (pendopo), tempat Salah Jin.

Gerak geriknya jadi pusat perhatian, jadi fokus pandangan. Setiap buangan langkahnya seakan menggiring tanya dan rasa penasaran warga. Siapakah dia?

Kini dia telah di dalam sabua. Berdiri sejenak. Mengitarkan pandangannya ke seisi sabua. Air mukanya ramah, simpatik. Dia lantas mendekati seorang penabuh tifa. Memberi isyarat, ingin mencobanya. Aura tanya dan rasa penasaran kepada pemuda itu, kini memenuhi sabua.

Una nage? (Dia siapa?) Wo kabe si ino? (Dia dari mana?) Ya.. wo gaga a! (Ya…dia tampan ya!) Oe, gaga. (Iya tampan.).

Saling bisik pertanyaan pun pernyataan menjalar secepat angin, meski teredam riuh tifa, gong dan rebab.

Jelang magrib. Tifa, gong dan rebab berhenti. Salah Jin jeda hingga nanti dilanjutkan selepas sholat isya.

Kerumunan bukannya merenggang. Warga malah lebih memadati sekitar sabua, hingga berjinjit-jinjit di sepanjang pagar pekarangan. Semuanya penasaran dengan pemuda itu. Juga penasaran, adakah pertanyaan, atau semacam interogasi barangkali, dari para tetua kampung kepada si pemuda?

Riuh suara seolah dengung ratusan tawon, saling menimpali dengan desau angin dan riuh ombak pantai.

Tabea, jou ne nage? (Maaf Anda ini siapa?)

Tetua kampung paling sepuh bertanya. Si pemuda memandangi tetua sepuh itu, seakan mempertimbangkan, dari mana ia mesti memulai penjelasannya.

Jou kabe ino? (Anda dari mana?)

Si pemuda, menoleh ke tetua kedua yang bertanya.

“Tabea jou ngon moi-moi, fangare Raja Delo". (Tabik hadirin semua, saya adalah Raja Cakalang).

Pemuda itu bicara. Untuk pertama kalinya dia buka suara. Suara yang seolah terdengar dari kedalaman samudera.

Para tetua saling berpandangan. Ada yang membelalak. Satu dua mengerenyitkan dahi. Raja Delo?

Tak mudah dipercaya memang. Seorang pemuda asing muncul tiba-tiba dan mengaku Raja Delo. Di antara hadirin ada yang cekikian. Lucu. Sinis.

Warga yang berkerumun di lingkar dalam sabua, juga tercengang. Sementara yang berkerubung di barisan terluar tak jelas apa yang dikatakan si pemuda.

Woe! Una waje mega ge? (Woe! Dia bilang apa tu?)

Mahawaro. Baso laha ua. (Entah. Kurang jelas)

Oe, bicara lamo ua si... (Iya bicaranya tidak keras jadi..)

Dialog setengah berbisik setengah bergumam.

Ee.. Una ge nage? (Ee.. Dia itu siapa?)

Suara perempuan paruh baya, melengking dari arah pagar pekarangan.

Waro yang re.. (Belum tahu ni).

Menjawab seorang perempuan di antara kerumunan di dekat Sabua.

Ceh!. yogo tora la fo baso ona waje mega. (Ceh! Diamlah, biar kita dengar apa yang mereka katakankan).

Berkata seeorang sepuh ketus, setengah berteriak. Suasana kembali tenang. Bedug terdengar lamat dari surau di tanjung Akedoe. Beberapa saat lagi sholat magrib.

Para tetua kampung beranjak. Kerumunan warga di sekitar pintu keluar merenggang, membuka jalan.

Satu per satu warga bergerak pulang. Seorang pria paruh baya, yang juga pemuka kampung, kini jadi sasaran pertanyaan warga yang penasaran. Dia dikerubungi seolah narasumber yang baru saja keluar dari pertemuan penting.

Raja Delo? Ceh, gou bolo? (Raja Cakalang? Ah, benar kah?

Tanya itu mengambang di udara. Cakrawala merah hitam. Angin diam, arus dan ombak rehat. Pelita-pelita mulai menyala di rumah-rumah warga.


Desain terbaik 1,2,3, dan 4 Maskot Raja Delo, Festival Kampung Nelayan Tomalou 2020


Pukul sembilan lewat. Malam alit berbulan pasi. Langit malam itu temaram. Tak terlampau cerah.

Tifa, gong dan rebab kembali terdengar. Kerumunan warga di tempat yang sama, sudah dari setengah jam lalu.

Di malam itu, pelita, dama atau obor lebih banyak disulut dari biasanya. Di beranda, di sabua, di pagar-pagar hingga tepi jalan, di sekitar lokasi hajatan.

Sebagian kerumunan tampak seperti siluet di antara cahaya pelita dan dama, juga sinar bulan temaram. Pemuda itu?

Mata-mata layap, mencari-cari si pemuda "Raja Delo" di antara kerumunan, rerapat pokok pohon pantai, tapi tak kelihatan.

Satu jam lewat. Malam terasa lebih mistis oleh aroma kemenyan, tabuhan tifa, gong dan rebab, yang entah deru atau syahdu.

Keciap camar terdengar di kejauhan. Beberapa warga yang tadi sore mengamati gerak koloni camar, kini saling berpandangan. Mereka mengenali isyarat itu. Masih ada ramai camar di malan hari. Itu janggal. Tak biasanya.

Keciap camar mendekat. Kini seolah di atas bubungan rumah, di atas sabua, di atas kepala warga yang berjubel.

Siluet sesosok pria tegap menerobos kerumunan dan redup cahaya, menuju ke dalam sabua.

Raja Delo? Hanya bisikan, tapi terdengar bagai kuur.

Persis seperti sore tadi, pemuda yang mengaku Raja Delo itu menggantikan seorang pemukul tifa. Sementara di atas Sabua, keciap camar terdengar riuh, seolah berdendang diiringi tabuhan tifa si Raja Delo.

Para tetua saling lirik. Ada yang saling memandang. Lelaki perempuan yang bersalai jin, menari seperti biasa. Tak terganggu dengan keadaan.

Lewat tengah malam Salai Jin berhenti. Saling bisik masih terdengar, seperti angin menggesek daunan nyiur dan pohonan rindang sepanjang pantai. Seperti desis ombak membilas pasir.

Si pemuda, Raja Delo memberi isyarat pamit. Dia melangkah di antara kerumunan, ke jalan, lalu ke arah barisan pohonan yang rapat. Ke dalam gelap.

Bulan sudah di balik Gunung Kie Matubu. Warga pun bubar, pulang ke rumahnya masing-masing. Entah seberapa penasaran mereka. Pelita dan dama di depan rumah, di tepi jalan telah dipadamkan.

Malam menggelincir akhir pertiga. Lengang. Warga kampung pulas karena kecapaian. Di antara rerapat pohon di tepi pantai, pemuda Raja Delo mondar-mondar gelisah. Dia mencari sesuatu. Miliknya yang tadi disimpannya di tempat yang dianggapnya aman. Di balik batang besar pohon Ngame.

Bintang pagi kedap-kedip di langit timur, di atas barisan Kie Kici (bukit kecil), di bahu puncak Kie Matubu. Sebentar lagi fajar. Dia mesti pulang sebelum fajar, tapi tak bisa. Benda penting miliknya belum dia temukan. Raib, entah kemana.

Gusar. Pemuda Raja Delo melangkah gegas, menuju ke rumah tempat perhelatan Salai Jin.

Tok…tok…tok. Tabea. Berkali-kali dia mengetuk bilah pintu dari gaba (pelepah Sagu). Seorang pria tua membuka pintu, pelita kecil di tangan kananya, dan wajahnya nongol dari balik pintu belah kebaya itu.

Nage ge? (Siapa itu?)

Tabea jo, fangare Raja Delo.

Raja Delo? Membatin si pria. Menggeser pelan daun pintu lebih lebar. Kini tubuhnya tampak. Ia telanjang dada, hanya mengenakan sarung yang mulai lusuh.

Gatibe ge? (Bagaimana itu).

Tabea jo. Bantu fangare kambu. Fangare ni ngarimoi ure se soka ka ta duga sema rewa. (Tabik. Tolong saya sedikit. Saya menaruh dan menyimpan sesuatu di sana, tapi sudah tak ada).

Si pemuda bermohon. Dia menceritakan tentang barang penting miliknya yang kini raib. Tanpa itu dia tak akan bisa kembali ke kerajaannya. Kerajaan laut yang entah.

Mendengarnya si pria tua itu mengerenyitkan dahi. Wajahnya tampak bingung dan sedikit lucu. Sisa kantuk, wajah tuanya yang keriputan dan rasa tak percaya membuat ekspresinya sangat lucu.

Kalo tege, lebe laha ngone ia te Mahimo na fola. (Kalau begitu, lebih baik kita ke rumah Kepala Kampung).

Pria tua meletakkan pelita ke atas meja di beranda kecil itu. Dia pamit sebentar ke dalam rumah dan segera keluar sembari mengenakan kemeja dan penutup kepala mirip tuala (semacam lenso untuk penutup kepala) atau besu yang ringkas. Meraih dama atau obor di sudut beranda, menyulutnya dari api nyala pelita di atas meja.

Kini, mereka melangkah gegas di atas jalanan berpasir, menuju ke rumah Mahimo di dekat surau, di tanjung Akedoe. Langit timur mulai agak terang. Sebentar lagi fajar menyingsing dan waktu subuh tiba.

***


Tabea Mahimo, pahala no bantu fangare. (Tabik Mahimo, engkau mesti menolong saya)

Berkata Raja Delo, bgitu bertemu dengan Mahimo. Dia seakan enggan menunggu lama,  
Bantu mega ge? (Apa yang mesti dibantu?)

Fangare ne musti to koliho toma sita lili yang moju. Toma subuh ma awal. Duga to koliho dadi yang. Fangare ni pakeang kabasarang sari dahe yang. (Saya ini sudah harus kembali sebelum fajar menyingsing. Pada sebelum subuh. Tapi saya belum bisa pulang. Jubah kebesaran saya belum ditemukan).

Jou no ure kabe si? (Kau menaruhnya dimana kah?)

Tanya Mahimo dan Raja Delo menceritakan kejadiannya, seperti yang tadi dia ceritakan kepada pak tua, yang kini menemaninya menemui Mahimo.

Tabea Mahimo. Jou no musti parcaya, fangare gou-gou Raja Delo. Kalo jou no aku digali fangare. Fangare toa ju ngon ni ilmu se rahasia ngolo. (Tabik Mahimo. Engkau mesti percaya, saya benar Raja Delo. Bila engkau bisa membantu saya, akan saya berikan kepada kalian ilmu dan rahasia laut).

Pemuda Raja Delo berkata dengan ekspresi dan nada suara amat bersungguh-sunggguh. Mahimo dan pak tua memandanginya saksama. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.

Sesaat hening. Bedug subuh terdengar. Bintang timur dan langit di sana sedikit lebih terang. Gegaris fajir mulai melarik dan bedug subuh terdengar jelas dari surau di tanjung Akedoe yang tak begitu jauh.

Pemuda Raja Delo menunduk, mengusap wajah. Bedug subuh memberinya isyarat, dia belum bisa pulang ke kerajaannya. Kerajaan laut.


****

Ba’da subuh. Mahimo bersama beberapa tetua, tokoh kampung pulang dari surau. Raja Delo yang menunggu di beranda kecil itu berdiri seolah menyambut mereka.

Perbincangan serius dan intens terjadi. Siapa yang telah sengaja mengambil, menyimpan jubah pemuda yang mengaku Raja Delo ini?

Rembang subuh berangsur pagi. Terang. Kabar terkini itu merebak seisi kampung. Warga pun berkerumun di rumah Mahimo. Sebagian mereka kini mulai percaya, pemuda ini benar Raja Delo.

Mahimo memanggil Marinyo (juru penerangan) kampung. Memintanya mengumkan ke seisi kampung. Siapa yang sengaja mengambil atau menyembunyikan jubah si pemuda, harap mengembalikannya.

Marinyo bergerak sigap. Tak lama suaranya terdengar melengking dari ujung ke ujung kampung. Warga yang baru mendengar informasi ini bergegas mendatangi rumah Mahimo. Pekarangan sekitar beranda rumah padat hingga ke jalan.

Una, Raja Delo na mega sira? (Dia, Raja Delo, apanya yang hilang?)

Baso waje na pakeang kabasarang. (Katanya jubbah kebesarannya hilang)

Pertanyaan dan jawaban kembali mejadi bisik dan gumam. Menjalar cepat di antara kerumunan.

Marinyo kembali menghadap Mahimo, membawa serta seorang Ngofa Loa atau pemuda. Si pemuda mengaku dia yang mengambil jubah kebesaran Raja Delo. Lantaran tertarik dengan bentuk dan warnanya yang unik. Lantaran dia tak tahu siapa pemiliknya.

Si no ure kabe? (Lantas dimana kau menaruhnya?)

Tanya Mahimo ketus.

Seme re. (Ada ini)

Jawab si pemuda sembari menyodorkan satu bungkusan kecil kepada Mahimo. Mahimo meraihnya. Menyerahkannya kepada Raja Delo.

Syukur dofu jo. (Terima kasih tuan)

Berkata Raja Delo takzim, lantas meminta permisi ke dalam rumah Mahimo. Hanya Sebentara sekali dan kini dia keluar dengan jubah kebesarannya. Jubah unik, tampak mewah, panjang menjuntai. Bentuk umumnya, warna dan motifnya sama persis dengan Nyao Delo (ikan Cakalang). Bagian kepalanya pun persis kepala ikan Cakalang

Raja Delo!

Terdangar gumam warga bagaikan kuur panjang. Wajah-wajah mereka terperanjat, terperangah. Pemuda itu benar Raja Delo.

Syukur dofu Mahimo se jou ngon moi-moi. No bantu fangare rai. Gatibe se fangare na janji te Mahimo, fangare akan toa, sobai se sojum joungon ilmu se rahasia ngolo. Joungon no aku pake ena sari rezeki toma ngolo. (Terima kasih banyak Mahimo dan kalian semua. Kalian telah membantu saya. Seperti janji saya kepada Mahimo, saya akan berikan, perlihatkan dan menunjukkan pada kalian ilmu dan rahasia laut.)

Seharian itu, Raja Delo di Kampung Tomalou, menunaikan janjinya. Sedari pagi hingga dini hari. Dia berinteraksi dengan Mahimo dan para tetua, para pemuka kampung. Mengajari mereka ilmu dan rahasia laut.

Sebelum fajar Raja Delo mohon diri, kembali ke kerajaannya. Kerajaan laut. Tapi dia sempat berpesan, tak ubahnya pidato perpisahan.

Sonyinga laha-laha mega yang fangare toa. Pake se so amal ena. Toma saat alu moi, jongon nage bolo nage yo ho toma ngolo bolo no side, no sari rezeki. Jou ngon musti no yakin, jou ngon ge fangare na irasai, gati ge yali se fangare na bala. (Ingatlah baik-baik apa yang saya berikan. Gunakan dan amalkanlah. Pada suatu saat, di antara kalian ke laut atau berlayar, mencari rezeki. Kalian harus yakin, kalian adalah sahabat terkasih saya, begitupun sahabat terkasih rakyat di kerjaan saya).

Lantas Raja Delo pamit, tetapi dia sililoa (bermohon) tak ada satu pun di antara warga yang boleh mengantarnya ke pantai. Majlis berdiri, mengantarnya hanya sampai tepi jalan. Raja Delo melangkah tegap ke arah rerapat pohon dan menghilang dalam gelap. Majlis pun bubar.

Pagi cerah. Mahimo berdiri di atas batuan pantai yang menjorok ke laut, di tanjung Akedoe. Satu dua Camar terbang rendah di atas laut tenang dan riak arus kerlap kerlip oleh matahari pagi.

Mahimo melempar pandangan ke Pulau Mare hijau biru dank ke lautan terbuka yang tak berbatas. Dia seperti mencari-cari dimanakah letak istana Raja Delo.

Sejak itu, laut seolah rumah kedua bagi generasi Tomalou. Mereka seolah mengenali sifat dan gerak angin, arus, ombak, Seolah bisa berdialog dengan bintang-bintang di langit untuk meminta petunjuk arah terbaik bagi haluan pelayaran. Seolah bisa bercerita dengan ikan-ikan, karang, lamun. Mereka mengenali laut sama halnya mengenali darat, mengenali ruang-ruang di rumah mereka sendiri.

Abad-abad berlalu membentuk Tomalou menjadi komunitas nelayan, perkampungan nelayan, bahkan komunitas pelaut. Meraka adalah Ngofa Ngolo — Anak laut, generasi laut. Higga sekarang pun. [msd]



Sofyan Daud 
Desember 2019 – Februari 2020

Catatan: Akan diadakan pembetulan seperlu, jika tokoh berkompien dari komunitas pemilik egenda ini meminta, menyarankannya.