Rabu, 11 Juli 2018

Catatan Kecil Dari Sunyine Salaka



Hargai masa lalu, benahi masa kini, tata masa depan 
Waktu adalah kontinum. Quraish Shihab menyebutnya "seluruh rangkaian yang telah berlalu, sekarang dan yang datang".

Generasi sekarang umpama manusia yang berdiri di titik tengah dari rangkain waktu yang panjang itu. Di tempat dia berdiri. Pada titik atau ruang dan waktu yang disebut "sekarang" atau era kekinian, rangkaian masa lalu hanya bisa diketahuinya melalui catatan sejarah, dan masa depan hanya mungkin diperkirakannya dengan kapasitas imajinasi, pengetahuan, keakuratan asumsi dan kecermatan kalkulatif-prediktif.

Jika dia tidak bersungguh-sunggih membaca rangkaian masa lalu, maka mustahil dia memiliki pengetahuan memadai tentang yang telah dicapai dan cara mencapai oleh leluhurnya, yang bisa dijadikankannya rujukan menjawab permasalahan kekinian, juga inspirasi bagi masa depannya. Dia pun mustahil mengetahui kelemahan atau kegagalan leluhurnya di masa lalu yang tidak boleh lagi dia lakukan sekarang dan nanti.

Sayangnya, masih saja ada generasi sejarang yang bertanya dengan agak konyol, "Apa pentingnya menghargai sejarah lalu, pencapaian dan prestasi leluhur dan pemimpin di masa lalu? Padahal, sehebat apapun generasi kekinian, tiada seorang atau satu komunitas manapun juga yang secara otomatis dan begitu saja mampu menciptakan karya-karya kebudayaan seperti yang ada sekarang. Tak satupun generasi tercerdas dan termaju pengetahuannya sekalipun mampu secara otomatis dan begitu saja merumuskan tata nilai dan norma, menata sistem sosial yang disebut baik, kecuali mereka mempelajari, meniru, mengembangkan, mengubahsuaikan yang telah disusun, dipergunakan oleh generasi sebelumnya.

Sejarah budaya dan tradisi leluhur, kata  Sztompka (2008), telah menyediakan blog-blog sehingga mudah diisi oleh generasi sekarang untuk peri kehidupannya, menjawab permasalahan yang dihadapi, sekaligus berikhtiar untuk masa depan. Tradisi adalah "cetak biru" yang disesain para pendahulu untuk generasi kini, yang meliputi seluruh aspek dan dimensi kehidupan.

Kaitan itu, kita patut memperhatikan yang dingatkan oleh Yudi Latif, "sebagian besar dari ketidakmampuan generasi sekarang memacahkan masalah-masalah yang dihadapi disebabkan oleh kegagalan mereka mempelajari kebaikan-kebaikan dari masa lalu".

Di titk inilah dialektika sejarah dan kebudayaaan harus dicermati. Sebab ia merupakan spektrum dialektika kompleks yang menuntut kemampuan belajar, menafsir, merekonstruksi, dan kemampuan mentransformasikan apa yang disebut sebagai kebaikan dan pencapaian masa lalu ke dalam spektrum dinamika kebudayaan masa kini.

Hal itu kian relevan dan mendesak bila ruang budaya masa kini mulai terasa pengap, tak ramah terhadap spiritualitas dan humanitas, tak efektif lagi mendorong gerak budaya ke arah peradaban masa depan kemanusiaan.

Merujuk pandangan Arnold Toynbee (2004) dan Fritjof Capra (2014), ketiadaan generasi suatu komunitas mempelajari budaya, dan ketidakmampuannya menafsir, merekonstruksi, mentransformasi kebudayaan, mengakibatkan kebudayaan luhur yang diwarisinya lekas mengalami involusi, kehilangan elemen fleksibilitasnya, berkurang vitalitasnya, dan semakin menurun daya dorongnya sebagai kekuatan pengarah dan pengubah, kemudian berangsur memasuki fase titik balik.

Menalari uraian juga tesis yang ada, baiknya kita memulai dengan beberapa pertanyaan sederhana, berdasarkan pengamatan atas realitas sehari-hari di sekitar kita, kita sebagai bangsa, dan sebagai entitas yang mengklaim diri masayarakat adat, masyarakat pewaris kebudayaan agung leluhur, masyarakat religius dan spiritual, dan berragam klaim "kabasarang" lainnya.

Dari manakah watak bebal, jumawa, minim empati, jarang mengayomi, suka terabas, koruptif dan watak destruktif lainnya, yang menggejala kuat di kalangan para aktor dan pemimpin politik formal kita?

Darimanakah watak kasar, intoleran, kurang solider dan kebiasaan kerjasama yang makin tergerus, yang kini mulai menggejala di tengah-tengah masyarakat kita? Bagaimanakah kita boleh dicap sebagai komunitas dengan etos rendah dalam hal produktifitas, prestasi dan kepeloporan?

Adakah nila-nilai budaya luhur kita mengajarkan hal seperti itu? Atau, kita memang jarang bahkan tidak lagi mempelajari nilai-nilai budaya leluhur, sementara lebih suka merujuk nilai-nilai budaya dari bangsa lain yang berbeda akar falsafah dan dan orientasinya, yang belum teruji kedigjayaannya.


Mari Pulang, belajar dan menghayati.

"Jika pergi makin menjauhkanmu dari nilai esensial pembentuk jatidiri, maka pulang adalah pergi yang sejati", begitu simpulan saya yang awam, dan tentu sangat terbuka untuk dikritisi.

Itulah juga antara lain intisari hasil diskursus selama dua-tiga tahun di internal Generasi Muda Sultan Nuku (Garda Nuku), juga fokus grup diskusi maupun diskusi publik yang melibatkan beberapa pakar dan pemerhati. Simpulannya, "kita telah jauh menggauli nilai yang bukan dari leluhur kita, bersamaan itu lebih jauh lagi meninggalkan nilai-nilai luhur, warisan kita yang mumpuni".

Dari sana Nuku World Festival (NWF) disepakati menjadi sarana mengangkat hal-hal penting dalam tradisi dan budaya agar menjadi menarik. NWF, selain wujud pengakuan kiprah Sultan Nuku Amirudidin yang mendunia, juga terutama bertujuan mengangkat dan memperkenalkan pandangan dunia Jou Barakati yang syarat nilai.

Kita, generasi sekarang, memang mesti segera pulang, belajar saksama dan menghayati spirit nilai yang mengokohkan tekad, visi dan keberhasilan perjuangan Sultan Nuku. 

Peserta lomba bercerita tentang Sultan Nuku Jou Barakati, NWF 3017

Kami pulang ke tanah asal yang lengang.

Tahun 2016 yang lalu, Haul Sultan Nuku ke 211 dan festival Nuku dilaksanakan di Ternate dan banyak yang bertanya, "kenapa bukan di Tidore?

Sejak awal pun kami berencana melaksanakannya di Tidore, sebagaimana visi dan misi Garda Nuku, menjadi komponen strategis kaum muda Tidore yang dapat berpartisipasi mendukung pihak kesultanan dan pemerintah daerah mengangkat, mempromosikan dan melestarikan adat tradisi leluhur. Tetapi lantaran beberapa kelemahan atau kendala teknis, dengan sangat menyesal, Haul Sultan Nuku dan NWF 2016 lalu, urung dilaksanakan di Tidore.

Betapa kegiatan multi konten yang melibatkan banyak komponen dengan banyak personil pula, pasti sulit dilaksanakan tanpa dukungan atau dengan dukungan yang alakadar dan bahkan basa-basi. Dukungan dimaskud, terutama dukungan koordinatif dengan komunitas dan komponen yang dilibatkan dalam setiap item kegiatan, juga dukungan fasilitas tentu saja.

Tanpa "kepastian dukungan", apalagi "pasti tidak mendukung", bagaimana mungkin komunitas atau paguyuban seperti Garda Nuku mampu melaksanakan kegiatan yang membutuhkan biaya besar yang sebenarnya dapat dikompensasikan dengan dukungan fasilitas maupun dukungan koordinasi yang efektif dengan para pihak.

Alhamdulillah, tahun ini, pada Haul Sultan Nuku ke 212 dan NWF 2017, dengan persiapan ekstra kami berketetapan hati melakasanakannya di Tidore, di Tanah kelahiran dan kewafatan Sultan Nuku Jou Barakati, di tanah dodomi sebagian besar pembina, pimpinan dan pengurus Garda Nuku.

Tentu saja pantas jika kami berharap, hajatan Haul Sultan Nuku ke 212 dan NWF 2017 yang dilaksanakan di Tidore niscaya mendapat dukungan maksimal sekurangnya dukungan yang pantas. 
Tetapi kenyataannya jauh panggang dari api, jauh pula harapan dari kenyataan.

Suara-suara sumbang dari saudara-saudara di Tidore yang tahun lalu, menggugat Tagline "Beta Pulang" dengan penegasan seharusnya "Pulang Ke Tidore", ke tanah kelahiran dan kewafatan Sultan Nuku, tanah leluhur yang dicintai, dibela dan dijaga oleh Jou Barakati sepanjang hayatnya, maka tahun ini kami sungguh "pulang", tetapi sayang tak sempat berjumpa dengan saudara-saudara, pemilik  suara-suara sumbang itu. Tabea, "Tong so pulang, kong ngoni di mana? Pi mana?

Tetapi kami menyadari, kerja-kerja kebudayaan, bukanlah kerja yang mudah. Tidak semua orang yang bagus bicaranya bagus pula sikapnya. Tidak semua orang yang tampak antusias akan antusias pula bahu membahu, dan mendukung kerja-kerja kebudayaan.

Tetapi Alhamdulillah kami sangat bersyukur kepada Allah SWT, Haul Sultan Nuku ke 212 dan rangkaiannya dapat kami laksanakan di Tidore. Kami juga berterima kasih kepada beberapa perkembangan baik, hasil dari koordinasi antara Jou Sultan Tidore dengan Walikota Tidore Kepulauan, sehingga dikeluarkan surat edaran Walikota, mengimbau imam, syara dan jamaah semua masjid dan mushollah membaca tahlil mendo'akan almarhum Sultan Nuku, di malam 14 November, tanggal wafatnya Sultan Nuku. 

Syukur dofu, terima kasih juga patut kami sampaikan kepada Jou Sultan Tidore, H. Husain Syah atas nasihat, bimbingan dan dukungannya yang besar. Juga kepada Walikota dan Wakil Walikota Tidore Kepulauan atas dukungannya melalui beberapa pimpinan SKPD, seperti Bappelitbang, Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan, yang mempelancar beberapa kegiatan kami.

Bagi kami dukungan dan bantuan punya nilai dan makna yang besar. Tidak bisa dilihat dari besar kecilnya tetapi dari niat baik dan esensinya. Oleh karenanya atas nama pribadi, ketua dan atas nama pengurus Garda Nuku kami menyampaikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya.

Semoga perhatian, dukungan koordinasi seperti ini lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang sehingga kita dapat lebih maksimal memanfaatkan monuntum Haul Sultan Nyku dan perhelatan Nuku World Festival ini, untuk peneladanan nilai kejuangan Sultan Nuku Jou Barakati, pelestarian adat tradisi dan kearifan, serta promosikan daerah melalui iven dan atraksi yang dapat mendukung kepariwisataaan daerah.

Nange re ua si fio yali. Ngone ua si nage yali, semoga tak sekadar pengias pidato dalam upacara, atau pemanis narasi dalam buklet promosi pawisata daerah.

Sofyan Daud
Garasi Genta, 27 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar