Hargai masa lalu, benahi masa kini, tata masa depan
Waktu adalah kontinum. Quraish Shihab menyebutnya "seluruh rangkaian yang telah berlalu, sekarang dan yang datang".
Waktu adalah kontinum. Quraish Shihab menyebutnya "seluruh rangkaian yang telah berlalu, sekarang dan yang datang".
Generasi sekarang umpama manusia yang berdiri di titik tengah dari rangkain waktu yang panjang itu. Di tempat dia berdiri. Pada titik atau ruang dan waktu yang disebut "sekarang" atau era kekinian, rangkaian masa lalu hanya bisa diketahuinya melalui catatan sejarah, dan masa depan hanya mungkin diperkirakannya dengan kapasitas imajinasi, pengetahuan, keakuratan asumsi dan kecermatan kalkulatif-prediktif.
Jika dia tidak bersungguh-sunggih membaca rangkaian masa lalu, maka mustahil dia memiliki pengetahuan memadai tentang yang telah dicapai dan cara mencapai oleh leluhurnya, yang bisa dijadikankannya rujukan menjawab permasalahan kekinian, juga inspirasi bagi masa depannya. Dia pun mustahil mengetahui kelemahan atau kegagalan leluhurnya di masa lalu yang tidak boleh lagi dia lakukan sekarang dan nanti.
Sayangnya, masih saja ada generasi sejarang yang bertanya dengan agak konyol, "Apa pentingnya menghargai sejarah lalu, pencapaian dan prestasi leluhur dan pemimpin di masa lalu? Padahal, sehebat apapun generasi kekinian, tiada seorang atau satu komunitas manapun juga yang secara otomatis dan begitu saja mampu menciptakan karya-karya kebudayaan seperti yang ada sekarang. Tak satupun generasi tercerdas dan termaju pengetahuannya sekalipun mampu secara otomatis dan begitu saja merumuskan tata nilai dan norma, menata sistem sosial yang disebut baik, kecuali mereka mempelajari, meniru, mengembangkan, mengubahsuaikan yang telah disusun, dipergunakan oleh generasi sebelumnya.
Sejarah budaya dan tradisi leluhur, kata Sztompka (2008), telah menyediakan blog-blog sehingga mudah diisi oleh generasi sekarang untuk peri kehidupannya, menjawab permasalahan yang dihadapi, sekaligus berikhtiar untuk masa depan. Tradisi adalah "cetak biru" yang disesain para pendahulu untuk generasi kini, yang meliputi seluruh aspek dan dimensi kehidupan.
Kaitan itu, kita patut memperhatikan yang
dingatkan oleh Yudi Latif, "sebagian besar dari ketidakmampuan generasi
sekarang memacahkan masalah-masalah yang dihadapi disebabkan oleh kegagalan mereka
mempelajari kebaikan-kebaikan dari masa lalu".
Di titk inilah dialektika sejarah dan kebudayaaan
harus dicermati. Sebab ia merupakan spektrum dialektika kompleks yang menuntut
kemampuan belajar, menafsir, merekonstruksi, dan kemampuan mentransformasikan apa
yang disebut sebagai kebaikan dan pencapaian masa lalu ke dalam spektrum dinamika
kebudayaan masa kini.
Hal itu kian relevan dan mendesak bila ruang
budaya masa kini mulai terasa pengap, tak ramah terhadap spiritualitas dan
humanitas, tak efektif lagi mendorong gerak budaya ke arah peradaban masa depan
kemanusiaan.
Merujuk pandangan Arnold Toynbee (2004) dan
Fritjof Capra (2014), ketiadaan generasi suatu komunitas mempelajari budaya, dan
ketidakmampuannya menafsir, merekonstruksi, mentransformasi kebudayaan, mengakibatkan
kebudayaan luhur yang diwarisinya lekas mengalami involusi, kehilangan elemen
fleksibilitasnya, berkurang vitalitasnya, dan semakin menurun daya dorongnya
sebagai kekuatan pengarah dan pengubah, kemudian berangsur memasuki fase titik
balik.
Menalari uraian juga tesis yang ada,
baiknya kita memulai dengan beberapa pertanyaan sederhana, berdasarkan
pengamatan atas realitas sehari-hari di sekitar kita, kita sebagai bangsa, dan
sebagai entitas yang mengklaim diri masayarakat adat, masyarakat pewaris kebudayaan
agung leluhur, masyarakat religius dan spiritual, dan berragam klaim "kabasarang" lainnya.
Dari manakah watak bebal, jumawa, minim
empati, jarang mengayomi, suka terabas, koruptif dan watak destruktif lainnya,
yang menggejala kuat di kalangan para aktor dan pemimpin politik formal kita?
Darimanakah watak kasar, intoleran, kurang
solider dan kebiasaan kerjasama yang makin tergerus, yang kini mulai menggejala
di tengah-tengah masyarakat kita? Bagaimanakah kita boleh dicap sebagai
komunitas dengan etos rendah dalam hal produktifitas, prestasi dan kepeloporan?
Adakah nila-nilai budaya luhur kita
mengajarkan hal seperti itu? Atau, kita memang jarang bahkan tidak lagi
mempelajari nilai-nilai budaya leluhur, sementara lebih suka merujuk
nilai-nilai budaya dari bangsa lain yang berbeda akar falsafah dan dan
orientasinya, yang belum teruji kedigjayaannya.
Mari
Pulang, belajar dan menghayati.
"Jika pergi makin menjauhkanmu dari nilai
esensial pembentuk jatidiri, maka pulang adalah pergi yang sejati", begitu
simpulan saya yang awam, dan tentu sangat terbuka untuk dikritisi.
Itulah juga antara lain intisari hasil diskursus
selama dua-tiga tahun di internal Generasi Muda Sultan Nuku (Garda Nuku), juga fokus
grup diskusi maupun diskusi publik yang melibatkan beberapa pakar dan pemerhati.
Simpulannya, "kita telah jauh menggauli nilai yang bukan dari leluhur kita,
bersamaan itu lebih jauh lagi meninggalkan nilai-nilai luhur, warisan kita yang
mumpuni".
Dari sana Nuku World Festival (NWF)
disepakati menjadi sarana mengangkat hal-hal penting dalam tradisi dan budaya agar
menjadi menarik. NWF, selain wujud pengakuan kiprah Sultan Nuku Amirudidin yang
mendunia, juga terutama bertujuan mengangkat dan memperkenalkan pandangan dunia
Jou Barakati yang syarat nilai.
Kita, generasi sekarang, memang mesti
segera pulang, belajar saksama dan menghayati spirit nilai yang mengokohkan
tekad, visi dan keberhasilan perjuangan Sultan Nuku.
Peserta lomba bercerita tentang Sultan Nuku Jou Barakati, NWF 3017 |
Kami pulang ke tanah asal yang lengang.
Tahun 2016 yang lalu, Haul Sultan Nuku ke 211 dan festival Nuku dilaksanakan di Ternate dan banyak yang bertanya, "kenapa bukan di Tidore?
Tahun 2016 yang lalu, Haul Sultan Nuku ke 211 dan festival Nuku dilaksanakan di Ternate dan banyak yang bertanya, "kenapa bukan di Tidore?
Sejak awal pun kami berencana melaksanakannya
di Tidore, sebagaimana visi dan misi Garda Nuku, menjadi komponen strategis
kaum muda Tidore yang dapat berpartisipasi mendukung pihak
kesultanan dan pemerintah daerah mengangkat, mempromosikan dan melestarikan adat
tradisi leluhur. Tetapi lantaran beberapa kelemahan atau
kendala teknis, dengan sangat menyesal, Haul Sultan Nuku dan NWF 2016 lalu, urung
dilaksanakan di Tidore.
Betapa kegiatan multi konten
yang melibatkan banyak komponen dengan banyak personil pula, pasti sulit
dilaksanakan tanpa dukungan atau dengan dukungan yang alakadar dan bahkan basa-basi. Dukungan dimaskud, terutama dukungan koordinatif dengan komunitas dan komponen
yang dilibatkan dalam setiap item kegiatan, juga dukungan fasilitas tentu saja.
Tanpa "kepastian dukungan",
apalagi "pasti tidak mendukung", bagaimana mungkin komunitas atau
paguyuban seperti Garda Nuku mampu melaksanakan kegiatan yang membutuhkan biaya
besar yang sebenarnya dapat dikompensasikan dengan dukungan fasilitas maupun dukungan
koordinasi yang efektif dengan para pihak.
Alhamdulillah, tahun ini, pada Haul Sultan
Nuku ke 212 dan NWF 2017, dengan persiapan ekstra kami berketetapan hati
melakasanakannya di Tidore, di Tanah kelahiran dan kewafatan Sultan Nuku Jou
Barakati, di tanah dodomi sebagian besar pembina, pimpinan dan pengurus Garda
Nuku.
Tentu saja pantas jika kami berharap,
hajatan Haul Sultan Nuku ke 212 dan NWF 2017 yang dilaksanakan di Tidore niscaya
mendapat dukungan maksimal sekurangnya dukungan yang pantas.
Tetapi
kenyataannya jauh panggang dari api, jauh pula harapan dari kenyataan.
Suara-suara sumbang dari saudara-saudara di
Tidore yang tahun lalu, menggugat Tagline
"Beta Pulang" dengan penegasan seharusnya "Pulang Ke
Tidore", ke tanah kelahiran dan kewafatan Sultan Nuku, tanah leluhur yang
dicintai, dibela dan dijaga oleh Jou Barakati sepanjang hayatnya, maka tahun
ini kami sungguh "pulang", tetapi sayang tak sempat berjumpa dengan
saudara-saudara, pemilik suara-suara
sumbang itu. Tabea, "Tong so pulang,
kong ngoni di mana? Pi mana?
Tetapi kami menyadari, kerja-kerja
kebudayaan, bukanlah kerja yang mudah. Tidak semua orang yang bagus bicaranya
bagus pula sikapnya. Tidak semua orang yang tampak antusias akan antusias pula
bahu membahu, dan mendukung kerja-kerja kebudayaan.
Tetapi Alhamdulillah kami sangat bersyukur kepada Allah
SWT, Haul Sultan Nuku ke 212 dan rangkaiannya dapat kami
laksanakan di Tidore. Kami juga berterima kasih kepada beberapa perkembangan
baik, hasil dari koordinasi antara Jou Sultan Tidore dengan Walikota Tidore
Kepulauan, sehingga dikeluarkan surat edaran Walikota, mengimbau imam, syara
dan jamaah semua masjid dan mushollah membaca tahlil mendo'akan almarhum Sultan
Nuku, di malam 14 November, tanggal wafatnya Sultan Nuku.
Syukur dofu, terima kasih juga patut kami
sampaikan kepada Jou Sultan Tidore, H. Husain Syah atas nasihat, bimbingan dan
dukungannya yang besar. Juga kepada Walikota dan Wakil Walikota Tidore
Kepulauan atas dukungannya melalui beberapa pimpinan SKPD, seperti
Bappelitbang, Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan, yang mempelancar beberapa
kegiatan kami.
Bagi kami dukungan dan bantuan punya nilai
dan makna yang besar. Tidak bisa dilihat dari besar kecilnya tetapi dari niat
baik dan esensinya. Oleh karenanya atas nama pribadi, ketua dan atas nama
pengurus Garda Nuku kami menyampaikan apresiasi dan penghargaan
setinggi-tingginya.
Semoga perhatian, dukungan koordinasi
seperti ini lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang sehingga kita dapat
lebih maksimal memanfaatkan monuntum Haul Sultan Nyku dan perhelatan Nuku World
Festival ini, untuk peneladanan nilai kejuangan Sultan Nuku Jou Barakati,
pelestarian adat tradisi dan kearifan, serta promosikan daerah melalui iven dan
atraksi yang dapat mendukung kepariwisataaan daerah.
Nange
re ua si fio yali. Ngone ua si nage yali, semoga tak sekadar pengias pidato
dalam upacara, atau pemanis narasi dalam buklet promosi pawisata daerah.
Sofyan Daud
Garasi Genta, 27 September 2017