Konteks perkembangan
pola perkotaan yang dikaitkan dengan ciri-ciri sebuah kota praindustri,
misalnya ditunjukkan antara lain oleh adanya keraton atau pusat pemerintahan,
alun-alun, tempat beribadat, dan pasar tradisional (Hariyono, 2007 : 99),1 maka setidaknya dua dari keempat ciri tersebut,
yakni keraton atau pusat pemerintahan, pasar lengkap dengan pelabuhan niaga
telah terdapat di ibukota Ternate, Gamlamo sejak era kepemimpinan Kolano Sida
Arif Malamo (1322-1331), dan
keberadaannya terus berkembang pada masa kepemimpinan Kolano Gapi Baguna
(1432-1405), Sultan Marhum, terlebih lagi pada masa kepemimpinan Sultan Zainal
Abidin (1486-1500), karena di masa
kepemimpinan Sultan Zainal Abidin selain pusat pemerintahan, pasar dan pusat
perniagaan yang semakin berkembang, juga telah dibangun surau atau masjid,
madrasah atau majelis pengajian yang disebut dengan Pangaji.
Perkembangan Ternate sejak masa Kolano Sida Arif Malamo sampai dengan Sultan Zainal Abidin, dapat disebut telah menapaki fase awal sebuah kota berciri praindustri. Kemudian masuknya bangsa Portugis sampai dengan batas tertentu turut menegaskan ciri-ciri ibukota Gamlamo sebagai kota praindustri.
Di luar benteng yang dibangun oleh Portugis, masuknya misi Jesuit yang kemudian mendirikan seminari dan gereja, terlebih lagi pada masa kepemimpinan Gubernur Antonio Galvao yang melakukan revitilasasi terhadap sejumlah fasilitas sosial ekonomi perkotaan membuat Gamlamo yang terletak di selatan atau di barat daya Pulau Ternate (kini kecamatan Pulau Ternate) di masa itu telah menunjukkan ciri kekotaan yang relatif kompak. Tetapi kemudian persaingan dan perseteruan antarbangsa Eropa merebut monopoli rempah-rempah Maluku, maupun perseteruan antara Portugis dan kemudian Spanyol dengan Kesultanan dan warga Ternate, membuat Gamlamo berangsur memasuki antiklimaks.
Setelah Portugis terusir dari Ternate dan seluruh Kepulauan Maluku, Spanyol berhasil menaklukkan dan menduduki benteng dan istana Gamlamo selama 61 tahun (1606-1667). Pendudukan Spanyol atas Gamlamo membuat Sultan Saidi dan perangkat kesultanan terpaksa menyingkir dari ibukota. Paska pendudukan Spanyol, riwayat Gamlamo, simbol kemajuan Ternate paling awal yang eksis selama kurang lebih 410 tahun (1257-1667), dan merupakan kota praindustri Ternate “Jilid I” itu meredup dan kemudian berakhir tanpa jejak.
Sulitnya menemukan sumber yang mengulas kapan persisnya dan bagaimana ceritanya sampai-sampai Ibu Kota Gamlamo hilang tanpa bekas. Sejauh yang dapat ditelusuri melalui sumber sejarah yang ada, dapat diungkapkan di sini bahwa beberapa saat setelah Spanyol menduduki Gamlamo, kesultanan Ternate lantas merangkul Belanda membantu mengusir Spanyol dan melindungi warga Ternate yang diawali dengan penandatangan perjanjian beserta sejumlah kompensasi yang berhak diperoleh Belanda, antara lain mendirikan Benteng Oranje sebagai pusat pertahanan sekaligus kantor pusat VOC mengendalikan kebijakan politik perdagangannya.
Seiring dengan itu aktifitas pemerintahan kesultanan berangsur berpindah ke kampung Soasio, di sisi timur Pulau Ternate, yang relatif lebih luas, datar atau landai. Kemudian berangsur dibangun fasilitas pemerintahan dan fasilitas lainnya di kawasan ini. Sejak itu “kota baru” Ternate mulai berkembang di kawasan ini.
Arus utama perniagaan rempah yang menempatkan Pulau Ternate sebagai salah satu bandar utama dunia, berkontribusi dominan mempercepat pebentukan pola perkotaan dan ciri kekotaan pada “kota baru” Ternate ini sehingga cepat tumbuh menjadi kota praindustri “Jilid II”. VOC-Belanda pun membangun sejumlah fasilitas pemerintahan dan perekonomian dan menetapkan kawasan perkotaan Hindia Belanda mulai dari batas utaranya di jalan antara Fort Oranje dengan Kampung Makassar sampai ke batas selatannya di Barangka Toboko; Kesultanan dan masyarakat — pada hal-hal tertentu barangkali juga didukung Belanda atau Inggris — berangsur mendirikan sarana pemerintahan, masjid, pasar, alun-alun; Pedangang keturunan Cina, Arab, pedagang Nusantara turut serta memberi sumbangsih mengembangkan sarana perdagangan; dan kesemuanya itu memengaruhi tumbuh dan berkembangnya kota praindustri Ternate “Jilid II” yang berpusat dalam kawasan mulai dari Kampung Soasio, sekitar Benteng Oranje, kawasan Fala Jawa, Kadaton Tidore, sampai ke Takoma-Toboko.
Hingga kini, beberapa situs dari sisa-sisa peninggalan kota praindustri “Jilid II” dimaksud masih dapat dijumpai, meskipun sebagiannya lenyap akibat tergerus waktu, rusak atau diubah di masa pendudukan Jepang yang relatif singkat atas Ternate, atau tergusur oleh pembangunan struktur fisik perkotaan, permukiman dan sebagainya, atau bahkan akibat kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakat merawat dan melestarikannya.
Perkembangan Ternate sejak masa Kolano Sida Arif Malamo sampai dengan Sultan Zainal Abidin, dapat disebut telah menapaki fase awal sebuah kota berciri praindustri. Kemudian masuknya bangsa Portugis sampai dengan batas tertentu turut menegaskan ciri-ciri ibukota Gamlamo sebagai kota praindustri.
Di luar benteng yang dibangun oleh Portugis, masuknya misi Jesuit yang kemudian mendirikan seminari dan gereja, terlebih lagi pada masa kepemimpinan Gubernur Antonio Galvao yang melakukan revitilasasi terhadap sejumlah fasilitas sosial ekonomi perkotaan membuat Gamlamo yang terletak di selatan atau di barat daya Pulau Ternate (kini kecamatan Pulau Ternate) di masa itu telah menunjukkan ciri kekotaan yang relatif kompak. Tetapi kemudian persaingan dan perseteruan antarbangsa Eropa merebut monopoli rempah-rempah Maluku, maupun perseteruan antara Portugis dan kemudian Spanyol dengan Kesultanan dan warga Ternate, membuat Gamlamo berangsur memasuki antiklimaks.
Setelah Portugis terusir dari Ternate dan seluruh Kepulauan Maluku, Spanyol berhasil menaklukkan dan menduduki benteng dan istana Gamlamo selama 61 tahun (1606-1667). Pendudukan Spanyol atas Gamlamo membuat Sultan Saidi dan perangkat kesultanan terpaksa menyingkir dari ibukota. Paska pendudukan Spanyol, riwayat Gamlamo, simbol kemajuan Ternate paling awal yang eksis selama kurang lebih 410 tahun (1257-1667), dan merupakan kota praindustri Ternate “Jilid I” itu meredup dan kemudian berakhir tanpa jejak.
Sulitnya menemukan sumber yang mengulas kapan persisnya dan bagaimana ceritanya sampai-sampai Ibu Kota Gamlamo hilang tanpa bekas. Sejauh yang dapat ditelusuri melalui sumber sejarah yang ada, dapat diungkapkan di sini bahwa beberapa saat setelah Spanyol menduduki Gamlamo, kesultanan Ternate lantas merangkul Belanda membantu mengusir Spanyol dan melindungi warga Ternate yang diawali dengan penandatangan perjanjian beserta sejumlah kompensasi yang berhak diperoleh Belanda, antara lain mendirikan Benteng Oranje sebagai pusat pertahanan sekaligus kantor pusat VOC mengendalikan kebijakan politik perdagangannya.
Seiring dengan itu aktifitas pemerintahan kesultanan berangsur berpindah ke kampung Soasio, di sisi timur Pulau Ternate, yang relatif lebih luas, datar atau landai. Kemudian berangsur dibangun fasilitas pemerintahan dan fasilitas lainnya di kawasan ini. Sejak itu “kota baru” Ternate mulai berkembang di kawasan ini.
Arus utama perniagaan rempah yang menempatkan Pulau Ternate sebagai salah satu bandar utama dunia, berkontribusi dominan mempercepat pebentukan pola perkotaan dan ciri kekotaan pada “kota baru” Ternate ini sehingga cepat tumbuh menjadi kota praindustri “Jilid II”. VOC-Belanda pun membangun sejumlah fasilitas pemerintahan dan perekonomian dan menetapkan kawasan perkotaan Hindia Belanda mulai dari batas utaranya di jalan antara Fort Oranje dengan Kampung Makassar sampai ke batas selatannya di Barangka Toboko; Kesultanan dan masyarakat — pada hal-hal tertentu barangkali juga didukung Belanda atau Inggris — berangsur mendirikan sarana pemerintahan, masjid, pasar, alun-alun; Pedangang keturunan Cina, Arab, pedagang Nusantara turut serta memberi sumbangsih mengembangkan sarana perdagangan; dan kesemuanya itu memengaruhi tumbuh dan berkembangnya kota praindustri Ternate “Jilid II” yang berpusat dalam kawasan mulai dari Kampung Soasio, sekitar Benteng Oranje, kawasan Fala Jawa, Kadaton Tidore, sampai ke Takoma-Toboko.
Hingga kini, beberapa situs dari sisa-sisa peninggalan kota praindustri “Jilid II” dimaksud masih dapat dijumpai, meskipun sebagiannya lenyap akibat tergerus waktu, rusak atau diubah di masa pendudukan Jepang yang relatif singkat atas Ternate, atau tergusur oleh pembangunan struktur fisik perkotaan, permukiman dan sebagainya, atau bahkan akibat kurangnya kepedulian pemerintah dan masyarakat merawat dan melestarikannya.
Perkembangan kawasan
perkotaan semakin menggeliat, dimulai sejak akhir abad ke-19, pada era politik
etis Belanda sampai dengan permulaan abad ke-20, tampak perlahan membenamkan
ciri dan rona kota modern pada kawasan ini.
Paska proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, terutama dimulai sekitar 1950-an. berangsur pembangunan struktur fisik perkotaan semakin berkembang. Sejak itu pula Ternate mulai menapaki fase ketiga sebagai kota praindusti “Jilid III” dengan titik pengembangan yang berpusat di Gamalama, dan secara tak pelak juga berproses menjadi kota modern.
Sejak memasuki fase kota praindustri Jilid III sampai dengan dasawarsa 2011, relatif tak terjadi perubahan signifikan dalam pemanfaatan ruang kota, padahal disadari terbatasnya lahan dan kondisi topografis yang relatif sulit bagi upaya penataan kawasan perkotaan yang representatif, sementara kebutuhan akan lahan baik akibat pertumbuhan penduduk maupun dinamika perkotaan yang semakin kompleks, meniscayakan suatu perencanaan dan manajemen perkotaan yang terpadu dan konsisten. Tanpa memperhatikan hal itu, Ternate bukan saja sulit mengatasi tantangan dan problematika perkotaan yang tengah dihadapi, tetapi terlebih lagi sulit mewujudkan harapan sebuah kota sehat, nyaman dan berkelanjutan.|
Paska proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, terutama dimulai sekitar 1950-an. berangsur pembangunan struktur fisik perkotaan semakin berkembang. Sejak itu pula Ternate mulai menapaki fase ketiga sebagai kota praindusti “Jilid III” dengan titik pengembangan yang berpusat di Gamalama, dan secara tak pelak juga berproses menjadi kota modern.
Sejak memasuki fase kota praindustri Jilid III sampai dengan dasawarsa 2011, relatif tak terjadi perubahan signifikan dalam pemanfaatan ruang kota, padahal disadari terbatasnya lahan dan kondisi topografis yang relatif sulit bagi upaya penataan kawasan perkotaan yang representatif, sementara kebutuhan akan lahan baik akibat pertumbuhan penduduk maupun dinamika perkotaan yang semakin kompleks, meniscayakan suatu perencanaan dan manajemen perkotaan yang terpadu dan konsisten. Tanpa memperhatikan hal itu, Ternate bukan saja sulit mengatasi tantangan dan problematika perkotaan yang tengah dihadapi, tetapi terlebih lagi sulit mewujudkan harapan sebuah kota sehat, nyaman dan berkelanjutan.|
SEKILAS PERUBAHAN PUSAT KOTA 1857 - 2011
Foto selalu lebih baik memvisualisasikan detail suatu kawasaan
dibandingkan kalimat paling deskriptif sekalipun. Karenanya pembahasan bagian
ini diawali dengan menyandingkan foto-foto pusat kota Ternate, mulai dari area
sekitar Jembatan Residen di pantai Fala Jawa, dalam beberapa kurun berbeda: Pertama,
foto pada 1857-1872; Kedua foto pada 1875, dan; Ketiga, foto pada
10 Juni 2011. Ketiga foto memperlihatkan seperti apa perubahan yang terjadi
pada kawasan dimaksud sejak 1857 sampai dengan 2011.
Berikut dua foto yang juga dari kurun waktu berbeda, yakni: Pertama, foto lansekap mulai dari pantai di belakang pasar (kini Pasar Gamalama), Jembatan Residen sampai ke Pelabuhan Besi (kini Pelabuhan A. Yani) pada 1924; Kedua, foto pada 18 Mei 2011 dari sudut bidikan relatif sejajar sebagaimana foto pertama. Tampak pula telah terjadi perubahan signifikan pantai dan pesisir pada kawasan ini.
Berikut dua foto yang juga dari kurun waktu berbeda, yakni: Pertama, foto lansekap mulai dari pantai di belakang pasar (kini Pasar Gamalama), Jembatan Residen sampai ke Pelabuhan Besi (kini Pelabuhan A. Yani) pada 1924; Kedua, foto pada 18 Mei 2011 dari sudut bidikan relatif sejajar sebagaimana foto pertama. Tampak pula telah terjadi perubahan signifikan pantai dan pesisir pada kawasan ini.
Perubahan itu
menunjukkan konsekuensi pemanfaatan ruang kota pada kawasan ini untuk
pembangunan maupun pengembangan sarana dan struktur fisik seperti jalan,
pertokoan, penginapan, perkantoran dan sarana publik yang berlangsung selama
kurun waktu 154 tahun, yang mengubah signifikan ketampakan fisik morfologis
pusat kota.
Ali Hanafi, 81 tahun, tokoh sepuh di Fala Jawa menceritakan, bangunanan sepanjang pesisir Fala Jawa yang dibangun mulai akhir 1940 sampai dengan 1950-an, lalu semakin intens pada 1960-1970, dibangun lebih ke tepi pantai, lebih kurang 10 meter dari jejeran bangunan peninggalan Belanda maupun rumah warga yang telah ada sejak era 1800-an sampai awal 1900-an. “Dulu rumah saya persis berada di tepi jalan, dan pantai tak jauh dari jalan itu. Kini rumah saya sudah berada di belakang pertokoan”. Tutur Om Ali menggambarkan perubahan kawasan pantai dan pesisir Kampung Fala Jawa.
Om Ali sekeluarga kini menempati rumah warisan yang sepengakuannya dibangun akhir 1888-an. Arsitekturalnya misalnya pilar beranda, pintu dan jendela, memang tampak mirip dengan beberapa rumah di kawasan Fala Jawa sebagaimana dalam foto-foto dokumentasi Belanda era 1800-an.
Pada dinding di atas pintu utama rumah itu, tampak puluhan lubang seukuran ujung jari kelingking hingga ujung jari telunjuk orang dewasa. Kata Om Ali, “Akibat di tembusi peluru sewaktu masa perang, dan kami biarkan tetap begitu, sebagai kenangan sejarah”.
Om Ali bahkan menunjukkan sebuah foto tua berpigura yang terpajang di dinding rumahnya, sembari menjelaskan bahwa foto itu adalah foto rumahnya. Om Ali mengatakan foto repro itu dari seorang turis atau peneliti asal Belanda.
Foto dimaksud memang mirip dengan foto pertama di awal sub bahasan ini. Artinya Om Ali sekeluarga menghuni salah satu situs rumah tua yang patut dilestarikan.
Perubahan yang diceritakan Om Ali, kian jelas saat kita membandingkan keadaan pusat Kota Ternate akhir 1800-an, mulai dari “Barangka Toboko” (Kali mati Toboko) sampai ke “Makasaarsche wijk” (Kampung Makassar) seperti di dalam Plate Grond van de Hoofdplaats Ternate atau Maps of the Capital Ternate, (De Clerck, 1890)2 — peta ini selanjutnya disebut “Peta I” — dengan perkembangan Ternate dewasa ini. Dengan menimpakan “Peta I” ini ke atas citra satelit kawasan yang sama yang diambil pada beberapa tahun belakangan, ketampakan perubahan fisik morfologis kawasan ini menjadi tervisualisasi demikian kentaranya.
Ketampakan perubahan pertama-tama dikenali ketika mengonfirmasi satu persatu obyek dalam legenda “Peta I” dengan keberadaannya pada dekade-dekade sesudah peta itu dibuat sampai ke masa sekarang:
1). Steenkolenloods (Gudang Batu Bara), kini di lokasinya telah dibangun beberapa fasilitas Pelabuhan A. Yani; 2). Kadatoe Todore (Kadaton Tidore), telah lenyap dan menurut beberapa sumber setempat, di atas lokasi Kadaton Tidore yang luas itu, telah dibangun pemukiman penduduk, toko, hotel, dan lain-lain); 3). Residentie Kantoor (Kantor Residen), merujuk peta dimaksud, lokasinya berada di sekitar gedung eks Bank Eksim sampai ke rumah di samping kanan eks Bank Eksim. Sekadar catatan tambahan, eks Bank Eksim pernah dijadikan Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara; 4). Sloepenhoefd (Dermaga Residen), kini masih eksis; 5). Gevangenis (Penjara), kini Rumah Tahanan Negara, persis di belakang eks Bank Eksim; 6) Haven Kantoor (Kantor Pelabuhan) dan 7). Residen Woning (Kediaman Residen), di lokasi kedua bangunan itu dibangun Kantor Bupati Maluku Utara (yang berubah nama menjadi Halmahera Barat. Pada saat Provinsi Maluku Utara diresmikan 12 Oktober 1999, gedung ini dijadikan Kantor Gubernur sementara, sebelum pindah ke ibukota devinitifnya di Sofifi, Oktober 2009); 8-9). Brandspuithuisjes (Rumah Mesin – pembangkit listrik), lokasi yang nomor 8 kini di sekitar Gudang Toko Besi Sejahtera, dan lokasi nomor 9 diduga berada di sekitar Rumah Sakit TNI AD, Ternate; 10). Societeit (Klub bernama “Minerva”; dengan ruang baca dan taman, semacam ruang publik), kini lokasinya telah dibangun pertokoan di sekitar bank Danamon, Hotel Nirwana, dan Muara Hotel; 11). Europeesche School (Sekolah Eropa), pada era 1950-an dijadikan SR Latihan, lalu diubah lagi menjadi SD Ake Malako. Pada 1995-1996, SD Ake Malako bersama bangunan eks Sekolah Cina yang saat itu dijadikan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan ditukarguling (ruislag) dengan pihak swasta. Gedung baru SD Ake Malako dibangun di Maliaro dan di lokasinya dibangun Rumah Toko (yang bersebalahan jalan dengan Rumah Sakit Umum Dharma Ibu), sementara bangunan baru Kantor Pendidikan dan Kebudayaan di bangun di Akehuda (belakang Kantor Pos Akehuda) dan di lokasi eks Sekolah Cina sejak akhir 2009 telah dibangun pertokoan (Ruko) ; 12). Pasar, kini Pasar Gamalama; 13). Sculterij Magazijn (Gudang Tentara Sipil), kini sudah berganti pertokoaan; 14). Werkload, juga sudah berganti pertokoan; 15). Protestansche kreck (Gereja Protestan), kini Bioskop Benteng; 16). Cinesche Tempel (Kelenteng), kini masih eksis; 17). Inlandsche School (Sekolah Pribumi), pernah dijadikan SMP 4, lalu ditukarguling dengan pihak swasta. gedung baru SMP 4 dibangun di Bastiong (belakang Kantor Pos Bastiong) dan di bekas lokasinya kini dibangun pertokoan atau tempat usaha; 18). Militaire Kantine (Kantin Militer), kini di sekitar lapangan tenis, atau sekitar taman antara cafe Djarod (lama) sampai ke cafe Dagimoi di belakang Fort Oranje; 19). Slaven Kerkhof (pekuburan budak), kini di sekitar Bakso Lapangan Tembak, Eks Gedung Barito atau Eks kantor Barito Timber Group atau CFC, termasuk juga Jalan Kemuning sampai ke beberapa bangunan di sisi utara Jalan Kemuning.
Ketampakan perubahan fisik morfologis pesisir dan pantai dari batas utara area Pelabuhan A. Yani sampai ke Salero pun sangat jelas.
Membandingkan batas pantai pada “Peta I” di atas dengan batas yang ditunjukkan oleh citra satelit, menunjukkan perubahan signifikan. Telah terjadi pengembangan spasial pusat kota secara horizontal ke arah pantai, dimulai dari batas utara Pelabuhan A. Yani, dan semakin ke selatan semakin melebar ke arah laut, yang dimulai dari batas utara Jembatan Residen dan lebih meluas lagi mulai dari lokasi Masjid Raya Al-Munawar, belakang Jatiland Mall sampai ke pasar tradisional di sisi timur Terminal Gamalama, kemudian melengkung masuk secara parabolik dan berakhir di batas selatan Lapangan Ngara Lamo. Kebijakan reklamasi ini dipilih karena sempitnya lahan pusat kota untuk kepentingan pengembangan fasilitas perkotaan.
Ali Hanafi, 81 tahun, tokoh sepuh di Fala Jawa menceritakan, bangunanan sepanjang pesisir Fala Jawa yang dibangun mulai akhir 1940 sampai dengan 1950-an, lalu semakin intens pada 1960-1970, dibangun lebih ke tepi pantai, lebih kurang 10 meter dari jejeran bangunan peninggalan Belanda maupun rumah warga yang telah ada sejak era 1800-an sampai awal 1900-an. “Dulu rumah saya persis berada di tepi jalan, dan pantai tak jauh dari jalan itu. Kini rumah saya sudah berada di belakang pertokoan”. Tutur Om Ali menggambarkan perubahan kawasan pantai dan pesisir Kampung Fala Jawa.
Om Ali sekeluarga kini menempati rumah warisan yang sepengakuannya dibangun akhir 1888-an. Arsitekturalnya misalnya pilar beranda, pintu dan jendela, memang tampak mirip dengan beberapa rumah di kawasan Fala Jawa sebagaimana dalam foto-foto dokumentasi Belanda era 1800-an.
Pada dinding di atas pintu utama rumah itu, tampak puluhan lubang seukuran ujung jari kelingking hingga ujung jari telunjuk orang dewasa. Kata Om Ali, “Akibat di tembusi peluru sewaktu masa perang, dan kami biarkan tetap begitu, sebagai kenangan sejarah”.
Om Ali bahkan menunjukkan sebuah foto tua berpigura yang terpajang di dinding rumahnya, sembari menjelaskan bahwa foto itu adalah foto rumahnya. Om Ali mengatakan foto repro itu dari seorang turis atau peneliti asal Belanda.
Foto dimaksud memang mirip dengan foto pertama di awal sub bahasan ini. Artinya Om Ali sekeluarga menghuni salah satu situs rumah tua yang patut dilestarikan.
Perubahan yang diceritakan Om Ali, kian jelas saat kita membandingkan keadaan pusat Kota Ternate akhir 1800-an, mulai dari “Barangka Toboko” (Kali mati Toboko) sampai ke “Makasaarsche wijk” (Kampung Makassar) seperti di dalam Plate Grond van de Hoofdplaats Ternate atau Maps of the Capital Ternate, (De Clerck, 1890)2 — peta ini selanjutnya disebut “Peta I” — dengan perkembangan Ternate dewasa ini. Dengan menimpakan “Peta I” ini ke atas citra satelit kawasan yang sama yang diambil pada beberapa tahun belakangan, ketampakan perubahan fisik morfologis kawasan ini menjadi tervisualisasi demikian kentaranya.
Ketampakan perubahan pertama-tama dikenali ketika mengonfirmasi satu persatu obyek dalam legenda “Peta I” dengan keberadaannya pada dekade-dekade sesudah peta itu dibuat sampai ke masa sekarang:
1). Steenkolenloods (Gudang Batu Bara), kini di lokasinya telah dibangun beberapa fasilitas Pelabuhan A. Yani; 2). Kadatoe Todore (Kadaton Tidore), telah lenyap dan menurut beberapa sumber setempat, di atas lokasi Kadaton Tidore yang luas itu, telah dibangun pemukiman penduduk, toko, hotel, dan lain-lain); 3). Residentie Kantoor (Kantor Residen), merujuk peta dimaksud, lokasinya berada di sekitar gedung eks Bank Eksim sampai ke rumah di samping kanan eks Bank Eksim. Sekadar catatan tambahan, eks Bank Eksim pernah dijadikan Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara; 4). Sloepenhoefd (Dermaga Residen), kini masih eksis; 5). Gevangenis (Penjara), kini Rumah Tahanan Negara, persis di belakang eks Bank Eksim; 6) Haven Kantoor (Kantor Pelabuhan) dan 7). Residen Woning (Kediaman Residen), di lokasi kedua bangunan itu dibangun Kantor Bupati Maluku Utara (yang berubah nama menjadi Halmahera Barat. Pada saat Provinsi Maluku Utara diresmikan 12 Oktober 1999, gedung ini dijadikan Kantor Gubernur sementara, sebelum pindah ke ibukota devinitifnya di Sofifi, Oktober 2009); 8-9). Brandspuithuisjes (Rumah Mesin – pembangkit listrik), lokasi yang nomor 8 kini di sekitar Gudang Toko Besi Sejahtera, dan lokasi nomor 9 diduga berada di sekitar Rumah Sakit TNI AD, Ternate; 10). Societeit (Klub bernama “Minerva”; dengan ruang baca dan taman, semacam ruang publik), kini lokasinya telah dibangun pertokoan di sekitar bank Danamon, Hotel Nirwana, dan Muara Hotel; 11). Europeesche School (Sekolah Eropa), pada era 1950-an dijadikan SR Latihan, lalu diubah lagi menjadi SD Ake Malako. Pada 1995-1996, SD Ake Malako bersama bangunan eks Sekolah Cina yang saat itu dijadikan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan ditukarguling (ruislag) dengan pihak swasta. Gedung baru SD Ake Malako dibangun di Maliaro dan di lokasinya dibangun Rumah Toko (yang bersebalahan jalan dengan Rumah Sakit Umum Dharma Ibu), sementara bangunan baru Kantor Pendidikan dan Kebudayaan di bangun di Akehuda (belakang Kantor Pos Akehuda) dan di lokasi eks Sekolah Cina sejak akhir 2009 telah dibangun pertokoan (Ruko) ; 12). Pasar, kini Pasar Gamalama; 13). Sculterij Magazijn (Gudang Tentara Sipil), kini sudah berganti pertokoaan; 14). Werkload, juga sudah berganti pertokoan; 15). Protestansche kreck (Gereja Protestan), kini Bioskop Benteng; 16). Cinesche Tempel (Kelenteng), kini masih eksis; 17). Inlandsche School (Sekolah Pribumi), pernah dijadikan SMP 4, lalu ditukarguling dengan pihak swasta. gedung baru SMP 4 dibangun di Bastiong (belakang Kantor Pos Bastiong) dan di bekas lokasinya kini dibangun pertokoan atau tempat usaha; 18). Militaire Kantine (Kantin Militer), kini di sekitar lapangan tenis, atau sekitar taman antara cafe Djarod (lama) sampai ke cafe Dagimoi di belakang Fort Oranje; 19). Slaven Kerkhof (pekuburan budak), kini di sekitar Bakso Lapangan Tembak, Eks Gedung Barito atau Eks kantor Barito Timber Group atau CFC, termasuk juga Jalan Kemuning sampai ke beberapa bangunan di sisi utara Jalan Kemuning.
Ketampakan perubahan fisik morfologis pesisir dan pantai dari batas utara area Pelabuhan A. Yani sampai ke Salero pun sangat jelas.
Membandingkan batas pantai pada “Peta I” di atas dengan batas yang ditunjukkan oleh citra satelit, menunjukkan perubahan signifikan. Telah terjadi pengembangan spasial pusat kota secara horizontal ke arah pantai, dimulai dari batas utara Pelabuhan A. Yani, dan semakin ke selatan semakin melebar ke arah laut, yang dimulai dari batas utara Jembatan Residen dan lebih meluas lagi mulai dari lokasi Masjid Raya Al-Munawar, belakang Jatiland Mall sampai ke pasar tradisional di sisi timur Terminal Gamalama, kemudian melengkung masuk secara parabolik dan berakhir di batas selatan Lapangan Ngara Lamo. Kebijakan reklamasi ini dipilih karena sempitnya lahan pusat kota untuk kepentingan pengembangan fasilitas perkotaan.
Menelisik
perkembangan kota praindustri Ternate “Jilid II” untuk menemukan sebab apa yang
mengakibatkan kawasan pusat kota ini relatif kehilangan fleksibilitas
pengembangan yang kompak, maka beberapa jawaban asumtif dapat dikemukan:
Pertama, sebagai bandar terbuka sejak abad ke-13 dan ke-14 dan dengan intensitas yang semakin meningkat seiring masuknya bangsa-bangsa Eropa pada awal abad ke-16 sampai abad ke-19, Pulau Ternate pun berkembang menjadi pusat perdagangan penting Maluku dan kawasan timur Nusantara. Meskipun perkembangannya pesat, bangsa Eropa terutama Belanda yang lama bercokol di Ternate relatif tak mewariskan cikal bakal penataan kota seperti yang dilakukan pada beberapa kota lain di Indonesia. Ternate dengan demikian menjadi kota yang berkembang mengikuti pola pemanfaatan lahan dan ruang kota yang secara umum dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural masyarakat dan konteks kebutuhan pelbagai entitas yang bersifat pragmatis, berjangka pendek dan tak terkonsolodisasi baik.
Kedua, kecenderungan masyarakat bermukim di sepanjang pesisir pulau yang datar atau landai, terutama di sekitar kawasan pusat kota yang juga merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perdagangan, membuat kawasan pusat kota dan sekitarnya cepat menjadi padat. Pulau Ternate yang hanya seluas 65,88 kilometer persegi, di dalamnya terdapat 4 kecamatan dan 63 kelurahan, dimana 42 kelurahan terletak di pesisir dan pantai., Dengan kondisi fisik lahan dan topografis yang rata-rata kemiringannya di pesisir 2-8 persen dan di lereng kaki gunung mencapai 40 persen, lalu mengerucut ke puncak Gamalama. Sementara pertambahan penduduk baik alamiah maupun migrasi relatif tinggi.4
Pada pertengahan abad ke-19, jumlah penduduk di Pulau Ternate baru 8.500 jiwa, (Hannah dan Alwi, 1996 : 223).5 Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada lima tahun terakhir, yakni pada 2006 berjumlah 154.783 jiwa; 2007 berjumlah 167.704 jiwa; 2008 berjumlah 172.702 jiwa; 2009 berjumlah 175.145 jiwa; dan pada 2010 berjumlah 176.063 jiwa, maka pertambahan penduduk Pulau Ternate selama 5 tahun terakhir sebesar 21.325 jiwa.6 Melihat jumlah penduduk Ternate pada pertengahan abad ke-19 dibandingkan dengan jumlah penduduk Ternate pada 2010, maka rata-rata pertambahan penduduk setiap tahunnya lebih kurang 1.000 jiwa.
Akibat dari sebab pertama, Ternate paska kolonial menjadi kota yang terbangun tanpa zonasi dan kluster, melainkan menjadi kota yang relatif berkarakterisitik membaur, saling teranyam antara aneka pemanfaatan lahan kota yang menyodorkan ketampakan rona kota tumpang tindih; antara residensial dan nonresidensial, antara ciri kekotaan dan ciri kampung, antara fungsi kawasan berciri publik dan komunal.
Di Ternate, di atas hamparan seluas 2 sampai 3 kilometer persegi di pusat kota, membaur di dalamnya pertokoan, perkantoran, pemukiman penduduk, masjid, hotel dan penginapan; atau pertokoan, pemukiman, masjid, kelenteng, Mall, restoran, sekolah, hotel-penginapan dan geraja. Sedikit lebih jauh dari pusat kota, kekhahasan demikian semakin kentara, misalnya terdapat pemukiman yang berbaur di dalam satu kawasan dengan stadion, hotel, perkantoran, sekolah, dan sebagainya.
Selama kurang lebih satu abad perkembangan kota Ternate menunjukkan disintensifikasi ruang kota yang kompleks sehingga membutuhkan strategi perencanaan keruangan yang konsiten dan terintegrasi.
Sementara akibat dari sebab kedua adalah, persebaran dan kepadatan penduduk di pusat kota, yakni di Kecamatan Ternate Selatan dengan jumlah penduduk pada 2010 sebesar 63.707 jiwa, dan kepadatan penduduk 3.277 jiwa per kilometer; Kecamatan Ternate Utara dengan jumlah penduduk 45.487, dan kepadatan penduduk 3.212 jiwa per kilometer, dan; Kecamatan Ternate Tengah dengan jumlah penduduk 52.083, dan kepadatan penduduk 2.812 jiwa per kilometer.
Tampak kepadatan penduduk di Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Utara, telah bergerak ke ambang minimal kepadatan penduduk ideal sebuah kota, yakni 4.000 jiwa per kilometer2 (Morita, 1965)**.
Kedua sebab akibat di atas menunjukkan perkembangan spasial horizontal kota Ternate selama kurang lebih satu abad, cenderung berlangsung centrifugal dan tidak seimbang dengan perkembangannya secara centripetal. Dari citra yang ada, kepadatan terjadi pada radius pusat kota yang datar atau relatif landai, yakni pada wilayah Kecamatan Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Ternate Utara.
Membandingkan Town plan of Ternate (residency Mollukken. Devision and sub-devision Ternate, Seat of Sultan of Ternate) of The Dutch Military Objektive Map Ternate Town. NEFIS 109-A, No. 2 in AGS SWPA Terrain Study No. 71 Area Study of Northern Moluccas, Oktober 1943 — yang selanjutnya di sebut “Peta II” — dengan gambaran pada “Peta I”, sebenarnya tak menunjukkan perubahan yang dapat disebut pesat. Jalan utama dan jalan-jalan kecil di dalam kota relatif tak mengalami perubahan, hanya terjadi penambahan beberapa fasilitas, misalnya perkantoran, sekolah, perumahan, pembangkit listrik, hotel, dan pertokoan. Perubahan signifikan hanya pada kepadatan yang terjadi akibat pemanfaatan lahan untuk membangun perumahan penduduk.
Agar jelasnya dapat dilihat pada legenda peta dimaksud (dalam terjemahan bebas dari bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia) berikut ini:
Pertama, sebagai bandar terbuka sejak abad ke-13 dan ke-14 dan dengan intensitas yang semakin meningkat seiring masuknya bangsa-bangsa Eropa pada awal abad ke-16 sampai abad ke-19, Pulau Ternate pun berkembang menjadi pusat perdagangan penting Maluku dan kawasan timur Nusantara. Meskipun perkembangannya pesat, bangsa Eropa terutama Belanda yang lama bercokol di Ternate relatif tak mewariskan cikal bakal penataan kota seperti yang dilakukan pada beberapa kota lain di Indonesia. Ternate dengan demikian menjadi kota yang berkembang mengikuti pola pemanfaatan lahan dan ruang kota yang secara umum dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural masyarakat dan konteks kebutuhan pelbagai entitas yang bersifat pragmatis, berjangka pendek dan tak terkonsolodisasi baik.
Kedua, kecenderungan masyarakat bermukim di sepanjang pesisir pulau yang datar atau landai, terutama di sekitar kawasan pusat kota yang juga merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perdagangan, membuat kawasan pusat kota dan sekitarnya cepat menjadi padat. Pulau Ternate yang hanya seluas 65,88 kilometer persegi, di dalamnya terdapat 4 kecamatan dan 63 kelurahan, dimana 42 kelurahan terletak di pesisir dan pantai., Dengan kondisi fisik lahan dan topografis yang rata-rata kemiringannya di pesisir 2-8 persen dan di lereng kaki gunung mencapai 40 persen, lalu mengerucut ke puncak Gamalama. Sementara pertambahan penduduk baik alamiah maupun migrasi relatif tinggi.4
Pada pertengahan abad ke-19, jumlah penduduk di Pulau Ternate baru 8.500 jiwa, (Hannah dan Alwi, 1996 : 223).5 Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada lima tahun terakhir, yakni pada 2006 berjumlah 154.783 jiwa; 2007 berjumlah 167.704 jiwa; 2008 berjumlah 172.702 jiwa; 2009 berjumlah 175.145 jiwa; dan pada 2010 berjumlah 176.063 jiwa, maka pertambahan penduduk Pulau Ternate selama 5 tahun terakhir sebesar 21.325 jiwa.6 Melihat jumlah penduduk Ternate pada pertengahan abad ke-19 dibandingkan dengan jumlah penduduk Ternate pada 2010, maka rata-rata pertambahan penduduk setiap tahunnya lebih kurang 1.000 jiwa.
Akibat dari sebab pertama, Ternate paska kolonial menjadi kota yang terbangun tanpa zonasi dan kluster, melainkan menjadi kota yang relatif berkarakterisitik membaur, saling teranyam antara aneka pemanfaatan lahan kota yang menyodorkan ketampakan rona kota tumpang tindih; antara residensial dan nonresidensial, antara ciri kekotaan dan ciri kampung, antara fungsi kawasan berciri publik dan komunal.
Di Ternate, di atas hamparan seluas 2 sampai 3 kilometer persegi di pusat kota, membaur di dalamnya pertokoan, perkantoran, pemukiman penduduk, masjid, hotel dan penginapan; atau pertokoan, pemukiman, masjid, kelenteng, Mall, restoran, sekolah, hotel-penginapan dan geraja. Sedikit lebih jauh dari pusat kota, kekhahasan demikian semakin kentara, misalnya terdapat pemukiman yang berbaur di dalam satu kawasan dengan stadion, hotel, perkantoran, sekolah, dan sebagainya.
Selama kurang lebih satu abad perkembangan kota Ternate menunjukkan disintensifikasi ruang kota yang kompleks sehingga membutuhkan strategi perencanaan keruangan yang konsiten dan terintegrasi.
Sementara akibat dari sebab kedua adalah, persebaran dan kepadatan penduduk di pusat kota, yakni di Kecamatan Ternate Selatan dengan jumlah penduduk pada 2010 sebesar 63.707 jiwa, dan kepadatan penduduk 3.277 jiwa per kilometer; Kecamatan Ternate Utara dengan jumlah penduduk 45.487, dan kepadatan penduduk 3.212 jiwa per kilometer, dan; Kecamatan Ternate Tengah dengan jumlah penduduk 52.083, dan kepadatan penduduk 2.812 jiwa per kilometer.
Tampak kepadatan penduduk di Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Utara, telah bergerak ke ambang minimal kepadatan penduduk ideal sebuah kota, yakni 4.000 jiwa per kilometer2 (Morita, 1965)**.
Kedua sebab akibat di atas menunjukkan perkembangan spasial horizontal kota Ternate selama kurang lebih satu abad, cenderung berlangsung centrifugal dan tidak seimbang dengan perkembangannya secara centripetal. Dari citra yang ada, kepadatan terjadi pada radius pusat kota yang datar atau relatif landai, yakni pada wilayah Kecamatan Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Ternate Utara.
Membandingkan Town plan of Ternate (residency Mollukken. Devision and sub-devision Ternate, Seat of Sultan of Ternate) of The Dutch Military Objektive Map Ternate Town. NEFIS 109-A, No. 2 in AGS SWPA Terrain Study No. 71 Area Study of Northern Moluccas, Oktober 1943 — yang selanjutnya di sebut “Peta II” — dengan gambaran pada “Peta I”, sebenarnya tak menunjukkan perubahan yang dapat disebut pesat. Jalan utama dan jalan-jalan kecil di dalam kota relatif tak mengalami perubahan, hanya terjadi penambahan beberapa fasilitas, misalnya perkantoran, sekolah, perumahan, pembangkit listrik, hotel, dan pertokoan. Perubahan signifikan hanya pada kepadatan yang terjadi akibat pemanfaatan lahan untuk membangun perumahan penduduk.
Agar jelasnya dapat dilihat pada legenda peta dimaksud (dalam terjemahan bebas dari bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia) berikut ini:
1).
Benteng Oranye; 2). Bangunan Jepang yang baru dibangun di atas bekas delapan
bangunan Belanda; 3). Bangunan Jepang yang masih dalam pengerjaan; 4). Penjara; 5). Hertog
Hendrik Pier; pelabuhan/dermaga untuk kapal sampai dengan 4000
ton; 6). Pra-perang: pangkalan perikanan Jepang; 7). Perumahan Eropa 8). Kantor
Imigrasi; 9). Kantor Pabean; 10). Gudang Penyimpanan Barang; 11). Kantor dan Gudang KPM; 12). Gudang
Batubara; 13). Pembangkit Listrik, Waterwork, Pabrik Es; 14). Tanki Air; 15). Dermaga Residen; 16).
Kantor Residen; 17). Rumah Residen; 18). Kantor Polisi; 19). Hotel Zeezicht;
20). Kantor Kontroler, Kantor Pemerintah lainnya; 21). Rumah Kontroler; 22).
Bangunan milik MHV dan Rumah manajernya; 23). Sekolah Dasar Eropa; 24). Ternate
Club; 25). Pembangkit listrik; 26).
Sekolah Cina; 27). Kantor Pos; 28). Pasar: 29. Pertokoan Cina; 30). Reruntuhan
Gereja Protestan; 31). Pertokoan dan Perumahan Cina; 32). Dua Masjid; Sigi
Cim/Masjid An-Nur dan Masjid Muttaqien; 33). Rumah Bintara; 34. Klub Bintara; 35. Lapangan Bola; 36).
Rumah Sakit Sipil; 37. Masjid Sultan; 38). Area yang dibersihkan oleh Jepang;
39). Istana (kedaton) Sultan Ternate; 40. Kuburan; 41). Kantor Administrasi
Kesultanan (Ngara Lamo); 42). Dermaga pribadi Sultan (Dodoku Ali/Mari); 43).
Gereja Katolik; 44). Biara dan sekolah Katolik; 45). Gereja Protestan; 46).
Rumah Pendeta; 47). Lapangan Tenis; 48).
Sekolah; 49). Lapangan tembak; 50).
Rumah pengawas stasiun waterwork dan pabrik es; 51). Gudang BPM yang
mungkin dihancurkan oleh Belanda; 52).
Gudang Pala; 53). Tambatan Kapal uap;
54). Perkebunan Pala; 55). Jalan keliling pulau ke luar kota yang sebagian
besar kondisinya buruk; 56). Rumah penduduk asli; 57). Pekuburan, banyak
kuburan Cina; 58). Jalan setapak; 59). Pantai; 60). Lapangan Bola; 61). Pertokoan
Arab dan Cina; 62). Rumah pejabat tinggi Jepang; 63). Rumah Guru; 64). Rumah
Jepang.
Peta ini relatif menggambarkan perubahan atau perkembangan pusat kota Ternate beberapa dekade sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sekaligus menggambarkan perubahan yang terjadi setelahnya. Perubahan dimaksud dapat dilihat dengan cara mengonfirmasi beberapa situs atau kawasan dalam legenda “Peta II” dengan kenyataannya pada masa sekarang.
Untuk memudahkan perbandingan ini, situs dalam legenda akan diidentifikasi ke dalam dua kelompok: pertama, situs yang masih eksis dan otentik atau pun situs yang sudah dipugar, diubah atau dibangun baru tetapi tetap di atas lokasi yang sama dan dengan fungsi yang sama; kedua situs yang telah lenyap atau dilenyapkan dan di atas lokasinya dibangun bangunan atau fasilitas dengan fungsi yang berbeda sama sekali.
Situs kelompok pertama antara lain: Masjid Sultan, Kedaton, Ngara Lamo, Dodoku Ali/Mari, Masjid An-Nur/Sigi Cim, Masjid Muttaqien, Klenteng, Benteng Oranye, Jembatan Residen, Dermaga A. Yani, Gereja Katolik (Gereja Batu), Gereja Protestan (Gereja Ayam) dan Rumah Pendeta, Sekolah Katolik, Sekolah (kini SD Mononutu), Pekuburan dengan banyak kuburan Cina, Pembangkit Listrik dan Gudang Batu Bara (kini Kantor PLN). Kantor dan Kediaman Residen (kini eks Kantor Gubernur sementara); Pasar (Kini Pasar Gamalama).
Sementara beberapa situs yang telah lenyap atau dilenyapkan dan di atas lokasinya dibangun bangunan atau fasilitas dengan fungsi yang berbeda sama sekali, misalnya Rumah Sakit Sipil (36) yang lokasinya persis di depan Benteng Oranye, besar kemungkinan telah dibangun pertokoan; Gedung milik MHV dan rumah manajernya (22) di atas sebagian lokasinya diperkirakan telah dibangun Rumah Sakit Dharma Ibu, dan sebagian lokasinya yang terbesar pernah dijadikan Gudang Bimoli; Rumah-rumah Eropa (7) dan Rumah Jepang (64) yang lokasinya berada di ujung selatan Jalan Mononutu, persis pertigaan sampai ke eks Kantor Bank Bumi Daya, di atas lokasi itu telah dibangun sejumlah bangunan mulai dari perumahan bank hingga bangunan milik perseorangan. Sedangkan beberapa situs lainnya yang telah dibicarakan dalam uraian terdahulu tak dibicarakan lagi di sini. ||
Peta ini relatif menggambarkan perubahan atau perkembangan pusat kota Ternate beberapa dekade sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sekaligus menggambarkan perubahan yang terjadi setelahnya. Perubahan dimaksud dapat dilihat dengan cara mengonfirmasi beberapa situs atau kawasan dalam legenda “Peta II” dengan kenyataannya pada masa sekarang.
Untuk memudahkan perbandingan ini, situs dalam legenda akan diidentifikasi ke dalam dua kelompok: pertama, situs yang masih eksis dan otentik atau pun situs yang sudah dipugar, diubah atau dibangun baru tetapi tetap di atas lokasi yang sama dan dengan fungsi yang sama; kedua situs yang telah lenyap atau dilenyapkan dan di atas lokasinya dibangun bangunan atau fasilitas dengan fungsi yang berbeda sama sekali.
Situs kelompok pertama antara lain: Masjid Sultan, Kedaton, Ngara Lamo, Dodoku Ali/Mari, Masjid An-Nur/Sigi Cim, Masjid Muttaqien, Klenteng, Benteng Oranye, Jembatan Residen, Dermaga A. Yani, Gereja Katolik (Gereja Batu), Gereja Protestan (Gereja Ayam) dan Rumah Pendeta, Sekolah Katolik, Sekolah (kini SD Mononutu), Pekuburan dengan banyak kuburan Cina, Pembangkit Listrik dan Gudang Batu Bara (kini Kantor PLN). Kantor dan Kediaman Residen (kini eks Kantor Gubernur sementara); Pasar (Kini Pasar Gamalama).
Sementara beberapa situs yang telah lenyap atau dilenyapkan dan di atas lokasinya dibangun bangunan atau fasilitas dengan fungsi yang berbeda sama sekali, misalnya Rumah Sakit Sipil (36) yang lokasinya persis di depan Benteng Oranye, besar kemungkinan telah dibangun pertokoan; Gedung milik MHV dan rumah manajernya (22) di atas sebagian lokasinya diperkirakan telah dibangun Rumah Sakit Dharma Ibu, dan sebagian lokasinya yang terbesar pernah dijadikan Gudang Bimoli; Rumah-rumah Eropa (7) dan Rumah Jepang (64) yang lokasinya berada di ujung selatan Jalan Mononutu, persis pertigaan sampai ke eks Kantor Bank Bumi Daya, di atas lokasi itu telah dibangun sejumlah bangunan mulai dari perumahan bank hingga bangunan milik perseorangan. Sedangkan beberapa situs lainnya yang telah dibicarakan dalam uraian terdahulu tak dibicarakan lagi di sini. ||
JEJAK PASIR PANTAI
Mestikah, riak
dan deru ombak itu gelisahkan arah tepian
Ketika beton beton pembangunan mencegat
dan pasir semakin dilenyapkan?
Kalimat itu saya tulis 12 Februati 2011, seusai makan malam di salah satu warung tenda, di tepi pantai pusat kota Ternate, sebab kawasan yang oleh warga Ternate disebut dengan Swering itu telah kehilangan hampir seluruh pasirnya; terlindas “pembangunan”.
Di sini, tentu tidak sedang dibicarakan ikhwal puisi atau kisah melodramatik manapun, tetapi coba membicarakan konsekuensi dari sebuah pembangunan perkotaan yang seringkali kurang mempertimbangkan aspek lingkungan, juga memperhitungkan resiko yang dapat timbul di kemudian hari.
Bahasan pada bagian ini hendak melihat sejak kapankah aktifitas pembangun di kawasan pusat kota perlahan tapi pasti mengubah kawasan pantai. Namun minimnya dokumen tertulis yang dapat diakses dari instansi terkait mengenai kapan dimulainya aktifitas pembangunan talud, jalan, pertokoan sepanjang pantai, mulai dari Fala Jawa sampai ke Gamalama, membuat keakurasian informasi dalam pembahasan ini masih harus diverifikasi lagi di kemudian hari.
Tetapi sebagai prawacana, beberapa dokumentasi berupa foto dari kurun berbeda, sejak era 1800-an sampai dengan 2011, lalu kedua peta kuno sebagaimana yang telah kemukakan pada pembahasan sebelumnya, relatif dapat dijadikan rujukan sementara.
Ketika beton beton pembangunan mencegat
dan pasir semakin dilenyapkan?
Kalimat itu saya tulis 12 Februati 2011, seusai makan malam di salah satu warung tenda, di tepi pantai pusat kota Ternate, sebab kawasan yang oleh warga Ternate disebut dengan Swering itu telah kehilangan hampir seluruh pasirnya; terlindas “pembangunan”.
Di sini, tentu tidak sedang dibicarakan ikhwal puisi atau kisah melodramatik manapun, tetapi coba membicarakan konsekuensi dari sebuah pembangunan perkotaan yang seringkali kurang mempertimbangkan aspek lingkungan, juga memperhitungkan resiko yang dapat timbul di kemudian hari.
Bahasan pada bagian ini hendak melihat sejak kapankah aktifitas pembangun di kawasan pusat kota perlahan tapi pasti mengubah kawasan pantai. Namun minimnya dokumen tertulis yang dapat diakses dari instansi terkait mengenai kapan dimulainya aktifitas pembangunan talud, jalan, pertokoan sepanjang pantai, mulai dari Fala Jawa sampai ke Gamalama, membuat keakurasian informasi dalam pembahasan ini masih harus diverifikasi lagi di kemudian hari.
Tetapi sebagai prawacana, beberapa dokumentasi berupa foto dari kurun berbeda, sejak era 1800-an sampai dengan 2011, lalu kedua peta kuno sebagaimana yang telah kemukakan pada pembahasan sebelumnya, relatif dapat dijadikan rujukan sementara.
Foto pertama, pantai depan kantor Residen dengan
pohonan rindang dan penahan ombak dari kayu gelondongan yang dipasak ke pasir,
1870-1892. Foto kedua, kawasan pantai Fala Jawa sampai ke Dermaga Besi,
1900-1901. Foto ketiga, kawasan yang sama dengan sudut pengambilan gambar
diperkirakan dari Jembatan Residen. Foto ini tanpa tahun, tetapi bila
membandingkan ketampakan kawasan pada foto itu dengan foto-foto mulai tahun
1900 sampai 1924, kemudian foto pada 1954, maka foto ketiga ini diperkirakan
diambil sekitar 1930-an. Foto keempat,
kawasan yang sama dengan sudut pengambilan gambar diperkirakan dari pantai
sekitar pasar (kini Pasar Gamalama). Foto ini pun tanpa tahun, namun dengan
membandingkannya seperti pada foto ketiga, foto ini diperkirakan diambil
sekitar akhir 1930-an atau awal 1940-an. Ketampakan perubahan signifikan
kawasan pantai dan pesisir pusat kota Ternate terlihat dengan membandingkan keempat
foto dari masa lalu itu dengan foto yang dambil pada 10 Juli 2011.
Sejak setelah tahun 1924 sampai 1940-an berangsur-angsur terjadi perubahan pantai, pesisir dan sempadan kawasan pusat kota.
Diperkirakan sejak masa itu, penahan ombak di depan rumah dan kantor Residen sampai sepanjang pantai Fala Jawa yang menggunakan kayu gelondongan mulai diganti dengan talud beton dan dibangun persis di tepi laut. Merujuk informasi beberapa sumber sesepuh di Fala Jawa, diduga pada 1950-an sampai 1960-an, area dari batas talud itu sampai ke tepi jalan mulai ditimbun agar jalan dapat diperlebar.
Memperkuat dugaan ini, satu foto pada 4 Juni 1954; pedagang kursi bambu yang berjualan di tepi jalan sepanjang pantai Fala Jawa, menunjukkan jalan yang lebih lebar dan rata. Tumpukan kursi yang disusun sepanjang sisi kiri jalan, di baliknya diduga telah dibangun talud. Begitupun foto dokumentasi kedatangan Presiden R.I. pertama, Ir. Soekarno ke Ternate, 17 Juli 1954, menunjukkan jalan yang luas dan bangunan-bangunan di sekitar pantai Fala Jawa tidak lagi seperti pada era 1900-1920-an. Rata-rata lebih baru, besar, bertingkat dan semakin dekat ke pantai.
Sejak setelah tahun 1924 sampai 1940-an berangsur-angsur terjadi perubahan pantai, pesisir dan sempadan kawasan pusat kota.
Diperkirakan sejak masa itu, penahan ombak di depan rumah dan kantor Residen sampai sepanjang pantai Fala Jawa yang menggunakan kayu gelondongan mulai diganti dengan talud beton dan dibangun persis di tepi laut. Merujuk informasi beberapa sumber sesepuh di Fala Jawa, diduga pada 1950-an sampai 1960-an, area dari batas talud itu sampai ke tepi jalan mulai ditimbun agar jalan dapat diperlebar.
Memperkuat dugaan ini, satu foto pada 4 Juni 1954; pedagang kursi bambu yang berjualan di tepi jalan sepanjang pantai Fala Jawa, menunjukkan jalan yang lebih lebar dan rata. Tumpukan kursi yang disusun sepanjang sisi kiri jalan, di baliknya diduga telah dibangun talud. Begitupun foto dokumentasi kedatangan Presiden R.I. pertama, Ir. Soekarno ke Ternate, 17 Juli 1954, menunjukkan jalan yang luas dan bangunan-bangunan di sekitar pantai Fala Jawa tidak lagi seperti pada era 1900-1920-an. Rata-rata lebih baru, besar, bertingkat dan semakin dekat ke pantai.
Pada 1950-an sampai dengan akhir 1960-an, diduga
pesisir dan pantai di sisi timur Jalan Pahlawan Revolusi mulai berangsur-angsur
ditimbun untuk membangun atau memperluas pertokoan. Bahkan bila melihat peta Town
plan of Ternate, maka sejak 1943 pertokoan sekitar pasar Gamalama telah dibangun di atas perarian.
Dengan demikian pasar Gamalama yang diresmikan pada 1971 juga dibangun di atas timbunan atau sekurang-kurangnya separuh fondasinya telah berada di atas pantai, sebab keberadaan pasar sebagaimana pada “Peta I”, berada di tepi pantai, apalagi pada “Peta II”, bahkan menampakkan pertokoan sekitar Gamalama sudah menjorok ke laut. Pembangunan atau perluasan pertokoan, tempat usaha, bahkan rumah tinggal telah terjadi di sepanjang pantai Gamalama dan berlangsung intensif.
Pasar Sayur yang persis berada di belakang pasar Gamalama pada era 1980-an, perahu atau perahu motor bertonase kecil yang menjadi sarana transportasi antar pulau dari dan ke pulau-pulau di sekitar Ternate, menurunkan dan mengangkut penumpang atau barang hanya dengan menambatkannya ke tiang-tiang penyanggah bangunan tempat usaha, rumah tinggal, atau koridor kayu yang menyerupai jembatan yang menghubungkan setiap bangunan di atas air. Memasuki dekade 1990-an, sebagian dari bangunan yang ada telah diubah pemanen atau semi permanen.
Tetapi perubahan besar dan mendasar terhadap kawasan ini terjadi sejak tahun 2000. Kebijakan rekalmasi berangsur mengubah pesisir pantai dan sempadan menjadi 11,719 hektar “daratan baru”, yang diperuntukkan membangun teminal baru yang lebih representatif; mengakomodasi aktifitas pasar rakyat atau kegiatan ekonomi kelas menengah ke bawah; untuk Ruko dan mal; masjid raya dan Islamic Center, serta hotel berbintang.
Ternate ‘Korbankan’ Pantai Timurnya”, demikian Harian Kompas, Edisi 30 Maret 2002, memberitakan proyek reklamasi ini. Judul berita Harian Kompas ini menggambarkan betapa kebijakan ini telah mengubah signifikan ketampakan morfologis pantai dan sempadan di pusat kota. |
Dengan demikian pasar Gamalama yang diresmikan pada 1971 juga dibangun di atas timbunan atau sekurang-kurangnya separuh fondasinya telah berada di atas pantai, sebab keberadaan pasar sebagaimana pada “Peta I”, berada di tepi pantai, apalagi pada “Peta II”, bahkan menampakkan pertokoan sekitar Gamalama sudah menjorok ke laut. Pembangunan atau perluasan pertokoan, tempat usaha, bahkan rumah tinggal telah terjadi di sepanjang pantai Gamalama dan berlangsung intensif.
Pasar Sayur yang persis berada di belakang pasar Gamalama pada era 1980-an, perahu atau perahu motor bertonase kecil yang menjadi sarana transportasi antar pulau dari dan ke pulau-pulau di sekitar Ternate, menurunkan dan mengangkut penumpang atau barang hanya dengan menambatkannya ke tiang-tiang penyanggah bangunan tempat usaha, rumah tinggal, atau koridor kayu yang menyerupai jembatan yang menghubungkan setiap bangunan di atas air. Memasuki dekade 1990-an, sebagian dari bangunan yang ada telah diubah pemanen atau semi permanen.
Tetapi perubahan besar dan mendasar terhadap kawasan ini terjadi sejak tahun 2000. Kebijakan rekalmasi berangsur mengubah pesisir pantai dan sempadan menjadi 11,719 hektar “daratan baru”, yang diperuntukkan membangun teminal baru yang lebih representatif; mengakomodasi aktifitas pasar rakyat atau kegiatan ekonomi kelas menengah ke bawah; untuk Ruko dan mal; masjid raya dan Islamic Center, serta hotel berbintang.
Ternate ‘Korbankan’ Pantai Timurnya”, demikian Harian Kompas, Edisi 30 Maret 2002, memberitakan proyek reklamasi ini. Judul berita Harian Kompas ini menggambarkan betapa kebijakan ini telah mengubah signifikan ketampakan morfologis pantai dan sempadan di pusat kota. |
Catatan:
1. Hariyono, M.T, Paulus, Sosiologi Kota Untuk Arsitek (Jakarta, Bumi Aksara, 2007), hlm. 99
2. Plate Grond van de Hofdplaats Ternate, karya Luth van P.J. Mulder, Leiden, memuat situasi pusat kota Ternate akhir 1800-an.
3. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2010
4. Hannah, Willard A dan Alwi, Des. Ternate dan Tidore Masa Lalu Penuh Gejolak, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan), hlm. 233
5. Tata Ruang Kota Ternate Tahun 2010-2030
6. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Ternate, 2010-2015.
7. Town plan of Ternate (residency Mollukken. Devision and sub-devision Ternate, Seat of Sultan of Ternate) of The Dutch
Military Objektive Map Ternate Town. NEFIS 109-A, No. 2 in AGS SWPA Terrain Study No. 71 Area Study of Northern
Moluccas, Oktober 1943. Collection: TDN.Tulisan ini diambil dari buku Ternate Mosaik Kota Pusaka, hlm 271 - 285. |