Kadato Kie. Keraton kesultanan Tidore di Sunyine Salaka (Taman Perak), Kampung Soasio. Foto: Sofyan Daud, 12 April 2017 |
Kaicil
atau Kaicili, sebutan untuk putra
Sultan atau pangeran pada kesultanan-kesultanan di Maluku; Tidore, Ternate,
Bacan dan Jailolo.
Kaicil Rade, pangeran dari Tidore yang bijaksana dan teguh pendiriannya. Pernah menjadi Kapita Lau (menteri pertahanan, panglima
perang) Kesultanan Tidore semasa kepemimpinan Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnnaen, adiknya
sendiri.
Saat ayahanda mereka Sultan Al Mansyur
mangkat 1526, tiga tahun kemudian, pada 1529, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen
terpilih dan dinobatkan sebagai sultan menggantikan mendiang ayahandanya.
Saat penobatannya usia Iskandar Zulkarnaen masih remaja sehingga kakaknya Kaicil Rade dipercayakan sebagai Mangkubumi atau Waliraja, mengendalikan kesultanan sampai sultan Iskandar dewasa dan efektif melaksanakan amanah kepemimpinannya.
Saat penobatannya usia Iskandar Zulkarnaen masih remaja sehingga kakaknya Kaicil Rade dipercayakan sebagai Mangkubumi atau Waliraja, mengendalikan kesultanan sampai sultan Iskandar dewasa dan efektif melaksanakan amanah kepemimpinannya.
Sebagai Waliraja, Kapita Lau sekaligus
pangeran yang lebih tua, Rade memiliki kekuasaan hampir mutlak atas
kesultanan ini. Jika dia menghendaki niscaya mudah baginya mengambil alih tahta, tetapi hal
itu tak terlintas sedikitpun di benaknya. Rade merasa cukup dengan amanah yang
dipercayakan kepadanya, sebagai Kapita
lau dan Waliraja.
Bijaksana, tawadduh dan istiqomah adalah karakter
kepribadian Kaicil Rade yang menjadikannya penuh ketahudirian dan
kesadardirian. Dia tak merasa rendah mengabdi pada kesultanan yang dipimpin adiknya
yang terpaut usia jauh di bawahnya.
Rade menghormati Iskandar Zulkarnaen sebagai sultan dan menghormati amanah kepemimpinan yang dipundaki adiknya, juga menghormati amanah yang dipercayakan padanya. Kedua-duanya ditempatkan sama tinggi dengan rasa hormatnya akan marwah negeri, martabat rakyat, serta martabat dan kehormatan dirinya sendiri.
Rade menghormati Iskandar Zulkarnaen sebagai sultan dan menghormati amanah kepemimpinan yang dipundaki adiknya, juga menghormati amanah yang dipercayakan padanya. Kedua-duanya ditempatkan sama tinggi dengan rasa hormatnya akan marwah negeri, martabat rakyat, serta martabat dan kehormatan dirinya sendiri.
Kaicil Rade, pribadi mulia dan pemimpin berreputasi
tinggi. Sayangnya, lembaran sejarah nasional tak sempat mencatatnya
secara pantas. Kalangan sejarawan daerah pun belum banyak yang tertarik
meneliti dan menulisnya. Itulah mengapa nama dan kiprahnya jarang diketahui
khalayak di Maluku Utara bahkan di Tidore, tanah asal sang kaicil sekalipun.
TRAKTAT SARAGOSA DAN
KRISIS MALUKU
Periode kepemimpinan Iskandar Zulkarnaen,
1529-1547 bersama Rade yang setia menyokong dan mendampinginya, dimulai dalam tahun yang sama dengan perjanjian
Saragosa 25 April 1529, perjanjian antara Raja John III dari Portugis dengan Raja Charles V dari Spanyol yang
dimediasi oleh Vatikan untuk meratifikasi perjanjian Tordesillas, 7 Juni 1494.
Perjanjian yang tentunya memengaruhi konstalasi global, karena Portugis dan
Spanyol saat itu adalah dua negara adidaya.
Pasca perjanjian, Spanyol meninggalkan Tidore
dan seluruh wilayah Maluku ke Pilipina dengan kompensasi 350.000 Ducats.
Sepeninggal Spanyol, Portugis yang sejak dekade
sebelumnya telah memantapkan posisinya atas Ternate, menjadi semakin kuat. Sebagai
satu-satunya kekuatan Eropa di pulau-pulau utama penghasil cengkeh dan pala sekaligus pusat-pusat kesultanan tersohor di Timur Nusantara, Portugis
pun kian memantapkan dominasinya melalui pelbagai upaya subordinasi Ternate
yang lantas memunculkan pelbagai ketegangan dan konflik.
Kawasan Maluku terdesak memasuki dekade krisis
dan konflik akibat intrik dan peperangan yang dialakukan para Gubernur Portugis
di Maluku yang berkedudukan di Gamlamo, ibukota Ternate, sejak periode gubernur
Antonio De Brito, 1522-1525, Henriquez, 1525-1527, Jorge de Menezes, 1527-1530,
Gonzalo Pereira, 1530-1532, Vincente De Fonceca, 1532-1534, dan memuncak pada periode
Tristao De Ataide, 1534-1537.
Puncak krisis terjadi saat sultan
Ternate, Bayan Sirullah alias Bayanulllah wafat 1522, dalam periode gubernur De
Brito. Hidayat (Deyallo) dan Boheyat (Bochiat), dua putra Bayanullah yang
masih belia dinobatkan sebagai sultan, berturut-turut Hidayat, 1522-1529 dan Boheyat,
1529-1532.
Dalam kurun ini, Boki
(ratu, permasiuri) Nukila, istri mendiang Bayanullah, yang adalah putri Al
Mansyur, yang juga adalah saudari kandung Kaicil Rade dan Iskandar Zulkarnaen, dipercayakan
sebagai Mangkubumi atau Waliraja, mengendalikan kesultanan Ternate sampai putranya
dewasa dan efektif mengemban amanah kepemimpinannya.
Dari 1522 sampai 1537, masa 15 tahun paling
kelam dalam sejarah Ternate. Intrik Portugis menembus dinding istana.
Kepentingan politik dagang dan misi penyiaran agama yang dianut Portugis
bertemu ambisi segelintir elit kesultanan.
Sultan muda Hidayat dan Boheyat mangkat
mengenaskan di tangan besi Portugis. Tabariji naik tahta 1532-1535, lalu dia
bersama Boki Nukila dan Pattisarangi dipecundangi, ditangkap dan diasingkan ke Goa, India.
Di lain sisi misi pengabaran injil di
wilayah Halmahera, juga tak bebas konflik dan peperangan. Portugis
mengeksploitasi misi suci itu untuk menggalang dukungan dan loyalitas
komunitas-komunitas di sana yang telah berhasil dikristenkan. Tujuannya mendelegitimasi
bahkan melawan kesultanan Ternate. Sikap itu dinilai sebagai kelicikan, sebab
Sultan Ternate menghormati dan telah memberi izin misi suci tersebut.
Dari latar dan konstelasi politik
regional demikian, Iskandar Zulkarnaen yang belia tampil sebagai sultan di
Tidore, satu-satunya kesultanan yang menjadi tumpuan Maluku (Moloku Kie Raha)
kurun itu, ketika kesultanan Ternate sebagai salah satu yang terkuat sedang dirudung
krisis yang pelik.
Di situlah Waliraja sekaligus Kapita Lau, Kaicil Rade, menunjukkan
kualitas dan kapasitas kepemimpinannya. Dia tak hanya menentukan stabilitas kesultanan
Tidore, tetapi juga menentukan eksisitensi seluruh wilayah Maluku, khususnya
kelanggengan cita-cita bersama Moloku Kie
Raha yang dicetuskan dalam Motir
Staten Verbond, 1322.
Sejarah mencatat bagaimana Tidore di
bawah kendali Kaicil Rade memberikan perlindungan kepada sultan Boheyat yang dimakzulkan
dan kemudian diburu oleh Portugis.
Serangkaian peristiwa besar dan menentukan terjadi dalam periode Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen bersama Kicil Rade sebagai Kapita Lau-nya.
Serangkaian peristiwa besar dan menentukan terjadi dalam periode Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen bersama Kicil Rade sebagai Kapita Lau-nya.
GUBERNUR GALVAO DAN KAICIL
RADE
Dokumen tertulis tentang Rade yang memang sangat minim, sejauh yang diketahui, bersumber dari catatan Antonio Galvao,
Gubernur Portugis Maluku di Ternate, 1537-1540. Catatan-catatan yang kemudian dibukukan
dalam “Historia Das Mollucas”.
Galvao di dalam catatanya mengungkapkan
kekagumannya pada Kaicil Rade yang cerdas, bijaksana dan santun. Adnan Amal
dalam “Kepulauan rempah-rempah”, sembari
merujuk “Historia Das Mollucas”, menyebutkan, orang-orang Portugis memuji watak dan kepribadian Kaical Rade
sebagai “seorang pria berwibawa dan berprilaku paling santun”.
Gubernur Galvao, memang diutus Portugis ke
Ternate karena prestasinya. Tugas utamanya memulihkan krisis hubungan Portugis
dengan kesultanan Ternate dan kesultanan Maluku lainnya yang telah mengakibatkan
anjloknya perdagangan rempah Portugis.
Meskipun begitu, kedatangan Galvao ke Benteng
Nuestra Senhora Del Rosario di
Gamlamo disambut sikap mawas yang tinggi bahkan kekuatiran, jangan-jangan Galvao
akan berperangai sama dengan gubernur sebelumnya, pemicu kekacauan, peperangan,
pengasingan, penabur petaka.
Keempat sultan Maluku pun mengadakan pertemuan di Tidore membahas antisipasi kehadiran Galvao dan kemungkinan buruk ulahnya sebagaimana ulah pendahulunya Ataide.
Keempat sultan Maluku pun mengadakan pertemuan di Tidore membahas antisipasi kehadiran Galvao dan kemungkinan buruk ulahnya sebagaimana ulah pendahulunya Ataide.
Memahami situasi itu, Galvao sepertinya menerapkan
ujaran, “jika ingin damai mulailah perang”, dia lalu mengkonsolidasi pasukan berkekuatan
penuh menyerang Tidore.
Dalam catatanya, Galvao menyebutkan
peperangan 21 Desember 1536 itu meluluhlantahkan beberapa kampung di Tidore.
Portugis bahkan berhasil mendarat di Pulau Tidore.
Singkat cerita, Sultan Tidore mengirim kurir menyampaikan tawaran perundingan damai. Galvao menerimanya dengan catatan, Sultan harus mengirim seorang pejabat resmi, bukan seorang kurir.
Singkat cerita, Sultan Tidore mengirim kurir menyampaikan tawaran perundingan damai. Galvao menerimanya dengan catatan, Sultan harus mengirim seorang pejabat resmi, bukan seorang kurir.
Di suatu pagi cerah antara Desember 1536
atau Januari 1537, Galvao menyeberang dari Ternate ke Tidore bersama beberapa
pengawalnya, langsung menuju ke lokasi pertemuan di Seli. Tiba di Seli, Galvao sudah
ditunggu oleh Kaicil Rade dan beberapa pengawalnya.
Kepada Rade Galvao mengatakan, agar perundingan
mereka lancar dia menawarkan seorang penerjemah, tetapi Kaicil Rade menolak sembari
mengatakan dia dapat menggunakan bahasa Galvao dengan baik.
Galvao membuka percakapan basa-basi,
bahwa dia tahu Kaicil Rade bijaksana dan beprilaku sangat santun, juga seorang panglima
perang yang handal.
“Sir Kaicil Rade. Saya tahu bahwa Anda
adalah seorang laki-laki bermartabat tinggi dan terhormat, dan sebagai tambahan
bagi kemuliaan derajat Anda, Anda terkenal sebagai yang paling adil dan baik
hati di negeri ini. Selama ini Anda menjadi komandan tertinggi melawan Portugis
seperti terlihat oleh beragamnya tanda yang Anda kenakan dan oleh keberanian
Anda yang luar biasa....”.
Demikian sederet pengakuan dibumbui pujian
dari Galvao, sembari menyelipkan misi, layaknya misi kolonial untuk “memecah
belah” kekuatan Tidore. Galvao mengatakan, dengan kapasitas dan kredibilitas
Kaicil Rade, tak ada yang lebih pantas memimpin kesultanan Tidore kecuali dia
dan Galvao atas nama Raja Portugis merestui itu.
Tetapi Kaicil Rade menolak tawaran atau
lebih pantas disebut bujukan itu; “Tuan Gubernur, Saya menganggap pujian Anda
dan pemerintahan yang Anda janjikan sebagai pujian. Tetapi, bagaimana Anda bisa
berharap saya menerima tawaran yang bertolak belakang dengan kewajiban dan
kehormatan Saya? Apa kata orang jika mendengar hal ini? Untuk apa saya yang
datang untuk membuat kesepakatan antara anda dengan saudara Saya, meminta
kepada Anda apa yang menjadi haknya? Dengan cara macam itu saya akan kehilangan
semuanya, apa yang saya capai dalam waktu begitu lama, melalui keserakahan
sesaat. Akan terkutuklah pemerintahan yang berdasarkan pada hilangnya apa yang
telah dicapai dengan segala daya upaya, untuk dunia ini dan dunia mendatang.
Saya telah mengikhlaskan diri saya dalam posisi seorang budak bagi saudara
kandung saya dan saya tidak akan mengizinkan aib menimpa saya dan keturunan
saya”.
Demikian Kaicil Rade dengan kebijaksanaan
dan kebesaran jiwanya, teguh dalam pendirian dan istiqomah dalam amanah yang
dipercayakan.
Tidore, Maluku Utara dan Indonesia,
barangkali mesti mengambil pelajaran dan inspirasi dari kisah ringkas kebijakasanaan Kaicil
Rade ini.
Tidore pun mesti berterima kasih kepada
Galvao, sebab berutang kebaikan padanya, yang sudi mencatat kesan dan
peristiwa pertemuannya dengan Kaicil Rade. Catatan yang walapun sedikit, dapat
menjadi setitik api bagi generasi kini dan nanti.(msd)
Sofyan Daud
Garasi Genta, Ternate,
2 Februari 2017.